Bab 7 (Rombak Ulang)

17 11 0
                                    

Peringatan: Bab ini mengandung adegan kekerasan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pembaca.

Malam larut, hutan di sekitar istana terlihat menakutkan. Angin malam berdesir di antara pepohonan, membawa suara misterius yang memperingatkan bahaya. Letizia berdiri tegap di depan pengawal tua yang hilang selama bertahun-tahun. Elara dan Aric mengawasi sosok pria yang kini berhadapan dengan mereka.

"Jadi, kau masih hidup," kata Letizia, menahan perasaan campur aduk. "Apa yang terjadi padamu setelah kecelakaanku?"

Pria tua itu menghela napas panjang. "Aku melarikan diri. Tak ada pilihan lain. Setelah kecelakaan itu, para pembesar istana mulai menghapus jejak yang mengancam kekuasaan Verlon, termasuk orang-orang yang tahu terlalu banyak." Dia menunduk, matanya penuh penyesalan. "Aku menyaksikan pengkhianatanmu, tapi tak mampu menyelamatkanmu."

Amarah Letizia memuncak. Ia ingin melampiaskan frustrasinya pada pengawal itu, tapi menahan diri. Pengawal ini bisa menjadi kunci untuk mengungkap rahasia terkubur.

"Aku mengorbankan hidupku untuk keluargaku dan mengungkap kejahatan kaisar," lanjut Letizia, suaranya pelan namun tegas. "Aku tidak akan membiarkan kecelakaan ini menghentikan semua usahaku. Kau tahu di mana bukti yang hilang, bukan?"

Pria tua itu mengangguk ragu. "Aku tahu. Tapi buktinya tersimpan di ruang rahasia bawah istana, dijaga ketat, dan hanya orang tertentu yang punya akses. Bupati Varik adalah salah satu dari mereka."

Letizia mengepalkan tangan, matanya menyala penuh tekad. "Kita harus segera ke sana. Semakin lama kita menunggu, semakin besar risiko rahasia ini akan hilang selamanya."

Elara melangkah maju, matanya penuh kecemasan. "Tapi Selena, bagaimana kita bisa menyusup ke ruang rahasia tanpa terdeteksi? Penjagaannya sangat ketat. Kita bertiga tidak akan mampu melawan itu."

Letizia terdiam sejenak, memikirkan opsi. "Kita tidak perlu menghadapi mereka langsung. Kita hanya perlu memanfaatkan kelemahan di istana. Setiap istana punya rahasia, jalan tikus yang tidak diketahui banyak orang. Kita akan menggunakan pengetahuan pengawal ini untuk menemukan celah."

Pria tua itu tersenyum tipis, setuju dengan rencana itu. "Aku bisa membawamu ke jalan tersembunyi. Tapi begitu kita masuk, tidak ada jalan kembali. Kau harus siap menghadapi apa pun yang terjadi."

Letizia mengangguk, meyakinkan dirinya bahwa ini satu-satunya cara untuk mengungkap kebenaran. "Kami siap."

Keesokan harinya, Letizia berbaur dengan kehidupan istana seolah tidak terjadi apa-apa. Dia menjalani rutinitas dengan tenang, mengamati setiap pergerakan orang di sekitarnya. Namun, di balik senyumnya, Letizia menyembunyikan rencana besar yang segera dieksekusi.

Malam tiba, Letizia, Elara, Aric, dan pengawal tua berkumpul di dekat gerbang tersembunyi istana. Mereka membawa persiapan matang—pakaian hitam untuk berbaur dengan kegelapan dan pisau kecil untuk berjaga-jaga.

"Ikuti aku," bisik pengawal itu, membuka pintu rahasia dengan kunci yang dia simpan. Mereka melangkah masuk ke lorong sempit yang hampir tak terlihat. Bau lembap dan jamur menyelimuti udara, menandakan tempat ini jarang dilewati.

Lorong itu memutar seperti labirin. Cahaya obor yang redup hanya cukup untuk menerangi langkah di depan mereka. Letizia berjalan hati-hati, menjaga langkah tetap ringan. Setiap bunyi kecil bisa jadi sinyal bahaya.

Setelah beberapa menit, mereka tiba di pintu besi besar yang tertutup. Pengawal menghentikan langkah mereka, lalu menoleh ke Letizia. "Di balik pintu ini, tersimpan dokumen yang kau cari. Tapi pintu ini dilengkapi kunci sihir. Kau butuh sesuatu yang kuat untuk membukanya."

Letizia merasa napasnya tertahan. "Sesuatu yang kuat?" tanyanya tegang.

Pengawal itu mengangguk, tatapannya penuh kekhawatiran. "Hanya darah yang punya hubungan langsung dengan Selena yang bisa membuka pintu ini. Darahmu, Nona Selena Malivora."

Letizia tersentak. Ia tahu kini berada di tubuh Selena, tapi tidak menyangka hal ini berpengaruh sejauh ini. Ia menatap pintu dengan ragu. "Apakah ini satu-satunya cara?"

"Ya," jawab pengawal itu tegas. "Tidak ada cara lain."

Letizia merasakan ketegangan menyelusup punggungnya. Ia menatap Aric dan Elara yang menunggu keputusannya. Mereka siap mendukungnya, tapi keputusan ada di tangannya.

Dengan tangan gemetar, Letizia mengeluarkan belati kecil dari sakunya. Dia menatap ujung tajam belati, lalu menarik napas panjang. Perlahan, ia melukai telapak tangan, membiarkan darah menetes ke permukaan pintu.

Segera setelah darahnya menyentuh pintu, suara berderak terdengar, dan sihir yang mengunci pintu itu memudar. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan ruang penuh peti dan dokumen.

"Ini dia," bisik Letizia, matanya bersinar. Mereka melangkah masuk, siap mengungkap bukti yang akan mengubah segalanya.

Namun, sebelum mereka sempat mencari lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di luar lorong.

"Ada yang datang!" ujar Elara panik.

Letizia segera menarik dokumen terdekat dan bergegas menuju pintu keluar. Namun, tepat saat mereka bersiap kabur, seorang pria berjubah hitam muncul di ambang pintu, matanya menyala gelap.

"Kalian tak akan pergi ke mana pun," ucapnya dingin, suaranya menggema.

Letizia tahu, pertempuran tak bisa dihindari.

Dalam sekejap, udara di sekitar mereka bergetar oleh energi magis. Elara dan Aric menegakkan tubuh, siap menghadapi musuh.

Pria berjubah hitam itu tersenyum tipis. "Aku sudah lama menunggu saat ini, Nona Malivora. Kau kira bisa lari dari takdirmu?"

Letizia menatap pria itu penuh kebencian. "Aku bukan Selena Malivora yang dulu. Kau mungkin menjebakku, tapi kini giliranmu terperangkap."

Tanpa peringatan, Letizia menyerang lebih dulu, mengarahkan belati berlumuran darah ke arah pria itu. Elara dan Aric mengikuti, membentuk formasi pertahanan. Namun, pria itu tampaknya sudah siap.

"Ini baru permulaan," katanya dengan tawa penuh kemenangan. Letizia tahu bahwa pertarungan ini lebih dari fisik. Ini adalah pertarungan melawan takdir.

"Semua akan berakhir di sini," bisik Letizia dengan tekad.

Elara mundur sedikit, tidak ada waktu untuk bicara. Aric, tanpa ragu, maju dengan pedangnya, mencoba menebas pria itu. Namun, pria berjubah hitam itu dengan mudah menepis serangan Aric, membuatnya terlempar ke dinding.

"Kau pikir bisa menghentikanku?" kata pria itu dingin.

Letizia tidak membuang waktu. Dia memegang belati erat dan dengan cepat menyerang pria itu. Mereka saling berhadapan, belatinya menebas cepat, tapi gerakan pria itu terlalu cepat. Dia menghindar, sebelum Letizia sempat mengenai sasaran.

Namun Letizia tidak menyerah. Dengan tekad membara, dia terus menyerang, menebas dengan ketepatan yang dia pelajari. Pria itu bertahan, tapi Letizia memperhatikan serangannya mulai memaksa pria itu mundur.

"Aku sudah lama menantikan ini," ucap Letizia, napas memburu, wajahnya marah.

Pria berjubah hitam menyeringai, tetapi ada keraguan di balik senyumannya. Dia menangkis serangan Letizia, tapi kali ini tidak cukup cepat—ujung belati Letizia menggores lengannya, membuat darah menetes ke lantai.

"Kau akan membayar untuk semuanya," Letizia berkata dingin, melihat pria itu kehilangan kepercayaan diri. Elara dan Aric, bangkit dari pukulan sebelumnya, bersiap membantu.

Namun, pria berjubah hitam itu kembali tersenyum. "Kau bisa melukaiku, tapi tak akan bisa melawan yang lebih besar dari diriku."

Letizia menyipitkan mata, tapi tidak mengendurkan serangan. Dengan gerakan cepat, dia menyelinap di belakang pria itu dan menusukkan belatinya ke punggungnya. Pria itu terhuyung, terkejut oleh serangan mendadak.

Saat pria itu jatuh ke lantai, Letizia menarik napas panjang. "Ini belum selesai," gumamnya. Ia melirik ke pintu keluar, mendengar gemuruh di luar menandakan bahwa mereka tidak bisa kabur begitu saja.

Who Am I? (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang