🐺chapter 1

43 4 0
                                    

Hari yang Cerah di Eldoria

Matahari baru aja naik, dan cahaya lembutnya menembus jendela kamar Brian. Kota Eldoria pagi itu terasa tenang seperti biasanya, sebuah kota kecil yang nggak pernah berubah banyak.

Eldoria selalu jadi rumah yang hangat buat Brian dan keluarganya, tempat di mana waktu terasa berjalan lebih lambat, seolah dunia di luar sana nggak terlalu penting.

Brian menggeliat pelan di tempat tidurnya, berusaha mengumpulkan energi buat bangun. Usianya udah 18 tahun, baru aja lulus sekolah menengah atas, tapi beban tanggung jawab udah nempel di punggungnya sejak lama. Sebagai anak sulung di keluarga pratama, dia udah dilatih buat jadi pewaris bisnis keluarga. "Toko Tani Eldan" itu udah diwariskan turun-temurun, dan sekarang, semua mata tertuju ke Brian buat meneruskan tradisi itu.

"Bro, bangun dong. Udah siang nih!" Suara Aiden, adiknya, terdengar dari pintu kamar.

Brian membuka mata dan menatap adiknya yang berdiri di ambang pintu dengan senyum jahil di wajahnya. Aiden, yang beda dua tahun lebih muda, selalu jadi energi positif di keluarga mereka.

Dia nggak pernah kehabisan ide buat bikin suasana jadi lebih ceria. "Lo beneran tidur sampe segini? Pagi-pagi udah banyak yang harus dilakuin, Brian," katanya sambil cengengesan.

Brian cuma nyengir malas, lalu bangkit perlahan dari tempat tidur. "Santai aja, Den. Kan hari ini nggak ada jadwal penting. Lo ngapain buru-buru?"

Aiden melangkah masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang Brian. "Nggak ada jadwal penting buat lo mungkin, tapi gue ada rencana. Pengen ke taman, bawa sketchbook. Inspirasi lagi dateng nih."

Sejak kecil, Aiden udah punya ketertarikan sama seni. Dia suka menggambar, melukis, dan ngotak-ngatik benda-benda kreatif. Beda banget sama Brian yang lebih fokus ke hal-hal praktis dan bisnis keluarga.

Bukan berarti Brian nggak peduli sama apa yang Aiden suka, tapi belakangan, Brian mulai ngerasa kalau minat adiknya itu nggak bakal diterima dengan mudah oleh keluarga mereka.

"Ya, udah deh, lo pergi aja sendiri. Gue masih ngantuk," kata Brian sambil menguap.

"Dasar pemalas," ledek Aiden, tapi dengan nada yang penuh kasih sayang. Dia tau kakaknya itu selalu punya beban lebih, tapi tetep aja suka ngeledek buat ngeringanin suasana.

"Yaudah, kalau lo nggak mau ikut, gue cabut duluan. Tapi nanti jangan lupa, gue mau nunjukin beberapa gambar gue ke lo."

Brian cuma mengangguk pelan, menonton adiknya keluar dari kamar dengan langkah ringan, seolah nggak ada beban di dunia. Setelah Aiden pergi, Brian berdiri dan memandang keluar jendela kamarnya.

Dari sini, dia bisa lihat sebagian besar kota Eldoria-bangunan-bangunan kecil, jalanan sempit, dan sawah yang terbentang di kejauhan. Tempat ini mungkin nggak besar atau modern, tapi buat Brian, Eldoria adalah rumah. Tempat dia tumbuh, tempat di mana keluarganya berakar.

Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah. Mungkin bukan dari Eldoria, tapi dari dalam dirinya sendiri. Terutama sejak Aiden semakin menunjukkan minatnya pada hal-hal yang nggak biasa di keluarga mereka.

Keluarga Jackson( nama ayah mereka) selalu berfokus pada bisnis, pada bagaimana melanjutkan tradisi. Seni? Kreativitas? Itu nggak pernah jadi bagian dari perhitungan mereka.

Setelah beberapa lama merenung, Brian akhirnya memutuskan buat bangun dan memulai harinya. Dia berjalan ke dapur dan melihat ibunya, Mia, sedang menyiapkan sarapan. "Aiden udah keluar, Ma," katanya sambil duduk di meja makan.

Mia menoleh dan tersenyum lembut. "Dia bilang mau ke taman, kan? Anak itu nggak pernah bisa diam. Semoga aja dia nggak lupa kalau kita punya rapat keluarga hari ini."

Brian mengerutkan dahi. "Rapat keluarga? Ada urusan apa, Ma?"

"Papa kamu, Jackson, mau bahas soal masa depan bisnis keluarga. Kamu juga harus ikut, Brian. Bagaimanapun juga, kamu pewaris utama."

Kata-kata Mia mengingatkan Brian akan tanggung jawab besar yang ada di pundaknya. Dia tau, cepat atau lambat, dia harus benar-benar mengambil alih bisnis keluarga. Tapi apa yang bakal terjadi sama Aiden? Adiknya itu jelas punya jalan yang beda.

"Yaudah, nanti aku ikut, Ma," jawabnya akhirnya, walaupun pikirannya masih berkutat pada adiknya.

Setelah sarapan, Brian memutuskan buat berjalan-jalan sebentar ke taman tempat Aiden biasa menggambar. Taman itu nggak jauh dari rumah mereka, hanya beberapa menit jalan kaki. Saat dia sampai di sana, dia melihat Aiden duduk di bawah pohon besar, asyik dengan sketchbook-nya.

Tangannya bergerak cepat, membuat garis demi garis yang entah gimana selalu menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

"Aiden!" panggil Brian sambil berjalan mendekat.

Aiden menoleh dan tersenyum. "akhirnya nyusul juga."

Brian duduk di sebelah adiknya. "Gue cuma penasaran aja, lo lagi bikin apa."

Aiden mengangkat sketchbook-nya dan memperlihatkan gambar yang sedang dia buat. "Ini masih sketsa kasar, tapi gue lagi bikin pemandangan kota dari atas bukit. Lo inget nggak waktu kita kecil dulu sering main di bukit itu? Gue pengen nangkep kenangan itu di gambar."

Brian menatap gambar itu dengan kagum. Meski baru sketsa, dia bisa lihat betapa berbakatnya Aiden. Tapi di balik kekagumannya, ada rasa cemas yang nggak bisa dia hilangkan. Bagaimana keluarganya bakal merespon ketika Aiden mulai serius dengan mimpinya? Apa mereka bakal bisa nerima?

"Aiden, lo pernah mikir nggak kalau-" Brian ragu sejenak, tapi akhirnya melanjutkan, "-kalau mungkin jalan lo beda sama apa yang keluarga kita harapin?"

Aiden menatap kakaknya dengan mata penuh pemahaman. "gue tau, Brian. Gue udah lama mikir soal itu. Tapi gue nggak bisa bohong sama diri gue sendiri. Seni itu hidup gue."

Brian menarik napas dalam-dalam. "Gue ngerti, Den. Gue cuma nggak mau lo nanti ngerasa terjebak."

Aiden tersenyum kecil. "Gue juga nggak mau ngerasa gitu. Tapi lo tau kan, kadang lo harus berjuang buat sesuatu yang lo percaya."

Brian mengangguk pelan, menatap adiknya dengan rasa bangga yang bercampur khawatir. Dia tau, perjalanan Aiden nggak bakal mudah. Tapi apa pun yang terjadi, dia bakal selalu ada di sisi adiknya.

Bersambung..
926
14september2024(18:34)

Catatan penulis

Bahasanya penggilannya (lo/gue) bakal lorenz ganti di chapter selanjutnya

Nih lorenz lagi pemulihan,Habis kecelakaan , habis kepleset malah ketiban montor, seperti pepatah bilang.

Dua Dunia BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang