Bab 8

1.1K 7 0
                                    

Sesuai prediksi. Diara lah yang akhirnya terusir dan terhina. Sedikitpun ia tidak pernah menyangka bahwa kedua laki-laki itu sangat pecundang sekali.

Keduanya dengan sengaja melimpahkan semua kesalahan pada Diara. Membuat gadis itu seolah-olah menjadi tersangka utama dan satu-satunya.

Nadia dan Rani dengan mudahnya malah mempercayai begitu saja kedua lelaki pendusta itu. Dua wanita itu seketika sangat murka pada Diara. Mereka menjambak secara membabi buta sebelum akhirnya menendangnya dari rumah.

Diara menangis, meraung, meminta ampun. Ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para tetangga dan orang-orang yang melintas--yang menatapnya dengan tatapan jijik, seolah Diara adalah seonggok kotoran yang sangat menjijikkan.

"Ampun Bu. Ampun Bu Nadia, Bu Rani. Ampuni saya."

Diara terus memohon pada mereka, khususnya pada Nadia dan Rani, agar kedua wanita itu memberikannya sedikit rasa belas kasihan. Mungkin karena memang mereka merasa kasihan pada Diara yang sudah tidak berdaya atau mungkin memang hati kedua wanita tersebut yang memang terlampau baik. Pada akhirnya keduanya mengizinkan Diara untuk berpakaian layak terlebih dulu, dan mengizinkannya untuk membawa serta barang-barang.

Namun barang-barang yang mereka izinkan untuk Diara bawa hanyalah barang yang wanita itu bawa saat pertama kali ke rumah itu. Sedangkan barang-barang berharga pemberian Bima dan Endy, tidak boleh ikut serta dibawa.

Diara sempat ingin protes, tapi mereka sudah lebih dulu mengancam. Akhirnya ia hanya bisa pasrah saja dari pada mereka berubah pikiran dan mengusirnya tanpa membawa apapun. Itu akan sangat membuat Diara menderita. Lagipula, untung saja di dalam tas pakaian yang dulu ia bawa, masih tersimpan sisa uang. Semoga saja uang itu cukup untuknya bertahan hidup sampai Diara bisa mendapatkan pekerjaan baru.

Kemudian, Diara melangkahkan kakinya pergi menjauhi rumah tersebut. Dengan diiringi deraian air mata yang masih membanjiri kedua pipi, pun dengan sumpah serapah dan tatapan jijik dari orang-orang.

Diara tidak mempedulikan semua itu. Ia menulikan pendengarannya seraya menundukkan kepala dalam. Namun tak sedikit dari orang-orang itu yang malah mendorong-dorong tubuhnya dengan kasar sampai ia terjatuh.

Mereka tertawa puas melihat Diara yang jatuh tersungkur di bawah. Mereka semakin membully dengan kata-kata kasar yang tidak pantas untuk didengar seraya menoyor-noyor kepalanya.

"Dasar jalang! Pelacur murahan. Cih!"

"Binatang tidak tahu malu."

"Pergi jauh-jauh dari sini. Jangan mengotori tempat kami."

Sekiranya begitulah isi makinan mereka pada Diara.

Lagi-lagi Diara tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengeluarkan air mata lebih deras lagi. Ia sungguh merasa sangat terhina sekali. '

Tuhan mengapa hidupku semenderita ini? Tidak pantaskah aku untuk bahagia?'

'Ibu tolong Diara, Bu.'

Dalam hati Diara menjerit meminta pertolongan.

Di sini tidak ada satupun diantara mereka yang iba dan menolongnya.

'Semua jahat! Mengapa dunia begitu kejam padaku?!'

Diara berusaha sendiri untuk kembali berdiri meski begitu sulit, namun akhirnya ia berhasil berdiri tegak. Dengan terseok-seok ia melangkahkan kakinya menjauhi mereka. Sampai ia berjalan cukup jauh, dan sudah tidak terdengar lagi umpatan dari mulut orang-orang yang mencacinya.

Diara menghentikan mobil angkutan umum ketika ia sudah tiba dijalan besar.  Kakinya terasa sudah sangat kebas sekali, ia tidak mampu untuk berjalan lagi. Ia memutuskan untuk menaiki kendaraan tersebut, kendati ia tidak tahu ke mana tujuannya akan pergi.

Sang Perebut suami orang (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang