01. Void - Voice

271 48 30
                                    

now playing; something

Te Deum für die Kaiserin dalam C-Dur, karya agung Joseph Haydn, mengalun dengan penuh kemegahan di antara dinding-dinding kokoh katedral

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Te Deum für die Kaiserin dalam C-Dur, karya agung Joseph Haydn, mengalun dengan penuh kemegahan di antara dinding-dinding kokoh katedral. Setiap nada yang dipersembahkan untuk menghormati kekaisaran seolah membuat semangat kembali dibangkitkan, serta membawa para pendengar pada puncak penghormatan kepada kekuasaan dan kebesaran. Suara paduan vokal dan orkestra menyatu menciptakan gelombang kekhidmatan yang beresonansi jauh ke dalam jiwa dan membawa serta kekaguman dan penghormatan kepada sang ilahi yang tak terbantahkan.

Lirik Latin, "Te Deum laudamus", yang bermakna "Kami memuji-Mu, Tuhan", mengalir dengan keindahan. Rora, bersama beberapa vokalis utama lainnya, dengan suara berat yang penuh perasaan, memimpin paduan suara menggema melalui aula katedral, membawa setiap kata seperti doa yang dilantunkan kepada-Nya, penuh kekaguman dan ketundukan.

Diiringi dentuman trombon dan terompet yang memenuhi ruang dengan kekuatan, orkestra menggetarkan tiap jengkal katedral dengan nada yang mengesankan. Sementara alat musik gesek; biola dan cello menambahkan harmoni yang menenangkan dan penuh keanggunan, membentuk keseimbangan antara kekuatan dan ketenangan. Hingga akhirnya, nada terakhir berdering perlahan, menjadi penutup sempurna dari latihan para anggota paduan.

Rora terduduk setelah menyelesaikan bagiannya, menutup sejenak matanya. Tubuhnya terasa berat karena kelelahan langsung menyergapnya. Tangannya perlahan bergerak menyentuh lehernya—ada kekhawatiran yang tak bisa dia abaikan. Suaranya tadi memang mencapai nada-nada yang diperlukan, menimbulkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Rami, yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan gerak-geriknya. "Nggak apa-apa lo?" tanyanya lembut, nada suaranya sedikit terdengar akan kekhawatiran.

Rora tersenyum kecil, meski ada sedikit kerutan tipis di keningnya. "Nggak apa-apa, Kak. Cuma kering aja," jawabnya, seraya meraih botol air mineral dan meneguknya perlahan. Setiap tegukan memberinya sedikit kelegaan, meski tenggorokannya masih terasa gatal dari lantunan panjang yang baru saja dia selesaikan.

Rora memejamkan mata sejenak, membiarkan air mengalir dan membasahi pita suaranya, sambil menikmati momen ketenangan setelah latihan yang begitu lama. Terlepas dari rasa lelah, ada kepuasan yang menyelinap di dalam dirinya, sebuah rasa kebanggaan setelah berhasil menghidupkan kembali karya agung yang tetap abadi setelah berabad-abad lamanya.

Tiba-tiba, suara Asa memecah keheningan. "Eh, habis latihan kita makan, yuk?" serunya riang sambil membereskan biolanya. Wajahnya cerah, penuh semangat, seolah latihan berat tadi hanyalah pemanasan.

"Kemana, Kak?" Rami langsung menanggapi, matanya berbinar seolah sudah lama menantikan.

"Otoyami," Asa menyebutkan nama restoran Jepang yang baru kemarin mereka kunjungi. Sebuah tempat yang sekarang sudah menjadi favoritnya, dan mungkin juga teman-temannya.

Mendengar itu, Ningning yang duduk di sebelahnya langsung mendengus pelan. "Yang bener aja lo? We went there yesterday, btw!" ujarnya, matanya sedikit menyipit karena tak percaya akan usulan temannya.

Labyrinth. [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang