11. Distraksi

37 4 8
                                    

Jemima

Gue enggak tahu bermula dari mana hingga situasi ini bisa terjadi hingga sekarang ini.

"Mas Halim itu cowok lo, bukan?"

Dari sekian banyak pertanyaan tidak tertebak yang dikeluarkan Albern, pertanyaan di Bean & Bindings ketika acara Open Mic Night itu benar-benar pertanyaan paling gong.

"Hah? Siapa?"

Gue sampai harus mengulang pertanyaannya sakin kagetnya. Enggak ada aba-abanya banget, sih, Ben?

"Mas Halim." Dengan santainya dia menunjuk punggung Halim di saat gue sudah berusaha menahan raut wajah gue agar tetap terlihat tenang. Aslinya? Udah panik banget gue tiba-tiba ditanya gini.

Ini, gue harus jawab apa?

Lalu gue berusaha memasang senyum jail gue untuk menutupi kepanikan ini. "Menurut lo iya atau bukan?"

Mau gue jawab iya, tapi hati gue meminta untuk jujur aja gak apa banget. Namun, jawab iya pun, gue harus bertanggung jawab atas keasbunan gue. Takutnya berujung baku hantam sama yang naksir Halim kan repot.

Mau gue jawab bukan, setengah hati gue masih belum bisa bilang kayak gitu.

"Ya kalau menurut gue, gue maunya lo emang lagi enggak sama siapa-siapa."

Gue langsung mematung, enggak bisa lagi berpura-pura enggak panik karena wajah gue tiba-tiba terasa panas. Albern hanya menatap gue, tatapannya seakan mengatakan bahwa dia akan menunggu jawaban gue. Matanya terkunci menatap gue sehingga gue enggak punya ruang untuk menghindar.

Lalu sebaris kalimat terucap begitu saja dari bibir gue. "Sir Halim temen deket gue kok, gue lagi gak sama siapa-siapa."

Kini gue bergantian menatapnya. Entah dari mana datangnya keberanian ini, kalimat gue enggak berhenti sampai di situ aja. "Lo sendiri?"

Mima, Mima, ada gila-gilanya juga lo berani tanya begini.

Kini reaksi yang dia keluarkan sama persis seperti gue tadi. Wajahnya terlihat kaget, di juga enggak menyangka gue akan bertanya begitu. Ya jangkan dia, gue aja kaget bisa-bisanya gue berani tanya hal kayak gitu.

Dia tersenyum kecil ke arah gue sebelum menjawab. "Same as you."

Dari malam itu, udah terhitung hampir dua bulan hidup gue mulai dipenuhi oleh Albern.

Kedatangan Albern yang tiba-tiba di hidup gue. Bagaimana gue berkenalan dengannya lewat cara yang unik saat di galeri. Kehadirannya di sela-sela kesibukan gue yang masih harus mengajar les atau pun menyusun materi untuk murid-murid. Kemunculannya yang tiba-tiba di depan rumah dengan sekantong makanan yang dia bawa.

Distraksi? Kalau bisa gue sebut sebagai distraksi, maka gue enggak bisa membohongi diri untuk bilang gue sama sekali enggak nyaman akan distraksi ini.

Sebab, gue enggak pernah menyangka eksistensi Albern yang gue kira hanya akan sebentar dan menghilang malah berubah menuju konstan.

Damn, I cannot lie. I am starting to like his presence in my life.

Gue mulai takut dengan pikiran itu.

Gue harus sadar diri, gue enggak bisa seenaknya melupakan fakta bahwa hubungan bertahun-tahun gue dengan Ko Gerald itu baru berakhir beberapa bulan saja. Dan kalau gue ingat akan hal itu, hati kecil gue seakan memberi tahu,

"Gue kayaknya enggak pantes kayak gini. Gue takut kalau memulai yang baru, gue harus mengulang semua itu untuk kedua kalinya."

Tapi, sisi egois gue kadang kala akan bersuara, gak ada salahnya memulai yang baru. Gue layak dan pantas akan hal itu setelah apa yang gue lewati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dissonance: Contra SomniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang