10

155 26 29
                                    

Hinata masih bersama para kucingnya. Menyapa satu-satu bayi persia yang ia rawat sepenuh hati seperti anak sendiri. "Kalian cepat sekali besarnyaa..."

"Zio... kamu nggak ikut nen?" telunjuknya menyentuh hidung merah muda milik Zio. Bayi kucing itu menggeliat, menjulurkan lidah lalu berganti posisi.

"Kak..." Hanabi menghentikan langkah di samping Hinata yang sedang duduk. Melihat kakaknya yang begitu betah bersama peliharaannya. "Ayah tadi tanya, kakak pengen oleh-oleh apa?"

Hinata menoleh. "Kenapa ayah nggak tanya ke aku sendiri?"

"Kan tadi ayah udah pesen, kalo mau oleh-oleh list aja, soalnya nggak ada waktu buat telpon." Hanabi berucap malas.

"Kamu udah ngabarin ayah, mau oleh-oleh apa?"

Hanabi melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian duduk di kursi rendah. "Udah lah, malah dari kemaren."

"Kok nggak ngasih tau?" Hinata menatap kesal.

Hanabi mengangkat bahu. "Nggak kepikiran," gadis itu menyibak poninya. "Aku juga udah bilang pas ayah baru berangkat."

"Nyuri start?" Hinata kembali menganggu kucing-kucingnya.

"Ya kan biar nggak lupa." Hanabi hendak bangkit. "Oh iya, di depan ada sekotak kue, sama martabak telor. Oh, ada bunganya juga!"

Hinata menghentikan kegiatannya. "Dari siapa?"

"Kayak kemaren-kemaren." Gadis itu melangkah pergi.

Hinata tahu. Naruto, pasti dari Naruto. Sejak seminggu lalu, sejak kejadian memalukan itu, Naruto selalu mengiriminya makanan, juga bunga dan sebuah surat. Hinata bangkit menuju wastafel, mencuci bersih kedua tangannya lalu keluar.

...

Hinata menghentikan langkah secara tiba-tiba. Begitu kaget dengan kehadiran laki-laki yang sudah seminggu ini ia hindari. Gadis itu memilin bibirnya. Biasanya, Naruto hanya akan meninggalkan pemberiannya di kursi depan, atau di titipkan pada Kou.

Naruto mengerjapkan mata. Kemudian tersenyum lembut. "Hinata..."

Hinata menatap Naruto. "Ngapain?"

"A-enggak! Cuma mau kasih ini, buat kamu." Naruto mengangkat papperbag dan buket yang ia pegang.

"Cuma itu?" Hinata memainkan jempol kakinya yang tertutup sandal selop bulu. Dia merasa sedikit gugup.

Naruto menatap Hinata. "Boleh ngobrol dulu?"

"Em," Hinata menganggguk, kemudian membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Naruto masuk.

Naruto meletakkan barangnya di atas meja, kemudian menyamankan posisi duduk. "Hinata apa kabar?"

"Baik, kita setiap hari ketemu di sekolah."

Naruto menggaruk pipinya. Dia berdehem pelan. "Yang pertama, aku mau minta maaf. Kelakuanku yang kurang ajar itu sudah membuat Hinata tidak nyaman."

Hinata tidak menjawab. Dia masih fokus dengan kata selanjutnya yang akan diucapkan Naruto.

"Alasan aku ngelakuin itu karena-aku kangen sama kamu, cuman kamu cuek. Mungkin mood kamu lagi jelek atau gimana. Yang jelas, saat Hinata tidak membalas pesanku, aku ngerasa harus datang dan bertanya langsung."

Hinata menunduk, ingatan itu kembali lagi. Sedangkan Naruto yang melihat perubahan tingkah Hinata, menjadi semakin tidak enak hati, semakin merasa bersalah.

"Jangan ngomongin itu. Soalnya aku nggak mau inget lagi, buat aku kayak kotor banget." Hinata berucap pelan. "Aku nggak tahu kamu mikirin apa pas waktu ngelakuin itu ke aku, tapi itu udah parah."

KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang