Anak-Anak Negeri

205 21 11
                                    



Janu terdiam, menatapi riak-riak kubangan air hujan bercampur tanah lumpur di depannya. Sudah empat hari berkelana di hutan yang tidak berujung, badan remuk redam, kaki serasa akan copot dari badan.

Hari sudah siang, tapi mendung yang menggumpal-gumpal menjatuhkan air mata langit tidak habis-habis sejak tadi, membuat mereka seperti melewati malam yang panjang sekali sebab hutan yang gelap tidak ada bedanya dengan malam tadi yang sama gelapnya.

Janu melirik Yudhistira yang tidur di atas bongkahan batu besar di sampingnya, wajahnya tertutupi luaran seragamnya menghindari tetesan hujan yang akan jatuh pada mukanya atau masuk ke dalam hidungnya yang agak mekar. Pria itu sedang bersedih hati, sebab sebelum kesini dia bercerita bahwa ia sedang bertengkar dengan pacarnya, sama halnya dengan Janu, yang beda, Arumi bukan pacarnya.

Tidak ada rasa dingin, kulit-kulit mereka sudah menebal dengan cuaca, sama seperti tebalnya muka para petinggi negeri yang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki di bawah kantor ber-ac bergaji tinggi, uang yang mereka raup dari rakyat diambil untuk pribadi sebanyak-banyaknya padahal kerjanya hanya mengkhianati rakyat.

Sementara dia dan teman-temannya yang bertaruh nyawa demi Pertiwi hanya di upahi seharga kaos kaki bermerk yang dipakai oleh anak-anak pejabat. Bukan, bukan dia gila harta atau apa, Janu hanya merasa ingin muntah, kenyang oleh rasa sebal melihat semua yang sedang terjadi pada Negeri, sementara para perut buncit berdasi tidak mau peduli selain memperkaya diri sendiri.

Janu menoleh, lamunannya buyar ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Oi Kapten." Lettu Putu Chandra, mengambil duduk di samping batu berujung lancip.

Janu hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman yang selaras. Putu Chandra lebih tua sedikit darinya, tapi pangkatnya lebih rendah satu tingkat, Letnan Satu.

"Wah, pantas saja followersmu banyak, kau lebih cocok tersenyum di depan kamera daripada jadi tentara, Kapten!" Janu tidak tahu itu pujian, gurauan, atau malah penghinaan?

Lagi lagi dia hanya menanggapi Putra Dewata itu dengan senyuman tipis.

"Kau punya pacar Kapten? mau ku kenalkan dengan adikku? dia cantik, ada di atas langit." Satu telunjuk Putu Chandra mengarah keatas, menunjuk langit kelabu yang menyembul di tengah-tengah lebatnya pepohonan.

"Adikmu sudah mati?" Janu bertanya, dihadiahi satu tepukan keras di punggungnya yang membuatnya terhuyung kedepan.

"Pramugari!"

Janu menggeleng tak minat. "Tidak."

Putu Chandra mengangguk dengan bibir mencebik, kecewa karna tidak jadi memiliki adik ipar dengan pangkat lumayan tinggi di umurnya yang masih cukup muda, padahal dia sudah membayangkan bagaimana enaknya punya 'orang dalam' dia bisa meminta untuk dipromosi lebih cepat, karna yang dia dengar Ayah sang Kapten juga salah satu petinggi TNI.

Mereka berdua sama-sama diam karna tidak ada topik pembicaraan dan hal yang mesti dibicarakan lagi. Hanya ada bunyi satu dua burung liar hutan dan keletukan bunyi senjata api jarak jauh yang sedang diutak-atik oleh Aditama dan Antasari yang membantunya.

Insting seorang prajurit tidak bisa diragukan, saat dia dan Putu Chandra menoleh bersamaan pada sisi kiri tubuh mereka, mendapati rumput yang sejauh sepuluh meter dari tempat mereka beristirahat tiba-tiba bergerak mencurigakan.

Pergerakan secuil apapun tetap berarti bagi para tentara. Bahkan rerumputan yang bergoyang bagi mereka adalah penentu antara hidup dan mati, kabar baik kabar buruk, pulang badan atau pulang nama. Janu memasang situasi awas, memberi isyarat pada 10 orang yang jadi regunya di belakang untuk waspada.

JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang