Chapter 39 ✈ Heart Flight

31 5 1
                                    


***

"You look not different at all,"

Wildan menoleh ke asal suara. Ia tengah membuka pintu apartemennya dengan kartu --yang menjadi salah satu akses futuristik yang diberikan pihak apartemen-- ketika mendengar suara seorang wanita. Bahkan meskipun sudah terbuka, Wildan urung memasuki apartemennya setelah melihat siapa sosok yang berbicara padanya barusan.

Gadis dengan tinggi kisaran 170 cm dan rambut sedikit berwarna blonde di beberapa bagian, berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap Wildan dengan senyuman menggoda. Gadis itu mengenakan terusan terbuat dari sutera seakan sedang honeymoon.

Wildan melihat kanan kirinya, lalu menghampiri wanita itu dengan langkah cepat setelah memastikan tak ada orang di lorong selain mereka.

"What are you doing here?"

"Meet my prince?" wanita itu menggidikkan bahu, lalu mengalungkan kedua lengan rampingnya ke leher Wildan dengan percaya diri. "You not miss me?"

"You not supposed to be here,"

"Why?"

Wildan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Ia melepaskan lengan gadis itu yang dengan seenaknya melingkar di lehernya dan memasuki apartemennya. Namun gadis itu menahan ketika Wildan hendak menutup pintu.

"Aku jauh-jauh kesini buat ketemu sama kamu, Wil--"

"Aku yang minta?"

Wanita itu tidak bisa menimpali pertanyaan Wildan yang menyela ucapannya. Apakah pria itu sedang bercanda? Bukankah dia yang sangat menunggu kedatangannya ke Indonesia?

***

Sebuah bus berhenti di depan gang dimana terdapat dua gadis remaja sedang berdiri bersebelahan tampak menunggu seseorang. Jihan tersenyum kepada kedua gadis itu dan langsung melambaikan tangannya, bahkan baik Jihan maupun kedua gadis itu nyaris sudah tak kenal satu sama lain.

"Kak Jihan!"

Salah satu dari kedua gadis itu berlari kecil menghampiri Jihan dan memeluknya.

"Loh, Mas Hanif ga ikut?" tanya gadis yang satunya melihat ke sekitar, mungkin saja kakak laki-lakinya menyusul dengan transportasi lain.

"Mas Hanif masih banyak kerjaan, ga bisa nemenin Kakak," jawab Jihan. Kalau ingatannya tidak salah, kedua gadis ini adalah Hafiza dan Hera, adik pertama dan adik kedua Hanif. Jihan merasa ia tidak perlu memberitahu yang sebenarnya pada kedua remaja cantik ini bahwa Hanif tidak ikut karena uangnya tidak cukup dan memutuskan untuk memberikan ongkos pada Jihan saja.

Hera membantu membawa tote bag Jihan karena memang Jihan tidak membawa banyak barang, hanya ransel bekas sekolahnya dulu dan satu buah tote bag. Jarak antara depan gang dan rumah mereka tidak terlalu jauh, sehingga hanya memerlukan kurang dari lima menit saja untuk bisa sampai di rumah keluarga Hanif.

"Ibu lagi ke pasar, Kak. Beli beberapa bahan buat di masak biar bisa makan bareng kak Jihan," ujar Hera lagi ketika melihat Jihan tampak kebingungan dengan kondisi rumah mereka yang sepi, karena harusnya ada lima orang lagi yang tinggal di rumah selain Hanif. Apalagi terakhir kali Jihan berkunjung ke rumah Hanif adalah waktu akan lulus-lulusan SMA, sebelum kemudian masalah-masalah hidup Jihan datang beruntun seolah memang tak memberi Jihan jeda untuk bernafas ataupun berpikir.

"Oh gitu," Jihan tersenyum canggung. "Harusnya ga perlu sampai belanja lagi, kak Jihan makan apa aja kok," Jihan jadi merasa sungkan karena merasa telah merepotkan keluarga Hanif.

"Tau, tuh, Ibu. Soalnya Ibu keliatannya seneng banget pas tau kak Jihan mau datang," timpal Hera lagi. Ia dan keluarga Hanif memang lumayan akrab, bahkan ibunya Hanif sangat berharap mereka menikah saja, tapi tentu saja Jihan tidak menceritakan tentang orientasi Hanif pada keluarganya. Itu akan menghancurkan ekspektasi mereka terhadap masa depan Hanif.

HEART FLIGHT ; 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang