Prolog

23 6 1
                                    

Nora termangu memperhatikan orang-orang yang sedang berlalu lalang dari atas rooftop. Berdiri di atas sana membuatnya dapat melihat orang-orang yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, kebanyakan nampak melakukan hal yang serupa. Mereka semua nampak manis dengan senyuman yang merekah dan pakaian indahnya. Mengobrol dan berfoto bersama, mengabadikan momen kelulusan dengan penuh bahagia.

Euforia perayaan wisuda membuat Nora membayangkan dirinya jadi bagian dari orang-orang di sana. Tersenyum mengenakan toga dan merayakan kebahagiaan bersama keluarga tercinta. Sebagai mahasiswa akhir, pikirannya campur aduk. Tak menyangka kalau sebentar lagi dirinya akan segera merasakan hal itu juga. Ia senang, sangat senang. Namun juga khawatir, takut kalau terjadi hambatan yang menganggu prosesnya.

Nora menggeleng cepat. Berusaha tak merusak suasana indah ini dengan pikiran buruknya.

Saat itu matahari sedang menampakkan dirinya tepat di tengah-tengah langit. Membuat hawa panas benar-benar menyengat kulit. Nora mengkibas-kibaskan tangannya, lalu kembali memperhatikan orang-orang yang masih sibuk berbahagia meski diterpa angin panas yang menyengat.

"Nora!" panggil seseorang dari belakang.

Nora menoleh. Ia memperhatikan laki-laki yang sedang berdiri diambang pintu sambil tersenyum lebar. Tangannya diletakkan di belakang, seperti menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

"Toganya di mana, Rel?" tanya Nora, "kok ga di pake?"

Laki-laki yang kini berbalut batik itu berjalan pelan menghampiri Nora yang menatapnya kebingungan. "Ada di motor."

Nora ber-oh ria. Merasa curiga pada sikap aneh temannya itu, tapi berusaha tak mempedulikan dan kembali menatap ke bawah.

"Oh iya, congrats ya." Nora menatap Narel sambil tersenyum lembut. Menatap manik coklat tua milik laki-laki yang kini ikut bersandar di tembok tinggi rooftop itu.

"Thanks." Narel terkekeh sambil menatap taman di bawahnya yang sedang ramai orang.

Nora berdeham. "Gimana sama tawaran papa?"

"Ga tau, sejujurnya gue sendiri masih nyaman kerja di resto mama lo."

"Tapi kalo di tempat papa gajinya lebih baik, bisa dipake nabung buat masa depan. Apalagi jurusan lo kan emang sesuai sama posisi yang papa tawarin."

"Iya." Narel tersenyum simpul. Sejujurnya ini bukan momen yang tepat untuk membahas pekerjaan. Saat ini ia hanya ingin menikmati kebahagiaan, hal yang jarang hadir di kehidupannya. Namun ia pun segan pada Nora, membuatnya hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

"Tangan kiri lo kenapa?" Tanya Nora yang menyadari kalau sedari tadi Narel terus berusaha menyembunyikan tangan kirinya.

"Hah?" Narel melotot panik. "Nggak, gapapa."

Nora menatap Narel curiga.  Ia berusaha melihat kedua tangan Narel yang kini disembunyikan dibalik punggungnya. Nora yang merasa geram pun berusaha menarik tangan Narel untuk memastikan apa yang terjadi. Betapa terkejutnya kala ia menemukan seikat bunga mawar putih ditangan Narel. Nora menatap bingung pada Narel yang nampak panik. Laki-laki itu menggigit bibir bawahnya, membuat kepanikannya semakin nampak jelas.

"I-itu, itu buat lo..."

"Buat gue?" Nora menatap seikat bunga mawar putih yang Narel sodorkan padanya itu sambil menunjuk-nunjuk dirinya dengan telunjuknya.

Narel mengangguk.

Nora terpaku, bingung akan apa yang terjadi saat ini. Tapi beberapa detik kemudian senyuman mulai terukir di wajahnya. Nora menerima mawar tersebut dan mencium aroma wangi bunga favoritnya itu.

"Pantesan ada bau mawar, gue kira lo ketempelan parfum cewek."

Narel tertawa, kepanikan pun sontak hilang dari wajahnya. Perkataan gadis itu terdengar aneh sekaligus lucu di telinganya. Nora menatap kesal Narel. Merasa tak suka dengan tawa tak jelas Narel yang seakan merusak suasana.

"Sorry."

Wajah Nora tiba-tiba berubah, menyadari sesuatu hal yang tak biasa. "Kenapa tiba-tiba kasih bunga? Kan lo yang wisuda."

"Because I love you, Ra."

"Hah?" Nora melotot, tak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Perasaan aneh pun tiba-tiba muncul di hatinya.

"I love you, Nora." Ulang Narel sambil menatap balik Nora yang malah memalingkan wajahnya. Membuatnya terlihat sedikit kecewa karena reaksi Nora yang tak sesuai harapannya.

"Are you serious right now?" Nora menatap Narel, seakan meminta kejelasan.

"Aku serius, Ra. Aku suka sama kamu." Jawab Narel. Keseriusan benar-benar nampak di wajahnya. Ia masih berdiri kokoh menatap Nora. "It's okay kalo lo nggak ngerasain hal yang sama. Gue cuma mau mengakui hal yang udah gue pendam sejak dua tahun ini aja."

Nora tau kalau laki-laki itu memang selalu serius dengan perkataannya. Namun entah kenapa ia masih sulit untuk percaya dengan hal mengejutkan ini.

Nora menggeleng kecil. "Nggak kok, aku juga." Ia berjalan satu langkah mendekati Narel dan berkata, "kita ngerasain hal yang sama, Rel. I love you too."

Wajah Narel yang awalnya lesu pun berubah seketika. Senyum sumringah hadir di wajahnya. Matanya berbinar menatap gadis di hadapannya. Terlebih kala tubuh Nora secara tiba-tiba menghampiri tubuhnya dan memeluknya erat.

"I love you, really really love you." Ucap Nora dengan suaranya yang gemetar. Ia hampir menangis, tak menyangka laki-laki yang ia suka sejak tiga tahun yang lalu itu pun menyukainya, bahkan menyatakan perasaan padanya. Membuat hari Senin yang biasanya melelahkan menjadi indah. Membuat panas menyengat menjadi dingin sejuk yang menenangkan.

Mungkin hari ini akan menjadi hari Senin terindah yang ada di hidup Nora.

"So, Will you be my girl?"

Nora mengangguk sambil tersenyum lebar dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Yes, I will."

HARI SENIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang