Perayaan

17 9 2
                                    

Sebuah perayaan. Hari ini, genap usianya yang keduapuluh enam tahun. Sudah tua, memang. Sejak dulu Nuansa tidak pernah dirayakan. Bahkan dalam benaknya, ia selalu bertanya 'Apa itu perayaan?' Karena yang ia tahu hanya perayaan duka: memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab dan ibu yang sudah tiada.

Entahlah, rasanya hari ini ia ingin merayakan hari lahirnya, meski hanya sekali seumur hidup. Walaupun rumput yang sedang diinjaknya bersaksi bahwa ia sebenarnya memilih untuk tidak dilahirkan ke bumi.

Lima tangkai bunga matahari diletakkan dipusara sang ibu, sebagai ucapan terimakasih telah melahirkannya kedunia. Membaca doa-doa dan berharap semoga sang ibu bisa tenang disana. Ia memang benci dilahirkan, tapi tuhan sudah mengirimnya ke bumi, dan itu salah satu anugerah yang harus disyukuri.

Setelah pulang ke rumahnya, Nuansa menangis. Menjadi laki-laki rapuh seperti maple di musim gugur.

"Sagara," panggil pak Kuesno, bapak angkat Nuansa.

Nuansa menoleh, mengusap air matanya supaya tidak terlihat seperti anak cengeng.

Pak Kuesno duduk disebelah Nuansa. Diam sejenak dan berbicara. "Dulu, sebelum ibu titipin kamu, Bapak sudah anggap kamu sebagai anak sendiri. Kamu jangan sedih, kamu gak sendirian."

Memang, saat ibu Nuansa sakit keras dan menitipkannya, dengan senang hati Pak Kuesno menjaga dan menganggap Nuansa seperti anaknya sendiri. Sebab Pak Kuesno tidak memiliki anak, dan istrinya meninggal karena sakit jantung.

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada hidup sendirian.

Pak Kuesno mengajak Nuansa ke sebuah ruangan sederhana. Ruangan yang tidak terpakai lalu dijadikan sebagai tempat untuk melukis. Memberikan sebuah kanvas pada Nuansa sebagai hadiah ulang tahun.

"Satukan apa yang ada dalam hati dengan imajinasi yang ada di kepala, lalu nikmati hasilnya."

Pak Kuesno meninggalkan Nuansa sendirian. Selama ini, Nuansa mengeluarkan apa yang ada dikepala hanya dengan menulis. Meski pandai menggambar, Nuansa tidak pernah bermain dengan palet, kanvas, ataupun cat air seperti bapaknya. Ia hanya menulis, menulis, dan menulis. Terkadang hanya menggambar ilustrator dari sketchbooknya saja.

Nuansa menghela nafas. Entahlah, hanya ada satu bayangan; bunga Iris. Padahal beribu-ribu inspirasi datang menjumpai, seperti: rokok sampoerna, halte, langit kelabu, bunga matahari, jalanan macet ibu kota, dan masih banyak lagi.

Perlahan, tangan Nuansa sepert tersihir sesuatu. Dengan lihai, ia membuat lukisan yang dituntun oleh keinginannya sendiri.

Selesai. Nuansa merasa senang. Seperti melahirkan beribu-ribu puisi yang sering ia pamerkan di facebook atau instagram yang sebenarnya hanya ada sedikit followers. Rasa sedihnya perlahan menghilang, ia terus saja memandangi lukisannya sendiri seperti penikmat lukisan sejati yang senang berlama-lama di galeri.

Terlihat ia merogoh sakunya dan memotret gambar yang sedikit buram. Membuka kolom chat lalu mengirimnya pada seseorang, dengan sebuah caption 'Iris ungu untukmu'

                                                       •••

Ada notif tak bernama. Ia mengirimkan lukisan Iris ungu. Aku tahu kalau itu Nuansa, meski awalnya kupikir itu hanya nomor iseng yang menipu. Kubalas dengan sebuah pujian yang tidak berlebihan.

"Lukisannya bagus."

"Syukur deh kalau suka lukisannya, besok mau aku bawain?"

"Gak usah, makasih."

"Kalau mau lukisannya bilang ya, nanti aku antar."

"Ok."

Dia Biruku yang Tenggelam [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang