Bab 2

380 69 22
                                    

Bab 2

Jam makan siang sudah tiba dan ruang makan karyawan di perusahaan tempat Arletta magang mulai dipenuhi pegawai yang mencari waktu istirahat di tengah tumpukan pekerjaan. Suasana ramai terasa kontras dengan kepenatan dari deadline yang makin dekat. Meski Arletta baru beberapa minggu magang, ia sudah merasakan betapa dinamisnya atmosfer kerja di kantor ini. Setiap proyek arsitektur membawa tantangan baru yang membuat hari-harinya penuh tekanan, namun juga memacu semangat.

“Arletta!”

Suara cempreng yang sudah tidak asing lagi menggelegar dari ujung ruangan. Arletta menoleh, mencari tahu sumber panggilan tersebut dan mendapati Kinara, teman sesama anak magang, melambai-lambaikan tangan dari meja paling pojok.

“Sini! Duduk di sini!” panggil Kinara dengan senyum lebar yang khas.

Arletta tersenyum tipis lalu mendekat. Mereka berdua memang cepat akrab sejak pertama kali bertemu di hari pertama magang. Kini, mereka selalu makan siang bersama di kantin perusahaan, sambil berbagi cerita tentang pekerjaan dan dunia arsitektur yang makin mereka geluti.

“Udah duluan aja ternyata,” kata Arletta sambil duduk di sebelah Kinara.

“Iya, tadinya gue mau nungguin lo, tapi lo lama banget sih. Gue pikir udah kabur duluan!” balas Kinara sambil terkekeh.

“Tadi gue ke toilet dulu. Melepas beban.” Arletta ikut tertawa kecil, mengingat betapa ia terjebak di toilet selama hampir lima menit karena perutnya tak bersahabat setelah jam kerja pagi yang padat.

Kinara tertawa sambil meneguk minuman dinginnya. "Lo masih sibuk ngurus revisi desain pagi tadi? Kok kayaknya tegang banget mukanya?"

Arletta mengangguk sambil menghela napas. "Gue baru aja dapet feedback  dari tim Elang. Katanya ada perubahan yang harus gue kerjain ulang buat konsep desain ruang meeting klien besar."

“Lo disuruh Elang langsung?” Kinara menatap Arletta dengan mata terbelalak, seakan terkejut. Elang Aldrich Altar, arsitek senior yang juga merupakan salah satu pemegang proyek paling besar di kantor, terkenal dengan gaya bekerja yang keras dan sangat perfeksionis. Tidak sedikit karyawan baru yang merasa tertekan karena harus bekerja di bawah pengawasannya.

Arletta mengangguk lagi. “Iya, gue harus benerin beberapa bagian. Detailnya lumayan bikin mumet sih.”

Kinara tertawa pelan, "Wah, lo keren juga bisa dapet perhatian langsung dari dia. Hati-hati jatuh cinta, lho."

Arletta mencibir, "Jatuh cinta? Sama si tukang perintah itu? Nggak, makasih."

Saat suasana mulai mencair, tiba-tiba suasana ruang makan mendadak senyap. Arletta menoleh ke arah pintu masuk dan melihat Zarra, salah satu senior yang terkenal dengan sikap sok superiornya, melangkah masuk bersama beberapa rekannya. Zarra memang terkenal tidak ramah kepada para anak magang. Di hari-hari pertama mereka, dia bahkan seringkali melempar komentar meremehkan setiap kali melihat hasil kerja Arletta dan Kinara.

Tidak butuh waktu lama, Zarra menghampiri meja mereka. Dengan senyum sinis, ia menatap langsung ke arah Arletta, lalu tanpa aba-aba ia menyenggol gelas es teh yang ada di tangan Arletta, membuat cairannya tumpah mengenai baju kerjanya yang putih.

Arletta terkejut, matanya membelalak saat merasakan dinginnya es teh meresap ke kain bajunya. Dia menatap Zarra dengan geram. “Apa-apaan sih?” tanyanya dengan nada kesal yang tertahan.

Oops, sorry. Refleks,” jawab Zarra dengan nada sarkastik, tanpa ada sedikitpun rasa bersalah di wajahnya. “Itu mungkin bayaran kecil buat anak magang yang nggak ngerti aturan kantor.”

Tentang Rasa (Remake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang