4

60 11 2
                                    

💅 Rasti

Lihatlah wajah ceria Inggrid ini, diumur segini pun dia masih hobi menjahili ku "Eh tapi serius, bisa aja Ben tertarik sama kamu loh lak!"

"Bisa ganti topik aja gak sih?"

"Kita bukan ABG lagi lek!" imbuhku dan dia masih tersenyum.

"Oh ya, bulan depan aku ikut event kayak bazar gitu di kampus daerah barat, tadi udah ijin ke ibu buat minta bantuan mas Imam sama Lia dulu, katanya gak apa-apa, kamu gak apa-apa kan kalau anak-anak yang nyusul mas Imam dulu?"

"Lak, emang aku pernah protes ya kalau soal beginian? selama yang nyusul anak-anak masih aku kenal, aku gak masalah, lagi pula kamu juga cari uang kan, kalau bisa diatasi aku gak akan komen apa-apa."

"Thank you!" aku mengerucutkan bibirku seakan mencium Inggrid dari jauh.

"Aku kali yang harusnya bilang itu ke kamu, kalau gak ada kamu sama Raka dari awal kami pindah kesini, mungkin aku sama Bimo sudah gila urus Sena berdua aja."

"Apaan sih, udah jalannya begitu, sudah sudah move up!"

"Sumpah masih kepikiran aja sama kelakuan mertua ku pas itu, kayak banyak omong, banyak ngatur tapi sama sekali gak kasih bantuan apa-apa."

"Grid......" aku coba memintanya stop membahas hal ini.

"Sumpah ya, kadang tuh aku iri kalau sudah bahas soal mertua!"

"Makin jauh nih!" aku menghela napas panjang dan menatap mata Inggrid dalam.

"Kamu tahu gak, kemarin mamanya Bimo telpon, dan tahu apa yang dia bahas?" mata Inggrid tampak sudah lelah, tapi aku tahu saat ini dia hanya butuh bercerita padaku.

"Apa?" akhirnya aku bertanya dan dia tersenyum sinis.

.

FLASHBACK ON✨
💅Inggrid

Aku baru saja selesai makan malam bersama anak dan suamiku, sampai satu dering masuk ke ponsel Bimo, aku tahu itu dari mama mertuaku karena suamiku ini menyapanya "Ma."

"Barusan selesai makan malam sama Inggrid sama Sena, kenapa ma?" Bimo menatapku sekilas, aku dan Sena sedang sibuk membereskan meja makan, Sena membantuku untuk membawa piring, mangkok dan alat makan lainnya ke bak cuci piring, tidak lama dari tatapan Bimo itu, dia pun pergi menuju ke taman depan, mungkin tidak ingin percakapannya ini terdengar olehku.

"Sen, kalau sudah kamu langsung ke kamar ya, mama mau ada ngomong sama papa kamu."

"Oke, Sena juga mau nyiapin buku buat besok."

"Sip, langsung tidur ya!" aku mencium puncak kepala putraku ini dan dia langsung menaiki tangga menuju ke kamarnya yang memang ada di lantai dua.

Setelah memastikan Sena menghilang dari pandanganku, aku berjalan menyusul Bimo, benar dia masih sibuk dengan perbincangannya di ponsel.

"Ya tapi gak perlu memaksakan kemampuan ma."

"Bimo gak bisa kalau segitu, kebutuhan kami juga gak sedikit........."

"Ma, itu mobil dari jaman Inggrid kelar S2 loh, hadiah dari papanya, kami ambil mobil lagi juga masih nyicil ma."

Pikiranku sudah kemana-mana walau baru mendengar beberapa potong kalimat itu. Aku hanya mampu menghela napas berat, berharap bukan masalah uang lagi, walau kecil harapan itu akan terwujud.

Sampai Bimo akhirnya menutup sambungan telpon itu dan menyadari kehadiranku di sini "Beb...."

"Mama kamu?" aku memastikan dan dia mengangguk.

"Apa lagi?"

"Mobil aku kenapa?" tanyaku lagi sebelum pertanyaan yang pertama dia jawab.

Bimo memintaku duduk di kursi yang memang ada di teras rumah kami ini "Aku jelasin sambil duduk ya? Sena sudah di kamar?" aku mengangguk dan bersiap untu duduk di kursi yang Bimo maksud.

"Mama bilang, Tari mau coba promil."

"Terus?"

"Kalau mentok, mereka mau pakai bayi tabung." jelasnya lagi dan aku menghela napas berat, sudah membayangkan kami diminta andil dalam pembiayayannya.

"Mama cuma tanya kok, kira-kira apa Tari bisa pinjam beberapa ke kita?"

"Menurut kamu?" aku langsung emosi.

"Pinjam di kamus adek kamu itu gak balik Bim!"

"Dan di kamus mama kamu tuh artinya bantu dan ikhlasin buat adek kamu!"

"Tenang dulu beb....." Bimo sudah mengusap lenganku.

"Kamu masih ingatkan pas adik kamu nikah?"

"Kamu ingat kita harus keluar dan terpaksa iklhas keluar uang berapa? itu uang tabungan sekolah Sena padahal, kita ngumpulinnya juga susah payah, kita ngumpulinnya sampai bikin orang lain repot karena kita gak bisa jaga Sena sendiri."

Aku benar-benar jengkel saat itu, aku dan Bimo memang memilih untuk menikah secara sederhana saja, pakai uang kami berdua tanpa bantuan dari kedua orangg tuanya, sudah  menyanggupi list undangan dari pihak mertuaku yang tidak sedikit itu, dan ujungnya? tetap saja dia rasa kurang.

Giliran Tari yang menikah? berharap kami membantunya dengan jumlah yang banyak, aku membiarkan tabungan pendidikan Sena yang saat itu sudah terkumpul hampir 50 juta hanya untuk kesenangan tantenya dalam satu hari saja.

Sekarang apa? bayi tabung? God, please.........

"Bilang ke Tari, urus anak gak gampang, gak murah juga! minimal kalau mau progam bayi tabung punya uangnya dulu, punya dana lahirannya, punya bayangan tiap bulan harus keluar berapa untuk anaknya aja, jangan lupa vaksinnya, tuh mama kamu dulu ngeledek banget Sena pakai vaksin dari pemerintah, padahal kita juga usaha buat lengkapin vaksin dia di DSA, suruh buka dulu pikirannya biar sadar, biar nanti gak nangis -nangis dan ujungnya nyusahin kita!"

"Grid!" Bimo sudah membentakku.

"Apa? gak terima kamu? aku Bim yang harusnya marah kalau sudah bahas soal-soal begini!"

"Mama kamu suruh sadar, aku harus korban apa aja biar kita tetap bisa hidup, aku bahkan gak bisa loh lihat perkembangan anak aku secara langsung padahala kalau malam kita tidur di atap yang sama." air mataku sudah membasahi pipiku.

"Aku capek loh kerja, capek banget, tapi kalau gak aku lakuin mungkin keluarga kita gak akan punya fasilitas ini semua sekarang."

"Aku pengen banget kadang sehari aja kayak Rasti, urus anak sendiri, gak mikirin uang, uang uang."

"Kamu pikir Rasti gak mau kayak kamu? kamu pikir Rasti gak mikirin keuangan keluarganya?" tanya Bimo balik.

"Seenggaknya Rasti gak punya mertua dan ipar yang dikit-dikit andalin dia soal uang!"

"Oke sorry kalau orang tua aku gak setajir orang tua Raka!"

"Bukan soal tajir Bim......."

"Tapi soal kemandirian, mama papa kamu pensiunan PNS loh, minimal beryukur punya pensiunan untuk hidup tiap bulan, toh kita juga kasih mereka kan? tapi please, minta mama kamu buat lebih sadar sama kemampuan, tahu batasnya, dan gengsinya jangan ketinggian."

"Tari juga mau Grid punya keturunan." nada Bimo sudah kembali melembut.

"Iya aku paham, aku paham banget Bim!"

"Tapi disesuaikan sama kemampuannya, Tuhan gak akan salah nitipin hal besar itu ke umatNya, karena itu hal besar makannya butuh kemampuan diri dulu sebelum pantas menerimanya."

"Aku tahu banget omongan apa yang mungkin adek kamu terima karena gak hamil-hamil setelah nikah beberapa tahun."

"Tapi tolong jangan bawa nyawa lain datang ke dunia ini dengan hal-hal yang dipaksakan, kamu kira bayi tabung manusiawi?? cuma diambil yang dibutuhkan dan dimau, lalu calon bayi yang lainnya? disimpan kalau memungkinkan, kalau gak? sama aja secara gak langsung kita jadi pembunuh Bim!"

✨FLASHBACK OFF✨

IBU-IBU GAULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang