Antara Tua dan Tua

247 23 8
                                    



Seperti membuka luka lama, kata wanita itu.
Janu tidak tahu bahwa dia bisa selancang itu pada Arumi. Hanya karna mereka terlihat seperti berpacaran bukan berarti dia bisa bertanya hal-hal yang mungkin saja tidak mau dibahas oleh Arumi.

Janu merutuki dirinya sendiri, satu bungkus rokok dia habiskan dalam waktu kurang dari satu jam. Dalam pikirannya, Arumi meliuk-liuk bagai ular phyton yang siap memecahkan otaknya. Ia pun sebenarnya kebingungan dengan reaksi Arumi minggu lalu, bagaimana nama pria itu bisa membuatnya begitu marah tanpa alasan, tanpa penjelasan apa pun terhadapnya.

Apakah Janu tidak pantas dapat penjelasan?

Janu merenung sendirian, memandangi bulan yang sedang terang-terangnya seperti meledeki Janu yang mukanya kusut masam serta kebingungan. Nada dering ponselnya yang bergetar dalam saku membuatnya berdecak kesal, sumpah, dia sedang malas sekali untuk bicara, dengan siapapun.

Malas-malasan tangannya merogoh saku, lalu refleks menegakkan badan ketika tahu nama siapa yang tertera di ponselnya.

"Dimana kamu?"

"Siap di barak, Ndan!"

"Kesini, sama tim-mu."

"Siap!"

Panggilan diputus. Janu meluncur secepat kilat.

————————————————————————

Sebenarnya Janu ingin menepati janjinya untuk selalu memberitahu Arumi kemanapun dirinya melangkah, tapi mengingat keadaan mereka sekarang, Janu ragu-ragu.

Di depan kamar kost Arumi, Ia mematung, tangannya terkepal terangkat lurus di depan pintu sejak lima menit lalu tapi tidak kunjung punya keberanian untuk mengetuk pintunya. Tangannya turun, lalu naik lagi, lalu turun lagi. Mengulang-ulang kegiatan sepele yang konyol, dia seperti keledai bodoh sekarang, menatapi pintu kayu dengan perasaan yang berdebar. Tangannya naik lagi, kali ini dengan perasaan yang lebih yakin.

Tapi telat, Arumi membuka pintu duluan memandanginya seperti orang aneh yang terkaget-kaget.

"Aku...Aku mau pergi." Jujur Janu tidak sanggup menatap mata wanita itu, dia terlalu takut, seperti ada ribuan belati yang siap menancap di kepalanya sendiri jika dia kelepasan lancang lagi.

Lama, Arumi tidak menanggapi. Janu melirik kantong sampah di tangan kiri wanita itu.

"Kemana?"

Janu bukan tidak mau menjawab tapi dia tidak bisa menjawabnya.

Hening lagi.

"Berapa lama?"

Sayangnya Janu juga tidak bisa menjawabnya. Pria itu bernafas dengan gusar, nafasnya satu-satu dan berat-berat.

Janu dan Arumi tidak saling memandang, mata keduanya sibuk mengalihkan dari masing-masing. Janu yang pengecut hanya berani memandangi dua sepatu bootnya yang sejajar, seperti seorang murid yang mendapat hukuman karna berisik di kelas. Sementara Arumi, daritadi matanya tidak lepas dari baret merah Janu yang tersampir di pundak pria itu.

"Kembalilah dengan selamat dan utuh." Ada getaran yang samar dalam kalimat Arumi yang membuat Janu sedikit berani untuk mengangkat wajahnya.

"Boleh aku memelukmu?" Janu mendapat anggukan sebagai jawabannya. Pria itu mendekat, menghapus jarak antara keduanya, meski tidak dapat balasan karna tangan Arumi yang sibuk memegang kresek sampah, Janu sudah cukup merasa puas.

Ketenangan di hatinya sudah ia peroleh sebagai bekal tugasnya yang entah kapan selesai, sebagai pengantar kepergiannya yang entah akan pulang atau tidak.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang