Bab 1: Fase Libra

4 0 0
                                    

Langit pagi itu berwarna kelabu, seakan memantulkan suasana hatiku yang terus-menerus dibalut kebingungan. Hari-hari ini, aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berujung. Meskipun telah memasuki jenjang baru di sekolah menengah, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupku, sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku bukan gadis yang keras kepala atau terlalu pemikir, tapi perasaan hampa ini mulai tumbuh di dalam diriku sejak hari kelulusanku di Sekolah Dasar—hari yang tak pernah benar-benar terasa seperti kelulusan.

“Gentea ayo sarapan! Jangan sampai terlambat lagi,” suara Bibi memecah lamunanku.

“Aku akan turun sebentar lagi, Bi!” sahutku sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan diriku ke dunia nyata.

Nama lengkapku, Amora Genteathasia, selalu terdengar asing di telingaku sendiri. Sebuah nama yang indah menurut orang lain, tapi bagi mereka yang mengenalku, namaku terlalu sulit untuk diingat atau bahkan diucapkan dengan benar. Maka, aku hanya dipanggil Gentea, nama yang ironisnya sering disamakan dengan ‘genteng’. Bukan nama yang megah atau berkelas, tapi aku menerimanya begitu saja. Bukan masalah besar, pikirku. Toh, nama tak lebih dari sekadar sebutan, bukan?

Ketika aku duduk di meja makan, Bibi sudah menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur mata sapi dengan roti panggang. Pemandangan yang sudah menjadi rutinitas selama berbulan-bulan terakhir ini. Bahkan makan pagi pun terasa monoton.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Bibi, memperhatikanku dengan tatapan lembut. “Akhir-akhir ini kamu sering melamun.”

Aku tersenyum kecil. “Baik, Bi. Mungkin cuma masih beradaptasi dengan sekolah baru.”

Bibi mengangguk sambil melanjutkan sarapannya. Mungkin benar, perubahan dari SD ke SMP ini terlalu mendadak. Aku tak pernah benar-benar merasakan masa transisi itu, dan entah kenapa rasanya ada banyak hal yang belum terselesaikan dalam hidupku. Seperti sesuatu yang tertinggal di masa lalu dan aku tak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.

Sekolah menengah pertamaku ini terletak di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Gedungnya tak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang luas dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di setiap sudut. Sejujurnya, aku suka suasana sekolah ini—sejuk dan tenang. Tapi, bahkan ketenangan ini kadang-kadang membuatku merasa semakin hampa. Seolah-olah aku adalah bagian dari pemandangan yang terlupakan, hanya berdiri di sana tanpa benar-benar menjadi bagian dari kehidupan yang mengalir di sekitarku.

Saat bel sekolah berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran pertama, aku mengambil tempat duduk di bangku paling belakang, seperti biasa. Dari sini, aku bisa melihat seluruh ruangan dengan jelas, tetapi jarang ada yang memperhatikanku. Aku lebih suka seperti itu—menjadi penonton dalam kehidupanku sendiri.

Di sampingku, seorang anak laki-laki baru saja duduk. Aku memperhatikannya dari sudut mata. Dia tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu tentang caranya membawa diri yang membuatku penasaran. Dia tampak pendiam dan tidak banyak bicara dengan orang lain. Mungkin dia murid baru, pikirku.

“Azlan,” katanya tiba-tiba, memperkenalkan diri tanpa diminta. Suaranya tenang, tapi cukup dalam untuk memecah kesunyian yang terasa sedikit canggung di antara kami.

Aku menoleh ke arahnya. “Amora,” balasku singkat, tidak tahu harus berkata apa lagi.

Dia tersenyum tipis, tapi senyumnya tak benar-benar sampai ke matanya. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa aneh dalam kehadirannya. Seolah-olah dia membawa beban berat yang tak terlihat oleh orang lain. Aku tidak tahu apakah perasaan ini hanya imajinasiku saja ataukah ada sesuatu yang lebih dalam tentang dirinya.

Hari-hari berlalu, dan Azlan tetap seperti bayangan di sudut mataku—ada, tetapi tak pernah benar-benar hadir. Dia tidak banyak bicara, tapi setiap kali aku melihatnya, aku merasa ada yang tak beres. Setiap kali dia melangkah, aku mendengar langkah kaki lain yang seolah mengikuti di belakangnya. Namun, ketika aku mencoba memperhatikan lebih saksama, tidak ada apa-apa. Kosong. Bayangan itu hanya ada di dalam pikiranku.

Sementara itu, perasaanku terhadap buku tua yang kutemukan di loteng semakin kuat. Setiap malam, aku akan membuka halamannya, membacanya dengan hati-hati, seakan-akan buku itu menyimpan rahasia yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentang buku itu—siapa pemiliknya, mengapa ada di rumahku, dan apa artinya semua ini. Namun, semakin banyak aku membaca, semakin banyak pula pertanyaan yang muncul di benakku.

Suatu malam, ketika semua orang di rumah sudah tertidur, aku membuka buku itu lagi. Halamannya terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah membawa beban cerita yang belum terungkap. Aku duduk di meja belajarku, menyalakan lampu kecil, dan mulai membaca lagi dari tempat terakhir aku berhenti.

"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu, pembaca. Sesuatu yang akan mengubah hidupmu, jika kamu berani menggali lebih dalam," demikian tertulis dalam paragraf pembuka pada halaman baru yang kubaca.

Kalimat itu membuatku merinding. Ini bukan kali pertama aku merasakan ketidaknyamanan saat membaca buku ini, tetapi kali ini, rasanya lebih nyata. Seolah-olah seseorang benar-benar berbicara langsung kepadaku melalui buku itu. Kututup buku tersebut dengan cepat dan meletakkannya di meja. Malam semakin larut, dan aku tidak ingin merasa lebih ketakutan lagi.

Namun, perasaan itu tidak hilang. Bahkan setelah buku itu ditutup, aku merasa ada yang mengawasi dari sudut kamarku. Aku menoleh perlahan, tapi tidak ada apa-apa. Hanya bayangan yang memanjang di dinding karena cahaya lampu.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diriku sendiri. Mungkin aku terlalu larut dalam imajinasi karena cerita dalam buku itu terlalu menghipnotis. Tapi kemudian, aku mendengar sesuatu. Suara langkah kaki di luar kamarku, pelan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat bulu kudukku meremang.

Siapa itu?

Aku bangkit dari kursi dan berjalan pelan ke arah pintu. Kuletakkan tanganku di gagang pintu, mencoba mendengarkan lebih seksama. Langkah kaki itu berhenti. Hening. Bahkan detak jantungku terasa terlalu keras di telinga. Kupikir mungkin itu hanya Ibu yang berjalan menuju dapur, tetapi jam sudah menunjukkan tengah malam.

Kubuka pintu dengan hati-hati, mengintip keluar. Tidak ada siapa-siapa. Koridor rumah gelap dan sepi seperti biasa. Namun, perasaan aneh itu tetap ada, seperti sesuatu atau seseorang sedang bersembunyi di dalam bayangan, menunggu saat yang tepat untuk muncul.

Aku kembali ke kamar, menutup pintu dengan cepat, dan mencoba tidur. Tapi malam itu, mataku tetap terbuka lebar, pikiranku terus berputar. Bayangan itu, buku itu, Azlan—semuanya terasa begitu terkait, meskipun aku belum tahu bagaimana cara menghubungkan titik-titik itu.

Mungkin, hanya waktu yang akan menjawab semua pertanyaanku. Atau mungkin, aku harus lebih berani menggali lebih dalam, seperti yang disarankan oleh buku tua itu. Tapi apakah aku siap menghadapi kebenaran yang tersembunyi di balik semua ini?

Hanya waktu yang bisa membuktikannya.

Veritas in UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang