Pagi ini aku akan berangkat bekerja. Menjalani hari-hariku seperti biasa. Ketika sampai pagar, aku melihat Nuansa sudah menungguku disana.
"Pagi cantik."
"Ayo naik!"
Aku menggeleng.
"Aku pengin naik bus."
Nuansa terdiam. Raut wajahnya terlihat keheranan.
"Aku kangen naik bus lagi."
Sudah dua minggu Nuansa selalu mengantarku bekerja. Bukan berarti aku tidak senang. Tapi aku rindu harum bus umum, duduk didekat jendela, dan perjalanannya.
"Kalau gitu, kita sama-sama naik bus."
"Motor kamu?"
"Aku titip disini ya."
"Jangan maksain, Sa."
"Aku gak maksain sayang, aku juga rindu banget naik bus." Nuansa mendekatkan tubuhnya, lalu berbicara lagi. "Sekalian nostalgia."
Ia mengacak-acak rambutku, gemas. Aku tertawa kecil dan melihat wajahku dicermin kecil yang setiap hari kubawa. Rambutku sedikit berantakan. Nuansa mengusap kepalaku sambil membenarkan rambutku yang tidak rapih.
"Hari ini make-up ku bagus gak?"
"Bagus sayang, gak pake make-up aja udah cantik apalagi pake make-up."
"Kaya siapa cantiknya?"
"Kaya putri salju."
"Ihh."
Aku memukul lengannya pelan. Ia tertawa.
"Becanda. Putri salju aja kalah sama kamu."
Aku tersenyum. Ia balik tersenyum dan mengacak rambutku lagi.
"Ihh Nuansa." Aku berdecak kesal.
"Abisnya, kamu gemesin banget sih."
Selama bersama Nuansa, aku jadi berubah. Tentu saja aku jadi semakin percaya diri. Dari yang tadinya bodoamat dengan dunia make-up atau outfit, aku jadi peduli. Tentu saja perubahan itu membawaku pada hal yang positif. Ia yang merubahku, menjadi perempuan yang tidak pernah lagi menyesali hidup.
Kami berjalan menuju halte. Kebetulan, bus baru saja berhenti. Kami langsung naik dan duduk berdua. Romantis bukan? Ah tidak. Itu berlebihan.
Kulihat Nuansa membuka dompetnya. Aku melihat KTP dan profil namanya.
"SAGARA," ucapku refleks saat membaca KTP-nya.
Nuansa menoleh, ia menatapku.
"Nama kamu bukannya Nuansa?"
"Sebenernya, namaku Sagara."
Aku mengerutkan kening.
"Nuansa itu nama penaku."
"Ohhh. Kenapa gak bilang."
"Karena aku pengin kamu kenal aku sebagai Nuansa aja."
Aku terdiam tidak mengerti.
"Udah jangan dipikirin. Liat deh, ada yang jual sandwich, kamu suka banget kan? Nanti kita beli kesana ya."
Aku mengangguk. Ia tersenyum. Sebenarnya, aku cukup penasaran dengan apa yang ia ucapkan. Apa maksudnya kalau aku kenal ia hanya sebagai Nuansa. Padahal kalau dipikir, nama aslinya jauh lebih keren dari nama penanya.
"Jangan ngelamun sayang."
"Aku bingung, kenapa aku cuma boleh tau kamu sebagai Nuansa aja. Setiap kali aku tanya orangtua kamu, malah gak dijawab."
Nuansa cuma diam. Aku tau ia sedang berpikir keras. Apa ia sudah berbohong? Banyak yang aku tidak tahu tentangnya.
"Udah sampai sayang."
Aku menoleh ke jendela. Aku berdiri tanpa menghiraukan Nuansa. Setiap kali ingin bertanya, pasti selalu ada halangannya.
"Kenapa ikut?" Tanyaku saat turun dari bus.
"Mastiin kalo kamu selamat."
"Aku udah gede, Sa."
"Iya sayang, aku tau."
"Gak ke tempat kerja?"
"Kamu marah ya?"
"Gak."
"Ibu aku udah gak ada sayang, aku tinggal sama Bapak dirumah. Itupun Bapak angkat."
Aku terdiam. Ia langsung memberikan jawaban yang selalu kupertanyakan.
"Maaf, aku gak bermaksud. Aku cuma pengin tau tentang kamu."
"Iya sayang, nanti aku ceritain detailnya ya."
Aku mengangguk. "Yaudah, kamu berangkat kerja, Sa. Lagian, kenapa ikut aku turun."
"Pengin mastiin aja kamu ketempat kerja, gak keluyuran."
"Ihh."
Nuansa tertawa kecil. Ia lalu pamit dan berangkat ke tempat kerja yang lumayan dekat jaraknya. Aku langsung berlari kecil--takut terlambat karena terlalu lama mengobrol dengan Nuansa.
Banyak yang ingin aku tanyakan sebenarnya. Tapi yasudah, nanti saja. Toh, Nuansa tidak akan kemana-mana. Aku masih memiliki banyak peluang untuk mengobrol dengannya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Biruku yang Tenggelam [On Going]
Ficção GeralTenggelam. Seperti kapal karam yang dipaksa melaut, seperti perasaan yang tidak berujung kepastian. karena nyatanya, yang selalu kasih janji manis akan kalah dengan yang kasih kepastian dijari manis.