Bab 11: Kilasan Masa Lalu

0 0 0
                                    

Malam semakin larut saat Amora dan Azlan terus berjalan menembus kegelapan hutan. Udara dingin mulai menggigit kulit, sementara suara gemerisik dedaunan kering terdengar di bawah kaki mereka. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing setelah kejadian di jembatan kayu yang nyaris merenggut nyawa mereka.

Amora sesekali melirik ke arah Azlan, yang tampak tenang meski wajahnya masih tegang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—tentang pria berjubah hitam, tentang Kencana Pralaya, dan tentang alasan Azlan selalu tampak tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. Namun, Amora merasa waktunya belum tepat untuk mendesak jawaban dari Azlan. Dia perlu memahami situasi ini lebih dalam sebelum menggali lebih jauh.

"Apakah kau tahu ke mana kita akan pergi?" tanya Amora akhirnya, memecah keheningan yang menyesakkan.

Azlan berhenti sejenak, mengangguk pelan sambil menatap ke depan. "Ada tempat aman di ujung hutan ini. Seseorang yang bisa membantu kita."

Amora menelan ludah, meski belum sepenuhnya yakin dengan jawaban Azlan. Namun, tidak ada pilihan lain selain mengikuti Azlan untuk sementara waktu. Kabut tebal yang menyelimuti mereka perlahan memudar, dan langit di atas mulai memperlihatkan bintang-bintang yang tertutup awan sebelumnya. Cahaya bulan samar-samar menerangi jalan yang mereka tempuh, memberikan sedikit ketenangan di tengah hutan yang tampak tak berujung.

"Kamu kenal pria berjubah hitam itu, bukan?" Amora memberanikan diri untuk bertanya lagi.

Azlan terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya rendah dan penuh keraguan. "Ya, aku kenal dia. Dia... dulunya sekutu ayahku. Tapi itu sudah lama sekali, sebelum dia memilih jalan yang salah."

"Ayahmu?" Amora semakin penasaran. "Apa yang terjadi?"

Azlan mendesah, tampak enggan mengungkap lebih banyak, tapi tatapan Amora memaksanya untuk melanjutkan. "Ayahku adalah salah satu penjaga kuno yang ditugaskan untuk melindungi Kencana Pralaya. Ada banyak dari kami, masing-masing diberi tugas untuk menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dimensi lain yang terhubung melalui portal. Pria berjubah hitam itu, Amsar, adalah salah satu dari mereka. Namun, keserakahan dan hasrat untuk menguasai kekuatan Kencana Pralaya membuatnya berpaling."

Amora mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang keluar dari mulut Azlan membawa lebih banyak pertanyaan, tetapi juga perlahan membentuk gambaran tentang situasi mereka yang sebenarnya. Kencana Pralaya bukan hanya sebuah batu permata biasa, melainkan benda kuno yang menyimpan kekuatan besar yang bisa mempengaruhi keseimbangan alam semesta.

"Tapi kenapa Amsar ingin mencuri Kencana Pralaya?" tanya Amora lagi, meskipun dia tahu jawabannya tidak akan mudah.

"Dia percaya bahwa dengan kekuatan batu itu, dia bisa membuka portal ke dimensi yang lebih kuat, tempat para entitas yang lebih tua dan lebih kuat bersemayam. Dia ingin mengendalikan mereka, menggunakan kekuatan mereka untuk menguasai dunia ini. Namun, apa yang dia tidak sadari adalah bahwa kekuatan itu bukan untuk dikendalikan. Itu adalah kekuatan yang mengendalikanmu jika kau mencoba memanfaatkannya."

Amora merinding mendengar penjelasan Azlan. Dunia yang selama ini ia anggap sebagai tempat yang nyata dan terbatas ternyata jauh lebih luas dan misterius daripada yang pernah ia bayangkan.

"Aku tidak pernah berpikir bahwa dunia ini... seaneh ini," gumamnya pelan.

Azlan tersenyum samar. "Banyak hal yang kita tidak tahu, Amora. Dunia ini penuh dengan misteri, dan Kencana Pralaya adalah salah satu dari banyak rahasia yang tersembunyi dari mata manusia biasa."

Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan. Kini, pikiran Amora dipenuhi dengan bayangan tentang masa lalu yang penuh konflik dan kekuatan gelap yang mengintai. Suasana hutan yang tadinya menakutkan mulai terasa akrab, seolah-olah hutan itu sendiri menyimpan cerita-cerita yang sudah lama terlupakan.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya tiba di sebuah bukit kecil. Di atas bukit itu, sebuah rumah kayu tua berdiri dengan kokoh, meski terlihat rapuh dimakan usia. Cahaya dari dalam rumah menyala lembut, memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan setelah perjalanan panjang dan penuh ketegangan.

"Ini tempatnya," kata Azlan, sambil melangkah menuju pintu depan rumah.

Amora mengikuti di belakang, merasa lega bahwa mereka akhirnya tiba di tempat yang aman. Azlan mengetuk pintu dengan pola tertentu, seakan-akan memberi isyarat rahasia. Beberapa detik kemudian, pintu kayu itu terbuka dengan suara berderit, dan seorang wanita tua dengan rambut putih panjang berdiri di ambang pintu.

"Azlan," kata wanita itu dengan suara lembut namun penuh otoritas. "Aku sudah menunggumu."

Azlan mengangguk hormat, lalu melirik ke arah Amora. "Ini Amora. Dia yang membawa Kencana Pralaya."

Mata wanita tua itu menyipit saat menatap Amora, seolah-olah sedang mempelajari sesuatu yang sangat penting. Tanpa berkata-kata, dia memberi isyarat agar mereka masuk ke dalam rumah. Begitu mereka berada di dalam, suasana hangat menyelimuti tubuh mereka, mengusir rasa dingin yang selama ini melekat sejak di hutan.

"Siapa dia?" bisik Amora pelan kepada Azlan.

Azlan menoleh, senyum samar terukir di bibirnya. "Dia adalah Nyonya Retna, salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang rahasia yang aku ceritakan padamu. Dia adalah penjaga pengetahuan kuno, yang tersisa dari generasi sebelum kita."

Amora mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Nyonya Retna membuka percakapan.

"Amora," suara Nyonya Retna terdengar dalam dan menenangkan, meski ada kekuatan di balik setiap kata yang diucapkannya. "Aku tahu tentang perjalananmu, tentang beban yang kau pikul sejak kau menemukan Kencana Pralaya. Batu itu bukan hanya sebuah artefak. Ia adalah kunci untuk menjaga keseimbangan, dan sayangnya, banyak yang menginginkannya untuk tujuan yang salah."

Amora merasakan sesuatu yang dingin di dalam dirinya. Dia sudah menduga bahwa batu itu bukan sembarang benda, tetapi mendengar langsung dari mulut seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam membuat semuanya terasa lebih nyata dan lebih menakutkan.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Amora, suaranya sedikit gemetar.

Nyonya Retna menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab. "Kau harus melindungi batu itu, dan kau harus memahami kekuatannya. Tetapi sebelum itu, kau harus menghadapi masa lalumu."

Mata Amora terbelalak. "Masa lalu?"

Nyonya Retna mengangguk pelan. "Setiap orang yang terpilih untuk memegang Kencana Pralaya membawa beban masa lalu yang tidak bisa diabaikan. Masa lalumu menyimpan kunci untuk memahami kekuatan batu itu dan untuk melawan Amsar."

Amora terdiam. Masa lalu? Selama ini, dia mencoba menghindar dari pikirannya sendiri, dari kenangan yang menyakitkan tentang keluarganya dan tentang hal-hal yang hilang. Namun, jika apa yang dikatakan Nyonya Retna benar, maka dia harus berhadapan dengan apa yang selama ini dia takuti.

Azlan menatap Amora dengan penuh simpati. "Kau tidak sendiri dalam perjalanan ini. Kita akan menghadapinya bersama-sama."

Amora mengangguk, meski hatinya masih penuh dengan keraguan. Namun, dia tahu satu hal: perjalanan ini jauh lebih besar daripada apa yang pernah ia bayangkan, dan apa pun yang terjadi, dia harus menemukan jawabannya—baik tentang Kencana Pralaya maupun tentang dirinya sendiri.

Veritas in UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang