enam

88 8 3
                                    

Sudah dua belas hari semenjak Cynthia tiada dan ia masih belum datang dalam mimpi. Terakhir aku berharap sebesar ini adalah dua hari yang lalu, sebelum aku pergi ke lahan kosong di mana aku menghabiskan ulang tahun pertamaku dengannya. Call me desperate, tetapi aku hanya ingin melihatnya sekali lagi. Pemakaman Cynthia dilaksanakan secara closed casket. Aku tidak mau orang-orang melihat mukanya yang pucat atau kulitnya yang terlalu biru karena pernafasannya yang bermasalah.

Coba saja aku bisa mengulang waktu, pasti aku akan menyuruhnya untuk meminum obat yang sudah diresepkan oleh psikiaternya. Aku juga akan memastikan bahwa tidak ada jumlah obat yang terlalu banyak di apartemenku. Hingga kini pun, perasaan menyesal masih memenuhi kepalaku. Mengapa aku tidak pulang lebih dulu? Mengapa aku bukan orang pertama yang menemukan tubuhnya?

Aku memang tidak mau menjelaskan secara detail tentang apa yang terjadi kepada Cynthia. Aku tidak tahu jika aku melakukannya out of respect atau karena tidak mau melewati neraka sekali lagi. Orang bilang, seiring berjalannya waktu, lukaku akan sembuh sendiri. Namun, aku rasa tidak juga. Atau memang ini terlalu cepat?

Intinya, dua belas hari yang lalu, pada hari Sabtu, Cynthia memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Ia menenggak terlalu banyak pil, mengakibatkan overdosis. Kebetulan, dosis terlalu banyak dari pil yang ia pilih, menyebabkan pernafasan untuk melambat sebelum berhenti total.

Temanku, Michelle, adalah orang pertama yang menemukannya di apartemen. Sehari sebelumnya, Michelle berkunjung untuk menghabiskan waktu denganku dan Cynthia. Kacamatanya tertinggal. Michelle mengetuk pintu berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Untungnya, ia sudah aku anggap sebagai adik sehingga ia mengetahui PIN pintu kediamanku. Hal yang terjadi selanjutnya, ingin aku lupakan dari ingatanku.

Michelle memanggil-manggil nama Cynthia dan tak mendengar jawaban. Ia sebenarnya tidak ingin mengganggu privasi, namun rasa penasaran menguasainya. Tanpa banyak berpikir, ia memasuki satu-satunya ruangan yang tertutup; kamar tidur utama. Pintunya terkunci dan ia merasakan bahwa hal itu merupakan sebuah kejanggalan. Anehnya—atau ada divine intervention—pintunya dapat didobrak dengan mudah. Michelle langsung teriak ketika melihat tubuh Cynthia yang sudah kaku dan biru. Ia meminta bantuan, namun semua terlambat. Jantung Cynthia sudah tidak berdetak. 

Mengapa aku malah menceritakan tentang semuanya secara rinci? Aku bodoh. Mungkin, aku melakukannya karena itu adalah hal terakhir yang aku miliki darinya selain abunya. Abunya juga tidak akan aku simpan untuk lama. Cynthia sempat berpesan padaku. Ah, harusnya aku sadar dari waktu itu.

Hari ini, aku tidak berniat untuk pergi ke mana-mana. Aku butuh istirahat. Sudah beberapa hari berturut-turut aku pergi-pergi. Aku juga butuh waktu untuk berduka sendiri.

Sebenarnya, ini bentuk penyiksaan diri untukku. Memori-memori dari rumah duka, rumah sakit, bahkan ketika aku melihatnya di sini terus berulang. Aku tahu ia memilih jalan yang tidak akan membuat siapapun yang melihat jasadnya trauma, tetapi ia malah membuatku membayangkan masa-masa terakhirnya. Masa di mana ia kesulitan untuk bernafas, tersedak oleh ludah sendiri. Aku tidak mau memikirkannya, namun otak tak bisa dikendalikan.

Aku melihat beberapa barang yang tercecer di kediamanku ini. Seketika, aku teringat masa ketika ia akhirnya pindah bersamaku. Hidup bersama jauh lebih ekonomis daripada tinggal di tempat masing-masing. Aku juga senang bisa memiliki Cynthia bersamaku. Ia baik, pengertian, dan memiliki perspektif yang unik. Satu obrolan saja tidak pernah cukup dengannya.

Aku sekarang sedang duduk di sofa di mana kami dulu sering berbincang. Semua benda di apartemen ini mengingatkanku padanya. Bahkan hal sekecil debu pun mengingatkanku padanya. Sentuhannya yang baru hilang selama seminggu lebih saja sudah cukup untuk membuat apartemen ini terlihat menyedihkan. Seolah-olah, kehidupan telah disedot darinya.

Memento VivereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang