DAY 07

68 6 0
                                    

TAK disangka pengakuan itu keluar dari bibirnya. Aku dan Amara saling menatap kebingungan.

"Iya jemput lo." Ia mengulangi kalimatnya.

"Gue bisa naik angkot, kok. Gue juga udah biasa pulang sendiri," jelasku bermaksud bahwa Adnan tak perlu menunggu seperti ini.

"Lo tau rumah gue?" tanyanya datar.

Adnan selalu berhasil membuatku membisu tak berdaya dengan ucapannya.

"Share location aja. Lo punya nomor gue, kan?" Kini, aku yang melontarkan kalimat yang membuatnya terdiam beberapa saat. Aku meneliti pergerakannya yang sibuk menggulung penyuara telinga ke sebuah benda berbentuk kotak yang tak kutahu itu apa, lalu menyimpannya ke dalam tas.

"Jam segini pasti macet. Angkot lo itu bisa nyalip-nyalip? Kalo bisa ya nggak apa-apa."

Sungguh sulit menyangkal perkataan seorang Adnan. Aku pun mengusap tengkuk bingung. "Ya nggak bisa, sih."

Adnan kembali memasangkan tasnya di punggung setelah menyimpan benda di tangannya tadi. Rambutnya disibak ke belakang setelahnya. "Ayo."

"Ra, gue duluan, ya. Sorry nggak bisa nganter ke ruang guru," ucapku.

Bahuku menjadi sasaran dari pukulan kecil buku tulis Amara. "Santai aja kali. Gue juga bisa sendiri tanpa dianter jemput."

Ucapannya barusan adalah sindiran halus. Aku tahu itu.

"Ya udah sana. Hati-hati, ya. Nan, jagain Nala. Jangan sampe kenapa-kenapa," lanjutnya.

Aku menatap Amara malas. "Kayak mau ngapain aja, sih, Ra."

Sebelum pergi, Amara melemparkan senyum jahil padaku dengan kedua tangan yang menggenggam tali tasnya.

"Nanti lo tunggu di gerbang aja. Gue ambil motor dulu," ucap Adnan.

Aku mengiyakan, dan membiarkan Adnan berjalan lebih dulu, lalu aku membuntutinya dari belakang.

"Eh, tapi, Nan," ucapku tanpa menghentikkan langkah kami, "motor lo bukan motor yang... brem brem gitu, kan?"

Sepertinya ucapanku barusan bagaikan rem yang membuat Adnan menghentikkan langkahnya, aku ikut tersentak ketika ia mendadak mematung. Adnan berbalik menatapku dengan penuh kebingungan. "Maksudnya?"

Ia bingung, aku pun ikut bingung. Aku menggaruk pelan kepalaku yang tak gatal, memikirkan bagaimana caranya menjelaskan apa maksudku. "Itu, lho, motor lo bukan motor yang berisik gitu, kan?"

"Oh," katanya singkat. "Nggak, nggak berisik."

Aku mengangguk paham, lalu kami kembali melajukan langkah menuju gerbang dengan Adnan yang memimpin jalan lebih dulu di depanku.

"Sorry kalau lo tersinggung. Gue cuma agak kurang nyaman aja kalau denger motor yang kalau di gas berasa kayak raja jalanan."

Setelahnya, kami memisahkan diri ketika melewati parkiran motor khusus siswa-siswi, sementara aku menunggu Adnan tepat di depan gerbang, di pinggir jalan.

Kardigan biru tua yang sengaja ku ikat di pinggang kini beralih untuk menyelimuti tubuhku. Sebuah kebisaan yang sepertinya tidak akan pernah hilang.

Beberapa menit berlalu sebelum suara mesin motor memecah keheningan. Dari kejauhan, aku melihat Adnan meluncur dengan motornya, mengenakan jaket bomber hitam dan helm berwarna sama. Ia memperlambat laju dan berhenti tepat di depanku, lalu menaikkan kaca helmnya.

"Naik."

Aku menghiraukan Adnan dan justru fokus pada motor yang dikendarainya. Motor hitam dengan tangki bensin di bagian depan pengemudi, membuat Adnan harus sedikit membungkukan badan ketika mengendarainya.

On the Day We Call It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang