Bab 9

389 2 0
                                    

Terhitung sudah sekitar satu bulan Diara tinggal di kostan itu. Ia merasa betah, karena kostannya cukup bagus, bersih, nyaman, orang-orangnya juga baik. Tapi yang ia pikirkan sekarang adalah biaya sewanya.

Tujuh ratus ribu bagi Diara terlalu mahal, apalagi mengingat ia yang sampai sekarang belum juga mendapat pekerjaan lagi. Untuk makan sehari-hari saja ia hanya mengandalkan uang yang ada dalam tas. Jumlahnya lima juta rupiah kala itu, dan sekarang semakin hari jumlah uang itu semakin berkurang.

"Tinggal sisa dua juta lagi bagaimana ini?" Gumamnya setelah menghitung lagi.

Diara memang baru saja membayar biaya sewa kost untuk bulan ini. Walau biayanya terbilang mahal, tapi ia memutuskan untuk memperpanjang sewa. Lagipula sebenarnya harga segitu wajar untuk ukuran kost-kostan yang ada dipusat ibu kota, yang menjadi masalah hanya terletak pada dirinya yang belum juga mendapat pekerjaan.

Sebenarnya Diata sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, tapi mencari pekerjaan di zaman sekarang itu sangat sulit, apalagi untuk ia yang hanya tamatan sekolah dasar.

Jika dihitung-hitung Diara sudah menghabiskan satu juta empat ratus untuk sewa kost, dan satu juta enam ratus untuk biaya makan dan membeli sedikit keperluan yang lain.

Beruntung kostan ini sudah dilengkapi dengan kasur berukuran kecil, kipas angin, juga lemari plastik untuk menaruh baju. Jadi ia hanya perlu membeli yang penting dan sangat dibutuhkan saja; seperti perlengkapan mandi, perlengkapan makan dan juga penanak nasi (agar lebih berhemat).

Namun tetap saja, sekarang ia pusing sekali, lama-kelamaan uang ditangannya pasti akan habis jika  tidak bekerja. Nanti bagaimana caranya ia bisa makan? Bagaimana caranya ia bisa membayar biaya sewa kost?

'Aduh aku benar-benar pusing sekali.'

Tok... Tok... Tok...

Sedang pusing memikirkan bagaimana harus menyambung hidup, terdengar suara pintu kamar kostnya diketuk lalu disusul sebuah suara yang sudah sangat Diara hafal siapa pemiliknya.

"Ra, Lo di dalem?"

Diara lantas menaruh uangnya ke dalam lemari plastik--di bawah tumpukan baju, lalu bergegas untuk membuka pintu.

"Elah ngapa pake dikunci segala sih? Emang di dalam kamar Lo ini ada bongkahan berliannya?

Itu Rianti. Dia adalah tetangga kost Diara sekaligus teman pertamanya. Selama hidup, memang baru kali ini Diara mempunyai teman dekat. Ia sangat pendiam dan sulit untuk bersosialisasi, maka wajar jika dari dulu ia tidak pernah mempunyai teman.

Rianti itu orangnya santai, apa adanya, dan kalau bicara suka nyablak seperti tidak ada saringannya. Tapi dia orangnya sangat baik, terlebih pada Diara.  Bersyukur walaupun hidupnya sangat sulit, tapi Diara masih dipertemukan dengan orang-orang yang baik.

Rianti langsung menyelonong masuk ke dalam kamar kost--seperti biasa, di tangannya gadis itu membawa sesuatu. "Nih wadahin." Pintanya pada Diara.

"Wih apa nih? Kayanya lagi ada yang banyak duit." Diara menerimanya dan langsung mengambil piring. Ternyata Rianti membawa dua bungkus ayam geprek sudah dengan nasinya, juga minumannya. Wah lumayan sekali, kebetulan Diara memang belum makan siang karena berasnya habis dan ia belum sempat membelinya lagi.

Oh ya perlu diketahui Rianti memang cukup sering memberi Diara makanan. Dia memang sebaik itu, tak heran Diara menganggapnya teman terbaik.

"Semalem gue dapet tips lumayan banyak, makanya gue traktir lo." Kata Rianti.

"Syukur deh kalau gitu sering-sering ya? Lumayan jadi bisa menghemat pengeluaran gue." Kata Diara sambil menyengir.

"Yeu enak banget lo. Kerja sendiri dong." Balasnya tidak santai seperti biasa dengan mulut yang dipenuhi makanan, karena ia sudah mulai menyantap ayam gepreknya.

"Gue juga mau kerja, tapi nyari kerjaan sekarang susah. Gue udah nyari ke sana kemari tapi gak dapet juga, yang ada malah jadi makin nambah pengeluaran gue."

Jangan salah, membuat lamaran pekerjaan juga membutuhkan uang. Biaya membeli map, kertas, cetak foto, bolpoin, dan lain-lain. Belum lagi ongkosnya. Membuat Diara menjadi semakin pusing.

Rianti menelan makanannya dengan cepat, lalu menaruh piringnya di lantai. "Kalo gitu lo mau gak ikut kerja sama gue?"

"Jadi pemandu lagu?" Tanya Diara. Setahu dirinya, Rianti memang bekerja sebagai pemandu lagu di salah satu tempat hiburan malam di kota ini. Ia sempat sedikit bercerita mengenai pekerjaannya itu, beberapa waktu lalu.

"Iyalah, apalagi?" Kata Rianti.

"Tapi gue gak bisa nyanyi Ti."

Diara bukannya ingin menolak tawaran Rianti dan memilih-milih pekerjaan. Tapi ia memang tidak bisa bernyanyi. Sebenarnya ia ingin sekali menerima tawaran Rianti, tapi ya mau bagaimana lagi, kalau suaranya saja fals.

Rianti mendecih. "Masalah itu, tenang aja. Jadi pemandu lagu gak harus punya suara bagus kok. Yang menting itu menarik." Lalu Rianti seperti memperhatikan bentuk tubuh Diara membuat yang di tatap merasa risih.

"Lo ngapain sih liatin gue kaya gitu?" Diara menegurnya.

"Gue liat-liat body lo oke juga." Rianti kembali mengangkat piringnya. Sebelum menyuap makanannya lagi, ia kembali melanjutkan. "Bisa kalo lo mau kerja ikut gue, yang penting Lo-nya beneran mau gak?"

"Ya gue sih mau banget, tapi emang beneran bisa?" Tanya Diara ragu. Jujur saja, ia tidak tahu pekerjaan sebagai pemandu lagu itu seperti apa? Rianti juga tidak pernah menjelaskan secara detail pekerjaannya itu. Jadi Diara hanya menebak-nebak saja dari namanya. Jika bekerja sebagai pemandu lagu itu harus mempunyai suara yang bagus. Namanya juga pemandu lagu 'kan?

Lalu Rianti menjawab dengan santai sembari melanjutkan makan. "Bisa kok, kalau begitu nanti malam lo ikut gue."

***

Dan di sinilah pada pukul sembilan malam ini Diara berada. Di sebuah tempat hiburan malam bernama Ocean's cafe.

Tampak luar sih biasa-biasa saja, seperti cafe pada umumnya, namun kau akan melihat perbedaannya ketika sudah masuk Cafe itu lebih dalam dan paling belakang.

Tempat ini memang luas sekali, terdiri dari dua bangunan besar. Satu bangunan cafe itu sendiri, sementara yang belakang terdiri dari banyak ruangan-ruangan kecil--yang Diara yakini itu sebagai ruangan untuk orang-orang berkaraoke.

Rianti menyenggol lengan Diara, membuat gadis yang sedang fokus memerhatikan sekeliling ruangan itu tersadar.

"Ra, Lo ditanya tuh. Malah diem aja." Katanya.

Diara langsung gelagapan. Sekarang ini ia memang sedang bertemu dengan manager tempat ini. "A-ah maaf Pak tadi anda bertanya apa ya?"

Manager cafe, yang baru  Diara ketahui bernama Roni itu tersenyum tipis lalu mengulang pertanyaannya. Jujur saja tadi Diara terlalu fokus memerhatikan sekeliling ruangan itu jadi ia tidak mendengar apa yang lelaki itu bicarakan. "Saya cukup tertarik padamu. Tapi saya mau bertanya satu kali lagi, untuk meyakinkan. Apa kamu serius mau bekerja di sini?"

Dengan cepat Diara menganggukkan kepala, sekarang ini ia sangat membutuhkan pekerjaan. Jika Roni tertarik pada Diara, itu artinya lelaki itu akan menerima dirinya bekerja di sana 'kan? Maka Diara tidak boleh membuang-buang kesempatan. Masalah ia yang tidak bisa bernyanyi, kata Rianti (ketika dalam perjalanan) itu hal gampang, nanti Rianti akan membantu, mengajarinya.

"Iya Pak saya serius. Saya ingin sekali bekerja di sini." Ucap Diara mantap, tidak ada keraguan sama sekali.

Roni kembali tersenyum, jika boleh jujur senyumannya sangat manis sekali, Diara sampai terpana melihatnya. 'Aih dasar Diara, malah jadi gagal fokus 'kan.'

Okay lupakan!

Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya pada Diara, dan langsung disambut dengan senang hati.  Roni lalu berkata. "Mulai besok kamu sudah bisa bekerja di sini.

Bersambung...

Sang Perebut suami orang (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang