Bab 14: Bayang-Bayang di Ujung Hutan

0 0 0
                                    

Angin dingin menerpa wajah Amora saat ia dan Azlan terus berlari melintasi hutan yang lebat. Hujan yang semakin deras membuat tanah menjadi licin, sehingga mereka harus berhati-hati dalam setiap langkah. Namun, ketakutan akan kejaran Amsar membuat mereka tak punya pilihan selain terus berlari, meski tubuh mereka mulai lelah.

“Azlan, tunggu sebentar!” Amora hampir tergelincir saat kakinya menyentuh akar pohon yang tersembunyi di bawah genangan air. Nafasnya terengah-engah, namun ia memaksa untuk terus berdiri.

Azlan berhenti sejenak, menoleh ke belakang dan melihat Amora yang tengah berusaha mengatur nafas. “Kita tidak bisa berhenti lama di sini. Mereka pasti sudah dekat,” ucapnya sambil menatap ke arah yang baru saja mereka lewati. Sekilas, ia merasakan ada sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang pepohonan.

Amora mengangguk, meskipun tubuhnya terasa sangat lelah. Ia menyadari betapa pentingnya untuk terus bergerak, namun hatinya penuh dengan kegelisahan. Tadi, sebelum mereka melarikan diri, Nyonya Retna memberikan sebuah kotak kecil kepadanya. Amora belum sempat melihat apa isinya, dan kotak itu sekarang terasa berat di dalam saku jaketnya, seolah-olah menyimpan sesuatu yang sangat berharga.

“Kita harus menemukan tempat untuk berlindung sebentar, setidaknya sampai hujan reda,” kata Amora dengan suara lemah.

Azlan mengangguk setuju. Ia menatap sekeliling, mencari tempat yang aman. Di depan mereka, hutan semakin lebat, namun tidak jauh dari situ, ia melihat sebuah pondok tua yang hampir tertutup oleh semak belukar. “Ayo, kita bisa berlindung di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah pondok.

Tanpa pikir panjang, mereka berdua bergegas menuju pondok itu. Pintu kayunya sudah reyot dan penuh dengan lumut, tapi setidaknya bisa melindungi mereka dari hujan untuk sementara. Azlan mendorong pintu itu perlahan, dan mereka masuk ke dalam.

Pondok itu ternyata lebih luas daripada yang mereka duga. Meskipun sudah lama ditinggalkan, atapnya masih cukup kuat untuk menahan hujan. Amora duduk di lantai kayu yang berderit, berusaha menenangkan diri. Azlan menutup pintu, lalu berjalan mengelilingi ruangan, memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya.

“Kita aman untuk saat ini,” katanya setelah beberapa saat.

Amora mengeluarkan kotak kecil dari saku jaketnya dan memandangnya dengan seksama. Kotak itu tampak biasa saja, terbuat dari kayu tua yang diukir dengan pola-pola rumit. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting di dalamnya, tapi ia ragu untuk membukanya.

“Apa kau sudah tahu apa yang ada di dalamnya?” tanya Azlan, duduk di sebelah Amora dan menatap kotak itu dengan rasa ingin tahu.

Amora menggeleng. “Nyonya Retna hanya bilang bahwa isinya adalah kunci, tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut. Mungkin sudah saatnya aku membukanya.”

Dengan tangan yang gemetar, Amora membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah cincin perak yang berkilauan meskipun cahaya di dalam pondok sangat redup. Cincin itu dihiasi dengan batu permata kecil yang berwarna biru tua, nyaris hitam. Ada sesuatu yang aneh dan misterius tentang cincin itu, seolah-olah benda itu memiliki kekuatan yang tersembunyi.

“Apa kau tahu apa ini?” tanya Amora, menunjukkan cincin itu kepada Azlan.

Azlan memandang cincin itu dengan ekspresi serius. “Aku pernah mendengar cerita tentang cincin seperti ini. Dulu, kakekku sering bercerita tentang keluarga yang memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan antara terang dan gelap. Cincin itu konon merupakan simbol kekuatan mereka.”

Amora menatap cincin itu dengan perasaan campur aduk. “Jadi, ini bukan sekadar cincin biasa?”

Azlan menggeleng. “Tidak, cincin itu memiliki kekuatan. Dan aku yakin, itulah alasan mengapa Amsar begitu berambisi untuk mendapatkannya.”

“Kekuatan seperti apa?” Amora bertanya, merasa lebih takut daripada penasaran.

“Cincin itu bisa memberikan penggunanya akses ke kekuatan tersembunyi dari Kencana Pralaya,” kata Azlan. “Tapi kekuatan itu bisa berbahaya jika digunakan dengan cara yang salah. Itu sebabnya Amsar menginginkannya. Dia ingin memanfaatkan kekuatan itu untuk tujuan jahatnya.”

Amora memandang cincin di tangannya, berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar. Bagaimana mungkin ia, seorang gadis biasa, tiba-tiba terlibat dalam sesuatu yang sebesar ini? Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

“Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan cincin ini,” kata Amora, suaranya bergetar.

Azlan meraih tangan Amora dengan lembut. “Kita akan mencari tahu bersama. Kau tidak perlu melakukannya sendirian.”

Kata-kata Azlan sedikit menenangkan Amora, tetapi bayangan tentang apa yang harus ia hadapi masih menghantuinya. Amsar masih ada di luar sana, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan kini, dengan cincin ini di tangannya, Amora merasa seolah-olah beban dunia berada di pundaknya.

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari luar pondok. Amora dan Azlan langsung bangkit, mata mereka penuh kewaspadaan.

“Siapa itu?” tanya Azlan dengan suara rendah, sambil menatap pintu yang kini bergetar karena ketukan yang semakin keras.

Amora merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia meraih tangan Azlan, berusaha menenangkan diri.

“Aku akan memeriksanya,” bisik Azlan, berjalan mendekati pintu dengan langkah hati-hati.

Ketukan itu semakin keras, membuat jantung Amora berdetak lebih cepat. Azlan membuka pintu sedikit, hanya cukup untuk melihat siapa yang ada di luar. Wajahnya berubah tegang.

“Siapa di luar?” bisik Amora, merasa panik.

Azlan menutup pintu dengan cepat dan berbalik menghadap Amora. “Kita harus pergi sekarang. Mereka sudah menemukannya.”

Amora merasa dingin menjalar di seluruh tubuhnya. “Siapa... siapa yang menemukannya?”

Azlan tidak menjawab, hanya menarik Amora berdiri. “Cepat, kita harus keluar dari sini.”

Tanpa bertanya lagi, Amora mengikuti Azlan keluar dari pondok lewat pintu belakang. Suara langkah kaki semakin mendekat, dan mereka tahu, waktunya semakin sedikit. Di balik kabut yang tebal dan hujan yang masih mengguyur, bayang-bayang mulai bermunculan dari segala arah.

“Ke mana kita harus pergi?” tanya Amora, merasa bingung dan ketakutan.

Azlan menoleh dengan ekspresi serius. “Kita harus menemukan Nyonya Retna lagi. Dia mungkin tahu cara untuk menyembunyikan kita sementara.”

Mereka berdua berlari secepat mungkin, menjauh dari pondok dan menyusuri hutan yang semakin gelap. Angin kencang membuat pohon-pohon bergoyang hebat, seolah-olah alam pun merasakan kehadiran bahaya yang semakin dekat.

Namun, di tengah keputusasaan itu, Amora merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Cincin di tangannya berkilauan, seolah-olah merespons ketakutannya. Tanpa sadar, ia meremas cincin itu, dan seketika, sebuah kilatan cahaya muncul, menerangi jalan mereka.

Azlan menoleh, terkejut melihat cahaya itu. “Amora, apa yang kau lakukan?”

“Aku... aku tidak tahu,” jawab Amora, matanya terpaku pada cincin yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya.

Cahaya itu membimbing mereka, menunjukkan jalan di antara pohon-pohon yang lebat. Meskipun Amora tidak tahu apa yang sedang terjadi, ia merasakan bahwa cincin itu membawanya menuju sesuatu yang penting—sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan mereka dari ancaman yang terus mengintai.

Mereka terus berlari, mengikuti cahaya yang terpancar dari cincin, berharap bahwa akhir dari perjalanan ini akan membawa jawaban yang mereka cari.

Veritas in UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang