02. Longing - Lost

279 42 22
                                    

now playing; anything

Gedung-gedung apartemen di kawasan Innenstadt, Wina, berdiri berjajar dengan pesona yang seragam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Gedung-gedung apartemen di kawasan Innenstadt, Wina, berdiri berjajar dengan pesona yang seragam. Masing-masing bangunan memancarkan keanggunan arsitektur khas Eropa, seolah menantang waktu yang telah berlalu berabad-abad lamanya. Meskipun begitu, setiap detail bangunan tetap terawat dengan sempurna, menyimpan jejak sejarah sekaligus menawarkan keunikan yang memikat setiap mata yang memandangnya.

Di salah satu lantai apartemen itu, Ahyeon sibuk menyiapkan adonan kue. Di sampingnya, ponsel bertengger, di layarnya menampilkan wajah orang tuanya. Panggilan video mingguan ini telah menjadi rutinitas, sebuah kewajiban yang selalu—harus—dipatuhinya. Namun, seperti sebuah ironi, apa yang dulu terasa hangat kini mulai terasa memuakkan untuknya.

"Kamu nggak kangen sama Mommy?" suara ibunya terdengar lagi, dengan nada yang penuh harapan, sebuah pertanyaan yang tak terhitung sudah berapa kali terulang.

Ahyeon ingin sekali menjawab jujur—tidak, karena memang itulah yang dia rasakan. Namun, mulutnya memilih jawaban yang aman. "Kangen, Mommy tanya itu terus, bosen aku dengernya," sahutnya datar, tanpa menoleh, tanpa senyuman. Tangannya terus sibuk mencampur bahan-bahan kue di hadapannya.

"Kamu tuh, kalau ditelepon, kayak nggak pernah senang bicara sama orang tua," keluhan ibunya kembali mengisi ruang. Kata-kata yang sama, berulang, seolah memaksa Ahyeon untuk selalu tampak ceria. Seolah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus dia paksakan.

Ahyeon terdiam, rasa jengah menyelimuti pikirannya. Haruskah dia selalu tersenyum dan berpura-pura bahagia pada mereka yang sedikit demi sedikit menorehkan luka? Tanpa sepatah kata, dia melangkah pergi, membuka lemari dan mengambil toples gula, memilih tenggelam dalam kesunyian yang dia rasa lebih nyaman.

"Kamu tuh inget, orang tua besarin kamu pakai kerja keras, jangan lupain itu," suara ibunya menggema di ruang sempit itu, menyusup hingga ke hati yang sudah tak menentu. Mata Ahyeon terpejam, rahangnya mengeras, sementara jemarinya yang menggenggam toples gula mulai meremas kuat. Sial, pikirnya, kenapa dia harus mendengar ini lagi?

"Inget rumah," lanjut ibunya tanpa jeda, nadanya berubah semakin mendesak, "Siapa yang bakal jagain Mommy sama Daddy pas tua kalau kamu nggak balik ke sini?" seperti pecut, kata-kata itu mengayun, menuntut tanggung jawab yang tak pernah dia minta. Seperti sebuah beban yang hinggap di pundaknya, membuatnya terjebak antara kewajiban dan kebebasan yang dia dambakan.

Ahyeon diam, tak ada kata yang keluar. Di benaknya, dia bertarung antara rasa bersalah dan keinginan untuk menjauh dari mereka, sementara adonan kue di hadapannya kini terasa seperti pelarian dari kenyataan yang terus mengejarnya.

"Mommy sayang sama kamu, makanya pengen kamu di deket Mommy aja, biar aman," suara ibunya masih menggema dari ponsel. Ahyeon mendengarnya, tapi rasanya tak ada lagi artinya. Kalimat itu sudah dia hafal, seperti kaset rusak yang terus diulang—pesan yang selalu sama, hanya di hari yang berbeda.

Labyrinth. [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang