Hanya hari hari seperti biasanya.
Jam wekernya berdering menjengkelkan, menunjukkan pukul enam pagi tepat. Jay membuka matanya, menatap jam sialan itu dengan muak. Tangan panjangnya dengan mudah meraih jam dimeja samping tempat tidurnya kemudian menekan tombol turn off kuat kuat. Ia benci suara jam weker—ah tidak, ia benci segala suara yang membuatnya harus terbangun di pagi hari.
Hari ini bekerja lagi, seperti kemarin, seperti bulan lalu, seperti tahun tahun yang sudah lewat. Terhitung ini adalah tahun kedua ia bekerja sebagai pengurus ladang gandum orang kaya yang tinggal diluar kota, mengairi ladang gandum yang ia kira hampir seluas kotanya tetapi dibagi empat. Bukan mengairi dengan menyiram atau menyemprot menggunakan selang atau ember- tentu saja itu akan memakan waktu lama, mungkin sampai didagunya tumbuh janggut pun tidak akan selesai. Ia hanya bertugas membuka saluran irigasi di beberapa titik di jam jam tertentu setiap dua hari sekali.
Terkadang ia juga menggantikan pekerja lain yang meminta tolong agar menjaga ladang gandum itu semalaman dengan syarat upah hari itu diberikan padanya. Jay menyanggupi dengan sepenuh hati. Hei, siapa yang tidak mau tambahan uang hanya dengan menjaga ladang? Ia hanya perlu mengawasi dan berjalan jalan disekitar gazebonya, dan ia tidak sendiri; disetiap gazebo ada beberapa orang seumurannya atau lebih tua untuk jaga malam. Yah, walaupun tidak akrab yang penting tidak cari masalah saja. Ia juga bisa mencuri curi waktu untuk tidur. Pekerjaan yang mudah dengan upah yang lumayan, aneh dipikirkan tetapi apa pedulinya?
Jay keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melingkari panggulnya. Bulir air menetes melewati garis perutnya yang terbentuk dengan baik— hasil work out asal asalan yang sebenarnya jarang ia lakukan karena malas. Menuju ke konter dapur untuk minum segelas air; kebiasaan rutinnya dipagi hari. Saat ia membuka lemari pendingin tidak ada apapun kecuali sepotong roti coklat didalamnya. Ah, ia lupa untuk pergi ke toko membeli makanan beku. Sore nanti saat sepulang bekerja ia akan mampir membeli beberapa bahan makanan dan peralatan mandinya yang akan habis. Juga, mungkin sekalian pergi ke toko roti langganannya itu.
Jarak dari rumah susunnya ke ladang gandum tidak butuh waktu lama dan perjalanan panjang, hanya perlu berjalan kaki selama lima belas menit ke arah utara. Tak banyak yang ia kenal didaerah ini, ia seorang pendatang baru, yang tidak berusaha untuk mencari kenalan atau teman dekat apalagi seorang kekasih. Mungkin belum. Jay bukan berasal dari kota lain, ia tumbuh di kota ini, Hillenir, tetapi berbeda wilayah. Tumbuh di panti asuhan di bagian timur Hillenir, lalu keluar saat ia berumur 18 tahun. Sebenarnya tidak masalah jika ia tetap tinggal di panti asuhan, hanya saja ia merasa tidak enak terus menerus merepotkan ibu asuhnya itu. Sesekali ia akan pergi kesana dan meninggalkan uang secara diam diam jika ia punya lebih. Ibu asuhnya sangat baik, sudah terasa seperti ibu kandungnya sendiri, ia tak tahu harus membalas kebaikannya dengan apalagi.
"Hai. Selamat pagi"
Jay menoleh kebelakang, seseorang menyapanya dengan senyuman. Dipipinya terdapat cekungan yang timbul saat ia tersenyum. Manis sekali,
"Keberatan jika aku pergi bersamamu?"
Jay menggeleng dan tersenyum kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan beriringan, tidak ada pembicaraan hingga sampai ke tempat mereka berkerja. Selalu seperti ini, canggung. Bukan kali pertama Jay bertemu dan berjalan bersama dengan pria kurus ini, mereka agak sering berangkat bersama dengan tentu saja tanpa pembicaraan. Namanya Jungwon, bekerja sebagai pengurus ladang gandum sama sepertinya tetapi berbeda daerah. Jika Jay berada di utara dekat dengan gerbang masuk, maka Jungwon berjaga di selatan, harus berjalan lagi beberapa menit untuk sampai.
Mereka berdua berpisah digerbang karena Marc akan pergi lebih jauh untuk mencapai tempatnya bekerja. Jungwon melambaikan tangannya perlahan kepada Jay lalu melanjutkan perjalanannya.