03. Hurt - Heart

239 36 11
                                    

now playing; thing

Alunan "Panis Angelicus" karya César Franck mengisi ruang latihan anggota paduan dengan keindahan dan kesakralan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Alunan "Panis Angelicus" karya César Franck mengisi ruang latihan anggota paduan dengan keindahan dan kesakralan. Ketika nada pertama dari organ mulai bergema, suasana seketika berubah tenang, seolah sebuah tirai damai perlahan-lahan turun menyelimuti seluruh ruangan. Denting lembut organ membalut udara dengan kekhidmatan, seperti doa yang dilantunkan. Suara vokal yang menyusul, tinggi dan rendah, menyatu sempurna dalam harmoni yang penuh perasaan.

Namun, ketenangan yang indah itu tiba-tiba terpecah oleh batuk Rora, yang terdengar dalam ruangan. Suara itu seperti retakan halus yang merusak kesempurnaan. Winter, Giselle, Pharita, dan Rami—semua vokalis utama—langsung mendekat dengan penuh kecemasan. Mereka dengan cepat berkumpul di sekitar Rora, berusaha memberikan perhatian.

Ningning, yang bermain cello, segera menyusul. Asa, yang baru saja meletakkan biolanya, berlari kecil, panik terlihat di wajahnya. Di kejauhan, Ruka tetap duduk memegang trombonnya, mengamati dalam diam meski matanya memancarkan kekhawatiran. Karina, sang ketua paduan suara, bangkit dari duduknya di belakang organ, seolah siap untuk mengambil tindakan jika diperlukan.

Mereka adalah lebih dari sekadar paduan suara; mereka adalah keluarga. Ikatan yang semula terjalin melalui nada, kini semakin erat oleh kasih dan perhatian yang tiada tara. Suara-suara mereka yang biasa menyatu dalam lagu kini seolah menyatu dalam rasa cemas yang sama. Meski belakangan ini Karina, Winter, Giselle tenggelam dalam kesibukan pekerjaan, dan Ruka disibukkan oleh perkuliahan tingkah akhir juga magang, namun kehadiran mereka tak pernah benar-benar menghilang.

Sementara itu, yang lain masih muda, baru saja memulai perjalanan hidup mereka. Ningning, Pharita, dan Asa telah menginjak semester tiga. Rami, yang seharusnya memasuki kuliah tahun pertama seperti Ahyeon, memilih fokus pada karier musiknya. Dan mata mereka tak lepas dari Rora, anggota termuda yang tampak seperti adik kecil yang harus dijaga, gadis itu baru saja lulus dari sekolah menengahnya.

"Tolong ambilin air, Kak Ning," kata Rami, suaranya terdengar khawatir saat melihat Rora menunduk terbatuk. Sebagai vokalis utama, dia selalu memperhatikan anggotanya, dan akhir-akhir ini, Rora sering mengalami masalah pada tenggorokannya.

Namun, sebelum Ningning sempat bergerak, Ahyeon—yang sejak awal hanya duduk menyaksikan latihan—tiba-tiba melangkah memecah kerumunan. Tanpa banyak bicara, dia mengulurkan botol minuman ke arah Rora, tatapannya tenang, penuh perhatian. Dia berdiri di samping Rora, mengelus lembut punggung gadis itu, seolah menawarkan ketenangan di tengah kekhawatiran yang memenuhi ruangan.

Setelah pelukan itu, Ahyeon menjadi tak pernah ragu memberikan perhatiannya. Bahkan teh jahe yang telah dia janjikan kini selalu dia bawa, sebagai bentuk dukungan untuk Rora, siap memberikan kehangatan di tengah kekhawatiran yang melanda.

"Kita istirahat aja dulu," ucap Karina, memecah suasana yang tegang. Langkahnya tenang saat menghampiri teman-temannya. "Lo nggak boleh latihan sampai tenggorokan lo bener-bener baikan," lanjutnya, memperhatikan Rora yang masih meneguk teh jahe dari botol yang Ahyeon berikan.

Labyrinth. [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang