now playing; nothing
Stephansplatz, terletak di jantung kota Wina, Austria, adalah tempat di mana sejarah dan kebudayaan bersatu dalam harmoni yang tak tertandingi. Di sana, keindahan melingkupi setiap sudut yang dipeluk oleh arsitektur megah dan pesona masa lalu yang masih terasa hingga kini. Di tengah alun-alun, menjulang anggun, berdiri Stephansdom—Katedral Santo Stefanus—sebuah mahakarya arsitektur gotik, dengan menara-menara yang seakan mencakar langit. Menara selatannya, Steffl, berdiri gagah, seperti puisi yang diukir dalam batu yang begitu rumit, detail, dan megah. Menjadi simbol abadi kekuatan spiritual dan kekayaan budaya dari kota Wina yang indah.Keagungan bangunan itu, membawa setiap langkah manusia menyusuri lorong waktu, yang dipenuhi gema sejarah masa lalu.
Yang paling memukau dari Stephansdom adalah atap mozaiknya, seolah itu adalah kanvas yang terbentang lebar di atas langit kota Wina. Terdiri dari 230.000 genteng berwarna, mozaik itu merajut pola geometris yang memikat mata, di tengahnya ada elang berkepala dua—lambang Kekaisaran Austria-Hongaria—berdiri gagah, seakan bernapas di atas gelombang warna yang tak terhingga. Namun, di balik kemegahan visualnya, sebuah kesunyian mencekam menggema di dalam katedral, ditingkahi rintihan lembut yang terselubung dalam bayang-bayang bangunan.
Air mata jatuh tanpa suara, membasahi pipi yang tertunduk dalam kesunyian doa. Kedua tangan erat menyatu, menggenggam harapan yang nyaris padam, merintih memohon kelegaan atas luka yang tak terlihat namun begitu dalam. Tetapi, di bawah gemuruhnya keagungan, di relung hatinya itu terus bergema pertanyaan: Apakah doa itu akan didengar? Apakah Dia akan mengabulkan permohonan yang terbungkus dalam tangisan?
Interior katedral yang mempesona, pilar-pilar yang menjulang tinggi bak penjaga, serta jendela-jendela kaca patri yang membiaskan warna dalam cahaya. Di mana, setiap sudut ruangan seolah menyimpan banyak kenangan, namun kini isakan yang menggema di antara lengkungan-lengkungan megah itu turut menjadi bagian dari kisah sebuah perjalanan.
Di tengah ruang sakral itu, paduan suara yang tengah berlatih untuk konser orkestra pun tersentak oleh suasana. Suara biola yang sebelumnya mengalun lembut kini terhenti seketika, setiap musisi saling menatap dalam keheningan yang menyelimuti mereka, seakan memahami bahwa di tengah keindahan, ada jiwa yang tengah terselimut kesedihan. Mereka bukan hanya pemain musik malam itu—mereka juga ikut menjadi saksi bisu dari tangis yang menggema di antara denting kesucian dan harmoni keabadian.
Rora, sang vokalis utama, mengusulkan dengan nada lembutnya, "How about if we take a 30-minute break?" tanpa ragu, diikuti anggukan setuju dari semua anggota paduan suara. Satu per satu mereka mulai bangkit dari kursinya, meninggalkan instrumen dan lembaran musik yang tergeletak begitu saja. Langkah-langkah kaki mereka berjalan beriringan, meninggalkan jejak sunyi yang mulai terasa hampa di dalam ruangan.
Sebelum sepenuhnya keluar, mata Rora tertumbuk pada sosok seorang gadis yang masih terdiam, tertunduk dalam kesendirian. Dia meletakkan lembar lirik lagu di atas bangku, kemudian kakinya melangkah menyusul rombongan. Namun, langkahnya terhenti oleh suara yang hampir tertelan oleh keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth. [Hiatus]
FanfictionLabyrinth, lebih dari sekedar ruangan penuh tanya; dia adalah refleksi tentang bagaimana cinta dapat menjadi labirin emosional bagi mereka yang merasakannya. Sebuah kisah perjalanan yang penuh dengan belokan tak terduga dan peristiwa berharga, yang...