tujuh

74 5 0
                                    

Tidak ada yang bermakna dari hari yang lalu. Hanya ada beberapa pekerjaan kecil dan kesedihan yang tak kunjung usai. Aku pun tidak mengerti mengapa aku masih ada di dunia ini. Kalau bukan karena Cynthia, mungkin, aku sudah menyusulnya. Apalah arti hidupku tanpa keberadaannya?

Setelah bangun tidur, aku langsung membuka ponselku dan mencoba mencari distraksi. Semuanya terasa monoton. Twitter tidak seru, Instagram diisi orang palsu, dan Tiktok diisi isu lalu. Tak ada yang bisa aku lakukan. Aku terjebak dalam pikiranku sendiri.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku ingin membuka galeri, mengenang masa lalu. Sekitar setahun yang lalu, kami pergi ke Thailand. Negara pertama yang kami kunjungi sebagai sepasang kekasih. Aku rasa semua foto dan videonya masih tersimpan.

Aku langsung membuka album yang aku beri nama Thai trip. Foto-foto itu langsung menerpaku, mengingatkanku masa-masa yang indah. Kami sangat bahagia, sungguh sangat bahagia. Aku bahkan tidak kuasa melihatnya. Cynthia sangat lihai dalam menyembunyikan perasaannya.

Merasa tak kuat, aku melempar ponselku asal di kasur dan pergi ke dapur. Ketika sudah di dapur, bukannya memasak, aku malah melamun. Dua minggu belakangan ini terasa sangat monoton. Semua rasa berubah jadi hambar.

Badanku mulai tenggelam. Pikiranku pergi jauh ke awang-awang. Memori itu menyerbuku tanpa ampun. Kali ini, aku tidak bisa mengelak lagi.

***

24 September 2026
Perasaan lega langsung menghampiri kami berdua ketika sudah berhasil untuk menaruh barang-barang di kamar hotel. Perjalanannya cukup panjang dan aku kurang tidur. Seharusnya, aku tidur saja di pesawat, tetapi Cynthia terus mengajak mengobrol. Aku tidak bisa tak menghiraukannya begitu saja.

Bangkok akan selalu menjadi tempat yang spesial untukku. Beberapa tahun yang lalu, aku dan Cynthia memutuskan untuk pergi ke sini saat liburan sekolah. Thailand adalah negara pertama yang kami kunjungi bersama-sama. Pada waktu itu, aku merasakan hal yang berbeda. Semuanya terasa lebih lepas. Aku bisa menikmati kedekatan dengan Cynthia tanpa harus memikirkan tentang pandangan orang lain. Toh, pernikahan sesama jenis legal di sana.

"Mau jalan keluar?" tanyanya sambil duduk di sofa. Tadinya, ia mau duduk di kasur, tetapi sadar bahwa bajunya kotor.

"Terserah kamu. Belum malem banget sih...."

"Ya udah, abis mandi kita langsung keluar aja. Kamu duluan atau aku?"

"Bareng?" godaku.

"Nggak, nggak. Nanti lama, keburu malem. Aku duluan aja, ya," tolaknya cepat.

"Dih, ngapain nanya kalo udah tau mau duluan?"

"Terserah aku lah," balasnya sambil menjulurkan lidah. Ia mengambil baju ganti dan masuk ke dalam kamar mandi.

Cynthia langsung keluar dengan baju keluar. Sepertinya, aku harus menurut padanya. Ia sudah terlanjur mengenakkan baju main. Mengapa harus pakai dress sih? Aku tidak tahan melihatnya. Rasanya, ingin menguncinya di kamar ini dan berpelukan hingga esok pagi.

Tanpa tersadar, aku bergumam, "Cantik banget sih...."

"Aku lagi mens," ucap Cynthia hampir spontan.

"Apaan sih, Cyn?" ucapku setengah tertawa. "Emangnya, kalau aku muji, ada maunya terus?"

"Iya. Nggak terima?" balasnya sedikit sewot—atau ia sedang bercanda? Aku tidak bisa menerka-nerka.

"Sayang, kenapa sih?" tanyaku aman.

"Nggak tau. Kesel aja liat kamu. Gara-gara mens kali, ya?"

"Aku harus gimana?" tanyaku memelas.

"Mandi aja dulu, nanti aku pikirin."

Memento VivereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang