tiga

134 15 1
                                    

Awal dari hari ini tidak menarik. Aku kekurangan tidur karena berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan sebanyak yang aku bisa. Tidak tidur bukanlah masalah untukku. Lagipula, siapa yang butuh tidur?

Aku memutuskan untuk pergi ke bioskop hari ini. Ada film yang ingin aku tonton. Sebelum kepergiannya, aku sebenarnya mengajaknya untuk menonton bersama. Ia hanya mengangguk saja tanpa mengatakan apapun ketika aku ajak. Aku rasa itu adalah pertanda yang aku lewati. Andai saja aku menyadarinya, mungkin ia masih berada di sini sekarang.

Bioskop yang aku kunjungi ini sedikit spesial. Bukan hanya karena kenanganku bersama Cynthia saja, tetapi bangunannya memang spesial. Aku rasa, bioskop ini merupakan salah satu dari sedikitnya bioskop yang berdiri sendiri di Jakarta. Gaya arsitekturnya kuno dan ada food court di sebelahnya sering menjadi saksi atas analisis-analisisku mengenai film. Tidak berbobot juga, bangku-bangku dan meja-meja itu pasti sudah muak mendengar segalanya.

Di kamar tidur, aku hanya mengganti baju saja. Saat terbangun tadi, aku langsung mandi sehingga tidak perlu untuk mandi lagi. Baju yang aku pilih adalah baju yang aku pakai beberapa tahun yang lalu. Momen itu akan selalu aku rindukan. Semuanya terekam jelas dalam ingatanku. Awal dari segalanya, awal dari sesuatu yang sekarang sudah berakhir tanpa persetujuanku. Dengan atau tanpa persetujuan tidak ada bedanya.

Setelah rapi dan wangi, aku pergi ke lantai basement untuk mengambil mobil. Perjalanan hanya akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Dari kediaman Cynthia, bioskop ini jauh lebih dekat. Dari sana, hanya butuh waktu sepuluh menit saja. Namun, hari itu aku tidak menjemputnya dari rumah. Ia baru selesai mengajar sehingga aku menjemputnya dari sekolah. Aku ingat ia menyapa beberapa muridnya sebelum masuk. Ia berbeda sekali dengan Cynthia yang aku kenal di tempat melukis. Siapa sangka orang sedingin Cynthia merupakan guru yang baik di sekolahnya.

Pada titik itu, aku dan Cynthia sudah saling mengenal sekitar enam bulan. Cukup lama untuk ukuranku. Apalagi dari awal aku memang bertujuan untuk mengencaninya. Dia juga sudah jauh lebih terbuka dibanding dengan pertama kali saat aku mengenalnya.

Aku sampai di bioskop itu pada sekitar pukul satu. Tidak ada banyak hal yang terjadi. Mobil ini masih terasa asing. Entah mengapa, aku masih berharap ia masih berada di sini. Semua itu tidak mungkin terjadi lagi.

Aku memarkirkan mobil di tempat yang dekat dengan pintu utama. Lalu, aku masuk ke dalam bioskop dan memindai QR code yang aku dapatkan dari aplikasi memesan film. Satu tiket saja, membuatku teringat masa lalu. Masa-masa aku masih belum memiliki kekasih, menonton film sebagai pelampiasan.

Untungnya, aku datang tepat waktu. Studio satu telah dibuka. Ketika duduk di kursi yang biasa kami pesan dulu, aku hanya bisa melihat tiga orang lainnya. Mereka tersebar sehingga aku tidak terdampak oleh mereka. Aku memejamkan mata ketika iklan set dapur diputar, mengingat-ngingat kembali momen itu.

Iklan-iklan yang ada tidak menarik. Ada sekitar lima film horor yang akan segera tayang. Tak satupun dari mereka terlihat pantas untuk ditonton. Semuanya mengikuti formula yang sama, seakan latah terhadap formula yang menghasilkan banyak uang. Selama industri masih berfokus pada meraup keuntungan, karya yang layak ditonton akan semakin sedikit. Tak ada yang bisa memerangi itu.

***

1 Desember, 2023
Sudah beberapa menit aku memandangi diri sendiri di depan kaca. Aku tahu aku tidak terlihat buruk, tetapi mengapa aku tidak tenang. Apakah hal yang dahulu aku anggap sebagai angin lewat telah melahap keseluruhan hidupku? Selama hidupku, aku tidak pernah merasa gugup seperti ini.

Ah, untuk apa sih seperti ini? Aku harus segera menjemputnya sebelum hari semakin gelap. Akan rugi besar jika tiketku hangus begitu saja. Akhirnya, aku berhenti memandangi diri, mengambil kunci dan berjalan ke bawah.

Memento VivereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang