Bab 12: Bayangan di Cermin

1 0 0
                                    

Udara di dalam rumah kayu Nyonya Retna terasa hangat, tetapi ada sesuatu yang membuat Amora gelisah. Keheningan yang menyelimuti ruangan seakan menguatkan perasaan bahwa banyak rahasia tersembunyi di balik dinding tua itu. Nyonya Retna berjalan perlahan ke arah meja kayu yang terletak di sudut ruangan, membiarkan Amora dan Azlan berdiri dalam kebingungan.

“Minumlah,” ujar Nyonya Retna tiba-tiba, menawarkan dua cangkir kecil berisi cairan berwarna keemasan kepada mereka.

Amora menatap cangkir itu dengan ragu. Ia sudah sering mendengar tentang minuman yang digunakan dalam ritual kuno untuk membuka pikiran atau menghadirkan penglihatan. Namun, apakah ia siap untuk melihat apa yang tersembunyi di balik bayang-bayang masa lalunya?

Azlan, tanpa keraguan, mengambil cangkir itu dan meminumnya dengan tenang. Amora menarik napas dalam-dalam sebelum melakukan hal yang sama. Rasa pahit memenuhi mulutnya, dan ada sensasi panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia menutup mata, mencoba menenangkan dirinya, tetapi justru rasa cemas semakin mendominasi.

“Berbaringlah,” kata Nyonya Retna, suaranya terdengar lembut namun penuh kuasa.

Amora dan Azlan mengikuti instruksi tersebut. Mereka berbaring di atas tikar anyaman yang ditempatkan di tengah ruangan, sementara Nyonya Retna mulai melantunkan doa-doa dalam bahasa kuno yang tidak dikenali Amora. Suara itu bergema dalam ruangan kecil itu, menggetarkan udara di sekitar mereka.

Amora merasa pikirannya mulai melayang, tubuhnya terasa ringan, seolah terpisah dari dunia nyata. Pemandangan di sekitarnya berubah; dinding-dinding kayu rumah itu memudar, digantikan oleh langit malam yang gelap. Dia tidak lagi berada di dalam rumah Nyonya Retna. Di sekelilingnya hanya ada kegelapan yang begitu pekat, menelannya bulat-bulat.

“Ini bukan mimpi, Amora,” suara Nyonya Retna berbisik di telinganya, meski sosoknya tidak terlihat. “Ini adalah perjalanan ke dalam dirimu sendiri.”

Tiba-tiba, di hadapannya, sebuah cermin besar muncul. Refleksi di dalam cermin itu tidak menunjukkan wajah Amora seperti biasanya. Yang ia lihat adalah sosok seorang gadis kecil dengan rambut panjang, berdiri di sebuah ruangan yang tidak asing. Ruangan itu adalah kamarnya—kamar masa kecilnya yang telah lama ia tinggalkan. Namun, ada sesuatu yang salah. Di sudut ruangan, di tempat cermin yang biasanya tergantung, ada bayangan lain. Sesosok pria berdiri di sana, tersenyum kepadanya dengan tatapan yang penuh misteri.

Amora terpaku. Pria itu bukanlah siapa-siapa yang ia kenal, tetapi ada sesuatu yang begitu familiar darinya. Wajahnya yang pucat, mata tajam, dan senyum yang dingin seolah mengintai dari balik bayangan. Ia merasa terperangkap dalam pandangan pria itu, seolah-olah tubuhnya tak mampu bergerak, meski pikirannya berteriak untuk lari.

"Siapa kau?" tanyanya dengan suara bergetar.

Sosok itu hanya tersenyum lebih lebar, lalu mendekat. Amora merasakan suhu udara menurun drastis, membuat jantungnya berdegup kencang. Detak jantung itu semakin keras, hingga memenuhi telinganya, menggema di seluruh kepalanya.

“Tunggu,” bisik suara lembut, kali ini terdengar di belakangnya. Amora menoleh, dan melihat bayangan yang lain muncul. Seorang wanita muda, dengan gaun putih panjang, melangkah maju dari kegelapan, wajahnya tersembunyi di balik bayangan.

“Kau harus mencari jawaban di sini,” lanjut wanita itu. Suaranya terdengar seperti gema yang datang dari tempat yang sangat jauh.

Amora merasa seluruh tubuhnya ditarik mundur, kembali ke kamar masa kecilnya. Kini, bayangan pria itu telah menghilang, digantikan oleh berbagai fragmen ingatan yang melayang di udara. Potongan-potongan masa lalunya berputar di sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak di dalam sebuah kaleidoskop waktu.

Ia melihat dirinya yang lebih muda, tertawa bersama orang tuanya. Kemudian, gambar itu berubah menjadi kenangan suram—ibunya terbaring sakit, ayahnya tampak murung di samping tempat tidur. Ada sesuatu yang selalu ia lupakan, sesuatu yang disembunyikan oleh pikirannya selama bertahun-tahun.

“Amora,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.

Sosok wanita yang samar tadi semakin dekat. Amora akhirnya bisa melihat wajahnya dengan jelas—dan wajah itu membuat napasnya terhenti. Wanita itu adalah dirinya sendiri, hanya saja lebih tua, dengan wajah yang dipenuhi oleh kesedihan dan kelelahan.

“Kau harus mengingat,” wanita itu berbisik, memegang tangan Amora dengan lembut. “Hanya dengan mengingat semuanya, kau bisa melangkah maju.”

Amora menatap sosok itu, merasa terjebak antara keinginan untuk melarikan diri dan dorongan untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Perlahan, ingatan yang terkunci di dalam benaknya mulai terkuak. Ia melihat kejadian di hari ibunya meninggal, kata-kata terakhir yang diucapkan dengan napas yang tersengal-sengal.

Kencana... Pralaya,” bisik ibunya, sebelum matanya tertutup untuk selamanya.

Air mata Amora mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Ia telah melupakan momen itu, menguburnya jauh di dalam pikirannya agar rasa sakitnya tidak terasa lagi. Namun sekarang, kenyataan itu kembali menghantamnya dengan keras. Ibunya tahu tentang Kencana Pralaya sebelum ia sendiri menemukannya. Semua ini, perburuan terhadap batu itu, bukanlah sebuah kebetulan. Ibunya telah mempersiapkannya untuk ini sejak lama, tetapi ia terlalu muda untuk mengerti saat itu.

Tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Alasan mengapa ia selalu merasa ada yang salah sejak menemukan batu itu, mengapa ia merasa terhubung dengan benda itu, dan mengapa Amsar begitu ingin mengambilnya. Batu itu bukan sekadar benda kuno dengan kekuatan misterius. Itu adalah bagian dari warisan keluarganya, dan mungkin, ibunya adalah salah satu penjaga sebelum ia.

“Kenanganmu adalah kunci,” kata wanita itu lagi, sambil tersenyum lelah. “Kau harus menerimanya, Amora. Karena inilah jalan yang telah dipilihkan untukmu.”

Amora mengangguk perlahan, menerima kenyataan yang selama ini ia tolak. Ia merasa beban berat yang menindih dadanya perlahan terangkat, meski rasa sakit itu masih ada.

Saat itu, dunia di sekelilingnya mulai berputar, cermin di hadapannya retak, lalu pecah berkeping-keping. Ruangan masa kecilnya memudar, kembali digantikan oleh kabut dan kegelapan.

Amora membuka mata, terengah-engah. Ia kembali ke dalam rumah Nyonya Retna. Suara api yang membakar kayu terdengar lembut di sekitarnya, dan kehangatan kembali menyelimuti tubuhnya. Di sampingnya, Azlan masih terbaring dengan tenang, matanya tertutup rapat, tenggelam dalam penglihatannya sendiri.

Nyonya Retna menatap Amora dengan tatapan penuh pengertian. “Kau sudah mulai memahami, bukan?” tanyanya lembut.

Amora menatapnya, matanya masih basah oleh air mata. “Ibu saya tahu tentang batu itu. Dia... dia menyebut Kencana Pralaya sebelum meninggal.”

Nyonya Retna mengangguk pelan. “Dia adalah salah satu penjaga, sama seperti kau sekarang. Kau terpilih untuk melanjutkan tugasnya.”

Rasa takut dan bingung masih menggantung di hati Amora, tetapi kini, ia mulai merasakan sesuatu yang lain—keberanian. Ia tidak lagi sendirian dalam perjalanannya. Ada takdir yang mengikatnya pada batu itu, dan ia tidak akan lari lagi.

“Bagaimana saya bisa melindungi batu ini dari Amsar?” tanyanya, suaranya tegas meski ada keraguan.

Nyonya Retna tersenyum kecil. “Itu bukan pertarungan yang harus kau hadapi sendirian. Kau punya sekutu, Amora. Dan bersama, kalian akan menemukan cara untuk melindungi Kencana Pralaya dan mengembalikan keseimbangan.”

Amora menatap Azlan yang masih terbaring. Ia tahu perjalanan ini belum berakhir, dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, dengan setiap langkah yang diambil, ia semakin memahami takdir yang menunggunya—dan ia siap menghadapinya.

Veritas in UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang