Prolog

12 1 3
                                    

Aku selalu merasa seperti genteng di atas rumah. Berdiri teguh di ketinggian, menyaksikan dunia berlalu tanpa pernah benar-benar terlibat di dalamnya. Dari tempatku, aku melihat segala sesuatu dengan jelas, tapi tidak pernah benar-benar menyentuhnya. Seperti hidup ini, yang kulihat namun tak kurasakan.

Namaku Amora Genteathasia. Orang-orang memanggilku Gentea, dan entah bagaimana, namaku kini lebih terdengar seperti genteng, bagian kecil dari rumah yang menonton dunia dari kejauhan. Aku lahir di bawah zodiak Libra, tepat di bulan Oktober 2009. Masa kecilku, seperti kebanyakan anak lain, diisi dengan keceriaan yang sederhana. Tapi semua berubah ketika pandemi melanda dunia, seperti badai yang menghantam tanpa peringatan. Semua rutinitas yang pernah kukenal tiba-tiba hancur.

Saat itu, aku masih di bangku Sekolah Dasar. Semua orang berbicara tentang virus yang menakutkan, dan perlahan-lahan, segalanya berubah. Sekolah ditutup, dan kami dipaksa belajar dari rumah. Banyak yang merasa lega tidak harus ke sekolah, tetapi bagiku, ada sesuatu yang hilang. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat perpisahan dan kenangan manis bersama teman-teman sekelas justru berlalu tanpa kesan. Hari kelulusan tiba tanpa acara meriah, tanpa tangisan atau tawa perpisahan. Kami hanya menerima hasil ujian lewat email, lalu semuanya berakhir begitu saja. Hampa.

Namun, di tengah kekosongan itu, aku menemukan sesuatu yang baru. Satu hari, di tengah keheningan rumah yang sepi, aku memutuskan untuk naik ke loteng. Loteng itu selalu tampak seperti tempat yang dilupakan; berdebu, penuh dengan barang-barang lama yang sudah tidak digunakan lagi. Di sanalah aku menemukannya—sebuah buku tua yang terselip di antara tumpukan benda-benda tak berguna. Sampulnya tebal dan lusuh, tapi ada sesuatu tentang buku itu yang menarik perhatianku.

Aku bukan orang yang gemar membaca, setidaknya sebelum pandemi. Tapi saat kuambil buku itu, ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhku, seolah-olah buku itu memanggilku, memintaku untuk membuka halamannya. Dan itulah yang kulakukan. Sejak hari itu, hidupku berubah.

Buku itu bukanlah buku biasa. Setiap kali aku membacanya, rasanya seperti terseret ke dunia lain—dunia di mana waktu bergerak dengan cara yang berbeda. Di dalamnya, aku menemukan kisah tentang seorang perempuan yang hidup di rumah ini bertahun-tahun lalu, perempuan yang hidupnya penuh dengan misteri dan kesedihan yang tak terkatakan. Tapi semakin banyak aku membaca, semakin aku merasa bahwa kisah dalam buku itu bukan hanya sekadar cerita. Seolah-olah, buku itu berusaha memberitahuku sesuatu.

Dan itulah awal mula dari segala sesuatu. Awal dari mimpi-mimpi aneh yang mulai menghantui malamku. Awal dari bayangan yang mulai tampak di sudut mataku, seolah-olah ada seseorang yang mengawasiku. Awal dari perasaan bahwa hidupku, yang dulu terasa begitu biasa, sekarang berubah menjadi teka-teki yang harus kupecahkan.

Mungkin ini terdengar gila. Aku pun merasa begitu. Tapi setiap kali aku meletakkan buku itu, ada sesuatu yang terus menarikku kembali. Seolah-olah, buku itu menunggu untuk membuka rahasia yang selama ini tersembunyi. Rahasia tentang perempuan itu, tentang rumah ini, dan mungkin—tentang diriku sendiri.

Inilah ceritaku. Cerita tentang bagaimana aku, seorang gadis biasa yang menghabiskan hari-harinya seperti genteng di atas rumah, mulai terlibat dalam dunia yang lebih gelap dan lebih misterius daripada yang pernah kubayangkan.

Veritas in UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang