Suhu AC & Malam Pertama

20 1 0
                                    

Apa agenda pasutri di malam pertama?

Tentunya bermesra ria adalah jawaban nomor wahid, tetapi sialnya itu tidak untuk pasutri yang satu ini. Mereka berhadapan dengan wajah yang tegang.

“Tapi maaf Nisha-kun, aku benar-benar tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Lagi pula, tidur dengan lampu menyala itu tidak baik untuk kesehatan,” ceramah Seijuro panjang lebar, tetapi sang istri tidak mengindahkannya.

“Aku sudah terbiasa tidur dengan lampu menyala selama 24 tahun. Ayahku dokter, tuh. Dia juga tidur dengan lampu menyala! Aku bukannya takut dengan hantu atau apa, tapi rasanya gerah dan sesak Sei-kun,” bantah Nisha tak mau kalah. Dahinya mengerut kesal.

Seijuro mengembus napas panjang seraya menjernihkan pikirannya. Nisha sebenarnya perempuan yang penurut dan mudah dibentuk. Namun, jika istrinya itu sudah berprinsip, maka aturan presiden pun ia langgar demi kebebasannya. 

Setelah beberapa saat, bagaikan ada imajiner bola lampu di atas kepala merah itu. “Ne, Nisha-kun.”

“Umm?”

“Jika aku bisa tidur dengan lampu mati dan kamu lampu yang menyala, maka jalan tengahnya adalah lampu remang-remang. Cahayanya tidak terlalu terang dan tidak pula gelap. Bagaimana menurutmu?’

“Ide bagus!” Nisha bersorak girang. Mungkin kelelahan meladeni tamu hingga pukul satu dini hari membuat otak mereka sama-sama malfungsi. Harusnya sedari tadi mereka bisa menemukan ide ini.

Seijuro mematikan saklar lampu utama, cahaya yang tersisa hanyalah kuning remang dari lampu atas nakas. Sekembalinya ke ranjang, ia mencubit gemas hidung wanita yang sedari tadi berdebat dengannya.

“Mari kita beristirahat.” Dikecupnya dahi sang istri yang sudah bermarga Akashi itu dengan mesra. “Oyasumi.”

Diperlakukan seperti itu membuat wajah Nisha memerah padam. Nisha pun membalas kecupan itu di tempat yang sama. “Oyasumi, Sei-kun.”

Setelahnya, mereka menarik selimut masing-masing dan tertidur. 

Namun beberapa saat kemudian, Seijuro menyingkap selimutnya karena merasa gerah. Entah kenapa suhu AC di kamarnya menguar dengan tidak biasa hingga membuatnya tidak nyaman. Diambilnya remot AC untuk menurunkan suhunya. 

Tapi siapa yang menaikkannya?

Seijuro melirik Nisha. Ah, iya, istrinya. Ada penghuni baru di kamar ini, pastilah Nisha yang menaikkannya.

Namun karena Nisha sekarang tertidur pulas, Seijuro pikir ia tak akan menyadarinya. Yang terpenting sekarang adalah beristirahat. Mereka masih punya pagi esok untuk mendiskusikannya.

Dugaan Seijuro terbantahkan ketika ia melihat Nisha terbangun dengan menggigil. Ternyata perempuan itu cukup peka dengan apa yang terjadi. Nisha pun menarik selimut suaminya agar tubuhnya lebih hangat.

“Sei … naikkan suhunya,” pinta Nisha dengan suara yang serak.

Dengan cekatan Seijuro mengambil remot dan menuruti sang istri. Tak lama kemudian, Nisha kembali tertidur tenang. Ada sedikit rasa sesal di dalam dirinya ketika melihat Nisha tersiksa. Seijuro pun mulai menyadari bahwa kehidupan pernikahan tidak lagi tentang dirinya seorang. Semuanya harus berbincang bersama untuk mencari jalan tengah. Jikapun tak ada, salah satunya harus ada yang mengalah.

Harus ada yang mengalah.

Niat hati demikian, tetapi tak bisa dipungkiri jika dirinya masih enggan untuk merelakan. Tidur dalam kepanasan tidak membuatnya nyaman. Diraihnya remot AC di nakas untuk sedikit diturunkan. Setelahnya, ia bisa terlelap dengan nyaman.

Beberapa saat setelahnya, Nisha kembali bangun karena kedinginan. Diambilnya remot AC itu untuk kembali dinaikkan. Keadaan pun berbalik..Kali ini, Nisha yang sudah nyaman dan Seijuro yang lagi-lagi merasa kepanasan.

Mungkin karena saking lelahnya, remot AC itu tidak dikembalikan oleh Nisha di tempat yang seharusnya, tetapi terkapar di antara mereka. Seijuro menimbang-nimbang, haruskah ia menurunkannya lagi? Ah, tidak. Itu hanya akan membuat Nisha terbangun lagi, pikirnya.

Seijuro membuka lemari untuk mengambil tiga selimut tambahan. Mungkin saja, dengan begini Nisha akan tetap nyaman meski diterpa udara yang dingin. Sekarang di tubuhnya Nisha ada lima selimut. Seijuro yakin, Nisha akan baik-baik saja.

Volume diturunkan, Seijuro pun memejamkan mata. Di luar ekspektasinya, Nisha terbangun lagi.

“Sei …,” rengek Nisha.

“Perlu aku tambahkan selimutnya lagi?”

Nisha bangkit, mengurangi selimut-selimut yang membungkus tubuhnya. Alasan ia terbangun bukan karena kedinginan, tetapi karena badannya berat ditimpa banyak selimut. Dirinya tidak nyaman begini.

Nisha pun menatap Seijuro dengan sendu. Sungguh sebuah hal yang tak terduga jika awal pernikahan justru langsung diberi ujian dengan hal seperti ini. Mulai dari perkara lampu, hingga AC.

“Sei, jika kita begini terus, kurasa kita tidak akan cocok tidur di satu ruangan yang sama.” Nisha mengembus napas berat. “Bagaimana kalau aku tidur di kamar lain?” 

“Eh—Jangan!” Raga yang sedari tadi lemas seketika bangkit dengan darah yang panas.“Berhentilah membuat keputusan dengan gegabah.”

Remot itu diambil lagi, lalu diubah pada suhu yang bisa Nisha toleransi: 27. Memang sangat berbanding terbalik dengan Seijuro yang selalu menyetel di antara 19 atau 20. Setelahnya, Seijuro melepas melepaskan mantelnya dan hanya bertelanjang dada. Dimulai pada detik ini, ia akan membiasakan diri.

Seketika, Seijuro langsung memeluk tubuh Nisha.

“Aku bisa mengalah untukmu asal kau tidak jauh-jauh dariku.” Pagutan itu semakin erat dan posesif. “Aku pasti bisa tertidur, mungkin aku perlu waktu, tapi aku pasti akan menyesuaikanmu.”

“Maaf.” Nisha merasa bersalah karena di awal ia sudah membuat suaminya tidak nyaman. Rasanya ia ingin menangis, tetapi ia tetap menstabilkan emosinya agar tidak membuat Seijuro khawatir. “Maaf karena membuatmu tidak nyaman di ruang pribadimu,” imbuhnya.

“Tidak perlu meminta maaf.” Pria berambut merah itu mendaratkan kecupan lembut penuh kasih di puncak kepala sang istri.

“Cause an Empress will get anything from her Emperor.”

AkaNish : Candy JarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang