5

49 11 2
                                    

💅🏻 Rasti

Aku mengerjakan mata beberapa kali setelah Inggrid menyelesaikan ceritanya, dia yang bercerita tapi aku yang merasa haus.

Aku menegak beberapa kali es kopi susu ini sebelum menanggapi topik ini "Menurut kamu aku lebay gak Ras?"

"Itu mertua pakai bahas mobil dari papa aku loh, dia masih gak terima kami ambil mobil baru!"

"Dipikiran dia pasti kami banyak uang, atau gak tahu gitu harusnya Bimo tuh minta saran mamanya dulu sebelum ambil mobil, siapa tahu mamanya butuh uang lebih."

"Pertama, aku gak bisa yang komen gimana-gimana Grid, karena dari keluarga aku sendiri gak pernah ada yang progam bayi tabung, tapi emang yang aku tahu itu gak murah."

"Kedua, coba tegas aja deh soal ini ke mereka, uang kalian juga bukan buat memenuhi keinginan adeknya Bimo aja."

"Kalau memang mau punya anak, harusnya sanggupin dulu buat kebutuhan-kebutuhan dasarnya, aku paham maksud kamu kalau mereka beneran nekat bayi tabung, habis uang di awal tapi nanti malah gak bisa menghidupi dengan layak anaknya kan, atau bahkan jatuhnya maksa diada-adakan gitu buat memenuhi perlunya."

"Coba deh Bimo tanya ke adeknya, dia dapat tekanan gak dari pihaknya si cowok buat cepat hamil."

"Takutnya mereka juga ada tekanan dari sana." Imbuhku.

"Sumpah capek banget, kalau gini tuh kadang nyesel kenapa dulu cari suami yang gak yatim piatu aja!"

"Heh!" Aku melotot.

Walau aku paham kenapa Inggrid bisa seperti ini, tapi tetap saja berharap hal-hal yang tidak baik itu sangat tidak disarankan, apa lagi soal umur dan takdir manusia.

"Kayaknya emang basic mertua kamu tuh gitu, sukanya mengada-adakan yang gak ada, gak apa-apa banget kalau usaha sendiri, tapi kalau dikit-dikit gantungin orang lain ya itu yang salah."

"Bimo sebenarnya udah pernah bilang hal ini ke mama sama papanya Ras, tapi kayak ya udah gitu, paham kan? Masuk telinga kiri keluar telinga kanan!"

"Sumpah gemes banget, dia gak lihat apa aku sama anaknya kerja setengah mati demi bisa hidup layak, perkara aku sama Bimo sama-sama gak ada bakat lain selain kerja."

"Udah, intinya tega aja, dan jangan gampang bandingin hidup kamu sama orang lain, termasuk aku!" Aku menegaskan sambil mengelus lengannya.

"Orang mah tinggal lihat hidup aku enak, mertua sama ipar baik, ya emang iya, tapi serius buat di titik ini pun aku sama Raka berjuang habis-habisan kan?"

Aku dan Raka berjuang meyakinkan mama dan papa mertuaku agar tidak sedikit-sedikit membantu kami sejak kami akan lamaran.

Papa dan mama sering sekali khawatir kalau anaknya tidak bisa memberikan hidup yang aman dan nyaman untukku, apa lagi model Raka memang yang sedari awal tidak tergantung dengan gelimangan harta orang tuanya.

Raka memakai kesempatan dari orang tuanya dengan sangat baik dan bijak menurutku, dia menyelesaikan studinya dengan apik dan mantap, mencari kerja tanpa bantuan siapa pun, gaji awal dia juga dulu tidak seberapa tapi langsung bisa dia sisihkan untuk tabungan A,B,C,D.

Dia juga masih menekuni hobinya yaitu melukis, dulu dia suka ambil job untuk mengajar lukis anak-anak usia SD-SMA di sela-sela kerja kantorannya.

Inggrid menghela napas berat kemudian menyesap es kopi susu miliknya.

"Belum lagi kalau pas bapak ibu aku mulai bahas pencapaian mbak mbak aku tuh, aduh pusing sumpah Grid!"

"Terutama ibu aku tuh, gampang banget kalau ngomong, ngapain sih dek capek-capek kerja toh suami kamu tuh anak orang punya, lagian mertua kamu tuh juga gak akan tega kalau kalian kekurangan, mbok ya dicontoh mbak Rani, mbak Ruli bisa banget memaksimalkan keadaan pasangannya."

Mbak Rani, kakak pertamaku kebetulan mendapat mertua yang 2-2nya pensiunan PNS, hidupnya sudah nyaman, dan cukup peduli dengan keluarga kecil mbak Rani, bahkan mereka membelikan mbak Rani mobil baru gres hanya untuk mengantar jemput anak-anaknya.

Mbak Ruli, pekerjaan lancar, mertua baik, punya pabrik sepatu merk lokal yang cukup sukses, tidak pelit dan keluarga mereka bahagia.

Intinya kedua kakak ku ini tidak mudah kepikiran untuk menerima hal-hal baik dari mertuanya. Tidak seperti ku yang selalu tidak enak dengan semua orang terutama kedua mertuaku.

"Iya sih, inget banget tiba-tiba mbak Rani dapat mobil baru dari mertuanya." Inggrid tertawa.

"Ya kan, yang terlihat baik dan menyenangkan masih aja ada kurangnya kok."

"Dan, orang tua tuh bukan dana darurat kita, anak juga bukan dana pensiun kita, ibu aku tuh untung aja besan-besannya udah pada mandiri, coba dapat 1 aja yang gak punya dana pensiun, udah pasti gila kepikiran."

"Thank's ya Ras, kamu selalu ada buat aku sejak kita sahabatan."

"Aku mungkin besok tua bakalan kayak ibu kamu, tapi aku janji akan lebih baik kok, asal kamu sama sama aku terus."

"Apaan sih, jijik, minggirin tanganmu ih!" Aku mengibas tangan Inggrid dan dia malah tersenyum menggoda.

"Jadi si Ben cakep gak?" Dia mengungkit lagi.

"Ini kalau sampai Raka dengar, sumpah ya kamu yang harus jelasin!"

"Dih tuh kan takut dia!"

"Ben siapa?" Suara Raka sudah muncul lagi di antara kami, aku otomatis melotot pada Inggrid, dan dia malah menutup matanya sambil tersenyum.

Aku menendang kakinya dari bawah meja bar ini, aku menurut pertanggung jawaban darinya.

"Yang?" Kini Raka sudah semakin dekat ke arah kamu dan seakan menuntut jawaban dariku.

"Itu loh Ka, orang tua juga di tempat les renang nya anak-anak."

"Terus, dia kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa." Balasku cepat.

"Kalian masih nge review cowok lain lagi? Serius? Setelah kalian sama-sama udah nikah."

"Easy boy!" Inggrid sudah berdiri dari kursinya meminta Raka duduk di tempat yang tadi dia pakai "Duduk dulu, easy, oke?"

"Ngapain bahas si Ben ganteng gak?"

"Kamu chatingan yang sama dia? Duda ya? Deketin kamu? Iya?"

"Apa sih! Gak, tadi Inggrid tuh tanya doang aku dapat kopi dari siapa, aku jawab dari Ben."

"Oh tadi kamu ngopi sama Ben?" Aku mengusap wajahku gemas karena saat ini Raka sudah dalam mode posesifnya.

"Udah diam dulu, aku jelasin!" Kini aku sudah berdiri dan meminta dua orang dihadapan ku ini diam.

"Dia wali murid juga di les renangnya anak-anak."

"Tadi kebetulan dia yang jemput anaknya, dan bawa kopi lebih, mungkin gak enak sama aku kalau dia sendiri yang minum kopi, akhirnya dikasih ke aku satu, udah gitu doang."

"Ngopi di tribun, dan pas itu Inggrid telpon, aku emang pesan kopi sebelumnya ke Inggrid, tapi karena udah dapet dari Ben, ya udah aku bilang gak jadi aja biar dia beneran bisa balik lebih awal."

"Iya Ka gitu." Hanya 3 kata pendek itu yang keluar lagi dari bibir Inggrid.

"Tapi beneran duda kan?" Raka masih belum puas.

"Kayaknya gitu, aku gak tahu banyak juga soal dia yang, ya mana aku tahu."

"Gak ada lagi yang aku harus tahu?"

"Apa lagi sayang? Aku udah cerita semuanya, Inggrid tuh resek kayak gak ada bahan obrolan lain!" Aku menunjuk Inggrid yang sedang menggaruk kepalanya yang aku yakin sama sekali tidak sedang gatal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IBU-IBU GAULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang