Aku Suka

32 15 0
                                    

"Rokok aja sebungkus pak."

Si penjual memberi sebungkus rokok Sampoerna pada Nuansa. Di warung pinggir jalan, Nuansa berhenti sejenak sebelum ia pergi ke halte untuk pulang.

Sekarang pukul empat sore. Langit Jakarta mulai menjingga. Kalau ia punya kamera, hobinya pasti bertambah satu: memotret gambar. Sayangnya, Nuansa tidak punya kamera, jika mengandalkan ponsel--kameranya buram dan tidak jelas.

Ia menghisap rokoknya, duduk sejenak dan melihat jalanan yang ramai. Nuansa senang dengan hari ini. Ia senang dengan pekerjaannya sekarang; membuat cerpen atau puisi di koran harian dengan bermodalkan imajinasi liar yang kadang sedikit tidak nyambung.  Meski penghasilannya tidak seberapa, tapi ia masih bisa menabung untuk membeli HP baru yang berkamera jernih.

Nuansa mendongak ke langit. Ia senyum-senyum sendiri. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Sedang apa ya dia? Batinnya bertanya.

Ia membuang putung rokoknya di sembarang tempat. Lalu merogoh sakunya dan membuka kertas bon yang sudah lecek. Mengambil pensil di tas dan menulis sesuatu.

Aku suka senja di jakarta.

Aku suka saat ia berkata, "kaya nenek sihir, Iya?"

Aku suka raut wajahnya yang lucu saat sedang kesal.

Aku suka biusan matanya yang membuatku ingin melahirkan sebuah puisi yang tidak bisa kuberikan judulnya.

Aku suka rambutnya yang digerai menawan lalu dihempas angin perlahan.

Aku suka perempuan yang bernama...

Rahasia.

Nuansa tersenyum. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menulisnya diam-diam.

                                                             ***

Tepat jam lima sore. Sudah ada tiga bus yang lewat, Nuansa belum juga pulang. Setiap ada bus berhenti, Nuansa melihat ke jendela dan mengamati. Meski penglihatannya tidak menjamin. Tetapi ia yakin, penglihatannya tidak akan melesat. Dari ketiga bus tersebut, tidak ada aku di dalamnya.

Tentu saja, aku pulang diantar Alya. Teman kerjaku, ia menawariku pulang karena ia akan pergi ketempat tantenya yang satu arah dengan rumahku.

"Ayo, sekalian aja pulang bareng," katanya.

Aku mengangguk setuju. Sore itu, aku pulang lebih awal, tidak lagi harus berlama-lama menunggu bus di halte, tidak perlu lagi berjejal dengan orang-orang, dan tidak perlu lagi bertemu Nuansa.

                                                               ***

Nuansa masih sabar menunggu hingga adzan maghrib berkumandang. Ia menghela nafas lesu. Mungkin benar, ia seharusnya tidak terlalu mengandalkan mata jelinya itu.

Aku harap, besok-besok semesta mendukung kita bertemu lagi.

Dia Biruku yang Tenggelam [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang