Bab 6-2 C

2 2 0
                                    

"Bukankah sudah kukatakan padamu terakhir kali? Orang jahat menyukai mereka. Ada banyak nyawa muraha ar sana, jadi sekarang saatnya untuk memperbaiki keadaan. Aku bisa memanggil mereka ke sini kapan saja..."

Saat aku memikirkan bagaimana cara membuang mayat-mayat ini, Adrian tiba-tiba mengulurkan tangannya kepadaku, menarikku ke dalam pelukannya. Aku hampir kehilangan keseimbangan, tetapi aku mendapati diriku dalam pelukannya. Itu adalah kehangatan yang tak terduga yang tidak cocok dengan udara dingin.

"Hentikan, Hilda. Kau bisa berhenti sekarang. Sebaliknya, jangan menangis. Ini salahku karena lengah. Ini semua salahku, jadi kumohon... jangan menangis."

Menangis? Aku tidak menangis. Tidak ada setetes air mata pun yang jatuh, tetapi dia menyuruhku untuk tidak menangis. Aku mengernyitkan alis dan mencoba melepaskan diri dari pelukannya.

"Aku tidak menangis." "Tidak, kamu menangis."

Cengkeraman di punggungku mengencang, dan dadaku terasa seperti diremukkan. Tangannya, yang terus membelai kepalaku seolah mencari sesuatu, tidak berhenti. Kepalaku masih tertunduk.

Aku tidak menangis. Kadang-kadang, mungkin ada suara isak tangis yang keluar dari bibirku, tetapi tidak ada satu pun air mata yang jatuh. "Jangan menangis. Menangis akan memperburuk penyakitmu. Sakit. Sakitnya luar biasa. Jadi, jangan menangis..."

"Tuan Muda sedang sekarat."

Aku tidak menangis, tapi kenapa kau terus berkata seperti itu? Sebuah suara yang diwarnai dengan kebencian, bertentangan dengan pikiranku, bergema dari kejauhan.

"Tuan Muda sedang sekarat." "... "

"Jadi saya tidak punya pilihan. Saya benar-benar tidak punya pilihan." Aku membela diriku, entah terhadapnya atau orang lain.

"Anda sedang sekarat, Tuan Muda..."

"Tenanglah. Aku tidak mati. Kau menyelamatkanku. Kau menyelamatkanku lagi kali ini."

Aku perlahan menoleh. Leherku terkubur di balik kain, bukan selimut, yang terhampar di belakangku.

Leher, telinga, pipi, tangan... Aku meraba-rabanya dengan pandanganku. Ada lepuh merah di beberapa tempat, dan kulit yang sebelumnya menghitam kini kembali ke warna normalnya. Jari-jari yang panjang dan ramping serta kuku yang dipangkas rapi. Beban yang bersandar padaku terasa nyata.

Dia masih hidup.

Nafasku tersengal-sengal. Adrian... dia masih hidup. "Kamu masih hidup?"

"Ya."

"Benarkah... hidup?"

Detak jantungku yang kuat mendominasi tubuhku. Detak jantungku yang tadinya kehilangan ritme dan berdetak secara acak, perlahan-lahan mulai tenang dan sinkron.

"Ya, aku hidup, Hilda."

Dia berbisik dengan suara yang jelas. Dia masih hidup. Aku menyadarinya lagi. Kelembutan kulitnya, yang perlahan pulih dari luka bakar, begitu manusiawi, tidak seperti data yang terdiri dari angka 0 dan 1 dengan grafik titik yang kubayangkan. Aku memeluknya dengan hangat, bukan dingin. Saat ini, aku hanya ingin bersyukur bahwa dia selamat.

Air mata menggenang di pelupuk mataku sesaat. Bendungan yang selama ini menahan air mataku runtuh tanpa bisa ditahan. Tangannya, yang kukira hanya alat yang terbuat dari data yang terdiri dari angka 0 dan 1, kini terasa manusiawi dan hangat. Tanganku yang tidak ragu untuk membunuh orang lain demi dirinya terasa sangat mengerikan.

Bagian selanjutnya, aku tidak ingat. Rasanya seperti aku kehilangan kesadaran saat itu juga dalam pelukannya. Ketika aku terbangun lagi, aku sudah berada di dalam kamar, dan satu-satunya orang di sana yang menyambutku adalah Adrian.

SAAMIAHGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang