now playing; still thing
Ruangan latihan paduan suara orkestra yang biasanya dipenuhi harmoni kini dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Udara terasa berat, penuh dengan kegelisahan yang mengambang di antara para anggota. Mereka duduk di kursi-kursi yang tersebar di sekitar piano besar di tengah ruangan, alat-alat musik tersandar di dinding, tak tersentuh, seolah menunggu putusan yang tak diinginkan. Suara gesekan kursi atau napas tertahan menjadi satu-satunya yang terdengar, menggantikan keindahan nada yang biasanya mendominasi ruangan.Semua mata tertuju pada Karina, sang ketua paduan suara, yang berdiri di depan mereka, keseriusan terlihat jelas di wajahnya. Ada pembahasan yang sedang berlangsung, dan semua orang tahu ke mana arah diskusinya. Meski sang topik utama, sedang tak ada di sana.
Akhirnya, Karina memecah keheningan dengan suara yang tegas namun terkesan tenang. "Rora, kita kasih istirahat aja," kalimat itu jatuh di ruangan seperti batu yang tenggelam dalam danau yang tenang, menciptakan gelombang keheningan yang menyebar dan semakin menenggelamkan ruangan dalam kepasrahan. Semua orang tahu, keputusan ini sudah tak terelakkan.
"Kak, lo tahu sendiri Rora udah berusaha sekeras itu buat ikut konser!" suara Rami memecah suasana, protesnya menggema di dinding ruangan. Membuat ruangan kembali menjadi tegang, semua orang bisa merasakan emosi yang tersimpan dalam kalimat itu—usaha keras, pengorbanan, dan harapan yang pupus perlahan.
Namun, sebelum Karina bisa menjawab, Asa angkat bicara. Suaranya pelan, hampir tak terdengar, tapi sarat dengan kepastian. "Dia perlu rehat, Rami. Tenggorokan dia nggak bisa dipaksa," ucapan Asa itu seperti embusan angin dingin yang menenangkan, tetapi juga membawa keputusasaan.
"Gue yakin dia bakal ngamuk, sih," ucap Winter, mengenal betul sifat Rora yang keras kepala.
"Apa nggak bisa dikasih nyoba sekali? Kalau makin parah baru kita suruh dia berhenti," sambung Giselle dengan nada menawar, mencoba membuka celah di tengah keputusan.
"Enggak! Rora rehat total, sampai penyebab sakit lehernya ilang," ujar Asa dengan suara yang tajam, matanya menatap lurus pada Giselle, seolah menegaskan bahwa ini keputusan yang tak lagi bisa dibicarakan.
Di sudut lain, Pharita akhirnya bersuara. "Aku juga setuju kalau dia rehat, itu akan lebih baik," ucapnya, dia bahkan tidak menatap anggota lainnya, tetapi kata-katanya seperti memberikan penegasan, bahwa ini bukan soal ambisi atau keinginan, tetapi soal kesehatan.
Ruangan kembali terasa sunyi, diskusi yang terus berlanjut hanya mempertegas bahwa keputusan ini adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth. [Hiatus]
FanfictionLabyrinth, lebih dari sekedar ruangan penuh tanya; dia adalah refleksi tentang bagaimana cinta dapat menjadi labirin emosional bagi mereka yang merasakannya. Sebuah kisah perjalanan yang penuh dengan belokan tak terduga dan peristiwa berharga, yang...