1.2 Elfan Si Penyelamat Hari

12 4 0
                                    

TW// harsh words.

"Gila lu!"

Satu tamparan keras baru saja menghampiri pipi Tama. Meninggalkan bekas merah di sana. Tama menatap tajam Narel, orang yang menamparnya tadi. Pria itu nampaknya tak merasa bersalah pada bekas merah di wajah Tama. Keduanya bertatap mata cukup lama. Tangan mereka sama-sama dikepal. Yang satu nampak seperti berusaha meredam amarah, sedangkan yang satunya malah nampak seperti mempersiapkan energi untuk bertarung.

Nathan panik, tak tau bagaimana cara untuk melerai mereka. Laki-laki yang tadi menghubungi Narel untuk mengadukan Tama yang berbuat aneh-aneh itu menyesal. Niatnya supaya sahabatnya itu bisa pulang dan tak jadi ikut balapan, tapi malah kini mereka jadi bahan tontonan orang banyak. Tak ada yang membantu melerai pula.

"Jangan nyusahin gua mulu lah, capek gua!" Narel membuka suara, mengutarakan perasaannya yang sudah lama ingin diungkapkan.

"Gue ga ada nyuruh lu buat ngurusin gue, anjing!" protes Tama yang tak setuju dengan ungkapan Narel barusan yang terdengar seperti dia adalah beban, padahal sejak dulu dia sudah mengatakan pada Narel untuk tak mempedulikannya.

"Kalo bukan karena permintaan ibuk, gue juga ga akan mau ngurusin beban kayak lo."

"Tap-"

"Udahlah, Tam, udah," pinta Nathan pada Tama yang hampir kembali bersuara. Kalau tak dilerai sekarang, yang ada perdebatan ini akan berakhir dengan perkelahian seperti sebelum-sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya Nathan jadi penengah antara kakak adik itu, tapi rasanya dia masih belum cukup beradaptasi. Ia masih selalu panik tiap kali kejadian seperti ini terjadi.

"Lu kalo mau balapan silakan, tapi jangan minta bantuan gue kalo lo ketangkep," tegas Narel.

Narel menatap orang-orang yang sedari tadi mengerumuni mereka. "Bodoh kalian, balap liar jam segini."

Ia berbalik badan, pergi menjauh dari sana. Meninggalkan Tama dan Nathan yang masih menjadi tontonan. Tak mempedulikan teriakan-teriakan ricuh yang ditujukan padanya akibat ucapan terakhirnya tadi. Tangannya memutar kunci yang sejak tadi masih terpasang di motornya. Lalu mulai melaju kencang menjauhi jalanan yang jadi arena balap liar itu.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak ikut campur urusan Tama lagi. Toh Tama sendiri yang memintanya.

Setelah tiga puluh menit lebih di jalanan, akhirnya Narel sampai di rumahnya. Matanya menyipit, ia nampak melihat sesuatu di pintu rumahnya. Namun matanya yang tak sehat itu tak bisa melihat jelas apa itu. Ia pun mendekat. Ditemukannya sebuah plastik hitam yang tergantung di gagang pintu. Akhirnya ia pun membawa plastik itu ke dalam.

"Aduh, bodoh!" Narel memukul pelan dahinya. Ia baru teringat tentang perilakunya pada Nora tadi setelah melihat kue yang ada di dalam kresek hitam itu. Pasti ngambek ini, batinnya.

Narel merogoh saku celananya, berusaha mengambil ponselnya guna menelpon Nora untuk meminta maaf.

Narel mulai memencet tombol telepon di nomor Nora. Ponselnya sudah diletakkan di samping telinga, bersiap untuk mendengar suara kekasihnya. Namun sayangnya tak diangkat. Bahkan sudah dicoba berkali-kali, tapi tetap sama. Tak ada balasan dari seberang sana. Membuatnya menghela napas pasrah. Ia tau, kini Nora dekat dengan ponselnya, tapi tak mau mengangkatnya karena marah padanya. Ia sudah cukup hapal dengan gadis itu.

Biasanya kalau Nora marah seperti sekarang ini, Narel akan mendiamkan Nora balik selama beberapa waktu. Setidaknya satu hari. Mengapa? Karena Narel ingin gadis itu tenang terlebih dahulu. Lalu nantinya setelah Nora bisa diajak bicara, ia akan meminta maaf dan mengajaknya berjalan-jalan. Hal itu selalu berhasil dilakukannya, jadi untuk yang kali ini ia akan melakukan hal yang sama.

•••

Di sinilah Nora berada sekarang, di sebuah cafe minimalis yang dihiasi oleh banyak tumbuhan hijau. AC tak terpasang di sini, digantikan dengan angin sepoi-sepoi yang hadir dari jendela-jendela besar yang terbuka lebar. Para dedaunan menari dengan iringan gelak tawa para pengunjung.

Tadi dirinya tak sengaja bertemu dengan teman SMP-nya-Elfan-yang akhirnya mengajaknya untuk pergi ke cafe miliknya ini untuk mengobrol.

Tangan Nora menggapai segelas teh hijau pesanannya yang baru saja datang. Tanpa berlama-lama, Nora langsung menyesap teh hangatnya itu.

"Humm!" Nora melotot kaget setelah meneguk minuman itu. Dari sekian banyak teh hijau yang ia coba, yang kali ini benar-benar sangat mengagumkan. Meskipun baginya tetap teh hijau buatan ibu yang paling nikmat, tak ada yang bisa mengalahkan teh buatan ibunya.

"Gimana? Enakkan?" tanya Elfan meminta pendapat Nora tentang menu favorit di cafe-nya itu. Ekspresi Nora sebenarnya sudah cukup menjelaskan, tapi dia juga perlu mendengar pengakuan Nora si pecinta teh hijau itu.

"Gila, enak banget, El!" seru Nora. Ia menatap teh ditangannya dengan kagum, merasa bersyukur dapat mencoba minuman nikmat itu. "Thanks sih udah di traktir."

"Yoi." Elfan tertawa senang. "Eh, btw sekarang ini lo lagi sibuk apa?"

"Sibuk ngoreksi ulangan, gue jadi guru sekarang."

"Ha?" Elfan mendekatkan telinganya pada wajah Nora. Penuturan Nora tadi sudah cukup terdengar, bukan suara yang Elfan permasalahkan, tapi tentang apa yang Nora katakan.

Guru? Annora Trisha Chalis kini menjadi guru? Apa mungkin? Elfan bertanya-tanya dalam hati.

"Apasih, gitu banget reaksinya!" Kesal Nora.

"Katanya dulu ga mau jadi guru, gimana sih lu!"

Nora menaikkan kedua bahunya sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu kembali menyeruput tehnya. Ia tak mempedulikan Elfan yang masih bertanya-tanya mengenai profesi gurunya itu.

"Tapi ya, cape banget ngurusin anak-anak gitu." Nora kembali membuka suara.

Elfan mengerutkan keningnya. "Emang lo guru apaan?"

"Guru SD."

"Speechless gue." Lagi-lagi Elfan terkejut. Dulu saat mereka masih SMP, ia ingat sekali kalau Nora mengatakan kalau ia sangat-sangat tak ingin jadi guru. Ia juga ingat kalau teman masa SMP nya itu sangat membenci anak-anak karena katanya mereka selalu berisik. "Apa ga stress lu tiap hari?"

"Kadang iya sih. Tapi ya, sejujurnya jadi guru ternyata ga seburuk itu. Ga seburuk apa yang gue pikirin dulu."

"Mungkin karena murid lo ga sebandel kita dulu." Tebak Elfan.

"Iya lah, kalian mah bandelnya tingkat lanjut. Gue sebagai ketua kelas capek banget kena mulu, masih dendam gue!"

"Parah lu, ikhlasin lah."

"Gila, susah ikhlasnya!"

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mengingat kisah-kisah unik masa SMP membuat keduanya merasa senang, rindu, sedih, sekaligus menyesal atas ragam hal yang telah mereka perbuat.

Bagi Nora sendiri, masa SMP sebenarnya lebih menyenangkan daripada masa SMA. Mungkin karena memang dulu di masa SMP ia masih benar-benar menikmati kehidupan remajanya, sedangkan di masa SMA ia benar-benar fokus pada pendidikannya. Hingga akhirnya tak sempat untuk menikmati masa SMA yang harusnya jadi masa-masa penuh memori.

Nora menyesal, tapi tak sepenuhnya menyesal. Mengapa? Sebab dirinya yakin kalau ia akan jauh lebih menyesal jika kini ia tak tau banyak tentang ilmu.

•••

Halo, apa kabar?
Bagaimana dengan update-an kali ini?
Kalau mau, boleh dong kasih pendapatnya, hehe.

Oh iya, maaf untuk yang balapan ya, aku nggak terlalu ngerti apakah memang ada yang balapan di bawah jam 10. Maaf juga pokoknya untuk hal semacam itu (nanti akan hadir beberapa karena memang Tama sedikit bandel, hehe) yang mungkin memang agak nggak sesuai kenyataan karena belum cukup informasi. Aku usahakan untuk banyak-banyak baca di internet.

Terima kasih sudah baca, see you di update-an selanjutnya! 💗

HARI SENIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang