Abductor

6 0 0
                                    

—Anjing menyalak menggila saat rombongan mobil memasuki kota. Penjaga melecutkan cambuk pada anjing-anjing gila dengan moncong besi yang menggonggong, memaksa mereka untuk diam. Kejam. Bahkan tak ada rasa kasihan, kekerasan hewan seakan menjadi makanan sehari hari di kota gersang itu. Anjing ras besar seperti tibetan mastiff berjaga didepan truk truk angkut barang dan sesekali menyalak karena merasa terganggu dengan kedatangan mereka. Makin jauh memasuki kota, bangunan didominasi oleh kayu-kayu berwarna coklat akibat plitur— semakin menguatkan suasana kota yang terlihat tua. Jalanan sesak dan tidak teratur, beberapa kali ada orang orang yang bertengkar entah karena apa lalu pergi begitu saja tanpa penyelesaian. Mungkin nanti sore atau malam setelah pertengkaran tidak jelas itu salah satunya akan mati. Bisa saja terjadi.

Cane Corso dan Doberman tanpa tali kekang hilir mudik kesana kemari seolah jalanan itu adalah milik mereka; beberapa kemudian mengikuti truk dan mobil yang menuju kesuatu tempat. Entahlah. Mungkin kedatangan mereka menarik dimata para anjing anjing tanpa pemilik itu. Kembali pada keadaan kota, beberapa teralis besi berbentuk kotak membentuk seperti kandang berjejer menumpuk ditanah.

Satu kandang berisi harimau belang menjadi pusat perhatian. Bukan karena harimaunya—tetapi karena ada manusia yang dipaksa masuk kedalam kandang hewan yang sedang kelaparan itu. Orang itu terus meronta meminta dilepaskan, tapi dengan tangan dan kaki yang terikat tali tambang dia melemah. Lalu yang lainnya mulai mendorong kembali agar ia masuk ke kandang tersebut. Sesaat ia masuk, sang harimau langsung menerkamnya, dimulai dari mencakar bahu kemudian menggigit lengan sampai putus. Orang itu menjerit keras kesakitan, tetapi yang berkerumun memperhatikan hanya menatap dingin seolah bosan. Perutnya mulai koyak, organ dalamnya terlihat dan rusak. Darah berceceran didalam kandang hingga merembes keluar. Harimau itu menarik keluar usus dari dalam perut mengunakan mulutnya kemudian mengunyahnya cepat seakan tidak makan selama beberapa hari.

Didepan bangunan seperti kedai atau rumah makan, digantung sebuah sangkar burung dengan mayat manusia didalamnya. Hanya ada satu burung didalam sangkar tersebut. Didepan rumah makan. Mereka yang makan bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun dengan kondisi mayat itu. Burung berukuran segenggaman tangan orang dewasa, mematuk matuk mayat yang menjadi makanannya. Seluruh kulit berlubang lubang dan sedikit belatung bergeliatan disana. Bola matanya menghilang, entah telah dikeluarkan terlebih dahulu atau sudah terpatuk lalu jatuh menggelinding ke alas sangkar. Mulut menganga dengan rongga yang diisi rumput oleh burung itu. Mayat itu mungkin sudah berhari hari berada didalam sangkar—dan tidak ada yang merasa terganggu. Orang orang berlalu lalang seolah tidak ada apa pun dihadapan mereka.

Pimpinan kelompok yang bertatto pedang menyilang dikedua punggung tangannya turun yang kemudian berjalan untuk mengkonfirmasi barang bawaan dan jarahannya. Mereka lalu dibawa masuk kedalam gedung yang terdapat bunker dibawah tanah. Satu persatu korban penculikan itu diturunkan dan diarahkan untuk memasuki bunker, mereka yang berbeda jenis kelamin dipisah, lalu dimasukkan kedalam penjara berukuran 5x6 meter. Tidak ada perlawanan, mereka takut dengan senapan yang ditodongkan kearah mereka sejak awal turun dari truk tadi.

Saat penjaga akan mengunci pintu penjara, pimpinan kelompok menyuruh salah satu dari mereka— si korban penculikan— untuk keluar. Seorang pria berumur sekitar dua puluhan, menggunakan kemeja putih yang kotor dan celana bahan berwarna coklat susu. Kulitnya cerah, wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia orang yang berasal dari negara itu.

"Siapa namamu?"
Pemimpin kelompok itu bertanya dengan tatapan dominasi yang tajam. Dibahunya senapan laras panjang tak pernah dilepas.

"Yeonjun" balas pria itu ketakutan.

"Kau. Ikut aku."

Lalu mereka berdua pergi dengan Yeonjun mengekor dibelakang pimpinan kelompok tersebut. Mereka menyaksikan hal tersebut ngeri. Bahkan tak berani membayangkan apa yang akan dilakukan sang pimpinan kelompok kepada laki laki itu...

"Kita harus keluar dari sini...,"
Jay berbisik tepat dibelakang telinga Jungwon, membuatnya terkejut lalu menoleh cepat—hingga hidung mereka berdua hampir bersentuhan.

.
.

.
.

"Yeonjun."

Pemuda itu mendongak menatap sang pimpinan kelompok— tetapi hanya bertahan beberapa saat saja karena tidak tahan dengan tatapan mengintimidasinya. Ia kembali menunduk, mengenggam tangannya sendiri.

"Umur?"

"Du—dua puluh dua, tuan"

Si penanya menyeringai puas. Yeonjun, pemuda itu kini duduk di ranjangnya dengan kaki yang dirapatkan dan meremas remas tangannya sendiri. Ia tahu, ia tahu bahwa Yeonjun sedang ketakutan. Menyenangkan bahwa ia selalu berhasil mendominasi keadaan, membuat seseorang yang berada di ruangan privasinya itu diam tidak berkutik. Menuju sofa tepat didepan ranjangnya, ia berjalan sambil membuka baju tanpa lengannya itu perlahan. Bekas bekas luka sayatan pedang dan luka bakar terlihat jelas di punggung tegapnya. Satu tatto dengan tulisan terbalik kontras berada di punggung kiri bawah bahunya. Yeonjun memandang ngeri. Apa saja yang telah orang ini lewati, sehingga mendapat luka sebanyak itu? 

Pimpinan kelompok itu mendudukkan diri di sofa, menyandarkan punggung dan menaikkan kaki kiri ke paha kanannya. Tetap dengan tatapan tajam, mata yang beriris hijau itu menilai Yeonjun dari kaki hingga ujung rambutnya. Kaki ramping dan paha sekal, pinggang lebih kecil dari bahunya yang tak seberapa lebar, kulit cerah, rambut abu jatuh yang sudah berantakan. Lalu rona wajah entah karena panas atau karena malu melihatnya bertelanjang dada. Wajahnya cukup cantik untuk ukuran laki laki, tipe wajah androgini.

"Ceritakan sesuatu tentang dirimu,"

Yeonjun mengerjap bingung, "Apa?"

"Aku tahu kau tidak tuli."

Pemuda itu mengangguk, lalu bertanya kembali dia harus memulai dari mana. Pimpinan kelompok itu mendesah malas, lalu berdecak, mengatai Yeonjun banyak tanya. "Terserah, yang penting tentang dirimu."

Yeonjun menarik napasnya dalam. Sungguh ia masih ketakutan, merasa sulit bernapas karena takut akan pikiran negatifnya sendiri. Apa setelah ini ia akan dibunuh, atau dilempar kekandang hewan untuk dijadikan makanan—sudah, sudah. Ia tak berani memikirkannya lagi. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti permintaan si-penculik-nya ini atau mati.

Kemudian Yeonjun mulai dari namanya, berumur dua puluh dua tahun. Ia bercerita bahwa dia berasal dari negara utara yang kebetulan datang untuk menemui seorang teman. Temannya sudah memperingati bahwa jangan datang pada malam hari atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Tetapi apa dayanya ketika bus yang ia tumpangi mengalami mogok, sialnya lagi hanya bus itu satu satunya kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk mencapai Hillenir. Ia kemudian sampai pada senja hari, dan berjalan kaki untuk sampai ke tempat temannya. Cukup jauh, ia harus mencari sendiri tempat temannya karena tak ada orang yang bisa ia tanyai alamat, kota benar benar sepi. Lalu datanglah rombongan mobil dan truk, Yeonjun menghentikan mereka untuk menanyakan alamat berharap harap mereka tahu. Bodohnya, dia tidak tahu bahwa nyawanya sedang terancam. "Ya, dan tuan pasti tahu bagaimana kelanjutannya,"

Si pimpinan kelompok itu memandang malas Yeonjun kemudian mendecak lagi, "Aku bilang sesuatu tentang dirimu. Bukan bagaimana kau datang dan sampai kesini. Kau bodoh ya."

"Tapi yasudahlah. Aku tak ingin membuang waktu" pimpan kelompok itu bangun, menghampiri Yeonjun yang semakin tegang dan menunduk dalam—merasa telah membuat kesalahan. Ia lalu memegang bagian belakang telinga kiri Yeonjun, kemudian turun mengusap bahu dan sepanjang lengannya. Yang disentuh bergidik geli, memiringkan kepalanya kekiri.

"Jari yang cantik. Terlalu sayang jika dijadikan pajangan mati," mengambil tangan Yeonjun dan mengamati satu persatu jemarinya. Ia lalu mendekatkan tangan itu ke belah bibirnya—menciumnya pelan tetapi penuh akan sesuatu yang tersirat.

Sungguh! Sungguh si rambut abu tidak mengerti apa yang akan dilakukan orang ini padanya— "Aku Soobin." lalu meremas pinggulnya kuat,

"Sekarang, lepas pakaianmu."

[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ring RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang