“AH, kepalaku..” Hayoon terbangun ketika sebuah sinar terasa menusuk iris matanya. Ia lantas memegangi kepalanya yang terasa pengar. Sebenarnya berapa banyak ia minum semalam?
“Sudah bangun?” Hajun melemparkan tatapan tajam pada Hayoon.
“Ah, kau mengejutkanku!” Hayoon melempar bantal ke arah Hajun yang kini berdiri di depannya. Hajun balas melempar bantal itu dan tepat mengenai wajah adiknya.
“Aish! Kenapa kau membuat keributan di pagi hari begini?” Hayoon mendesis kesal.
“Kau ini bodoh atau bagaimana?”
Hayoon membelalakkan mata mendengar kakaknya yang tiba-tiba mengoloknya. “Hei! Choi Hajun! Kau sudah bosan hidup, ya?”
Hajun mendengus seraya memalingkan wajah. Ia mengambil sup ikan pollock di meja belakangnya. Lantas meyerahkannya pada Hayoon.
“Kau kan polisi, bisa-bisanya kau mabuk separah itu semalam. Apa kau tahu kalau perbuatanmu itu sudah mempersilakan musuhmu menyerangmu dengan perilakumu kemarin?” omel Hajun. Sementara yang diomeli justru menutup telinganya dengan bantal.
“Ah, sudahlah! Semalam aku juga tidak sengaja minum,” elaknya.
“Dasar anak muda ini!!” Hajun menggeram kesal. Ia lantas meletakkan nampan dengan sup ikan pollack itu tepat di hadapan Hayoon. “Awas saja kalau kau tak menghabiskannya! Kau yang kuhabisi!” bentak Hajun sebelum benar-benar pergi dari kamar Hayoon.
“Ah, orang gila itu. Kenapa harus mengomel sambil membawakan sup? Aku jadi bimbang harus terharu atau marah,” gumam Hayoon. “Ah, lagi pula aku sedang cuti beberapa hari ini. Jadi, biarkan aku menikmati hidup yang sementara ini.”
Hayoon lantas menghela napas berat. Lebih tepatnya ia bukan cuti, tapi ia sedang menjalani masa disiplin karena telah berani melawan dan menimbulkan keributan dengan seniornya. Hayoon tak ingin kehilangan pekerjaannya, karena itu ia ingin menjalani masa disiplinnya dengan baik, tapi semalam entah angin dari mana yang membuat kebiasaan mabuknya semasa kuliah kembali. Apa karena ia kembali minum dengan Nara setelah sekian lama? Ah, entahlah. Hayoon tak ingin memikirkan hal-hal itu sekarang. Kepalanya terasa berat. Memang seharusnya ia meminum sup ikan pollock dulu.
Hayoon memandangi sup ikan pollack itu, lalu mulai melahapnya. Belum ada tiga detik sup itu masuk ke dalam mulut. Hayoon kembali menyemburkannya. “Wahhh!! gila sekali?! apakah dia membuatnya sendiri?” Hayoon kembali memandangi lamat-lamat sup di tangannya. “Padahal penampilannya terlihat bagus, tapi kenapa rasanya asin sekali? Apakah dia menaburkan sebungkus garam ke dalam satu mangkuk?” Hayoon masih menggerutu sendiri, tak habis pikir dengan masakan kakaknya.
-oOo-
H
ayoon memutuskan untuk keluar dan berbelanja, sekalian mencari udara segar agar pikirannya terjernihkan kembali. Entah kenapa, ia mengingat sepotong kejadian semalam. Namun anehnya kenapa ada sekelebat wajah Hyuntae dalam ingatannya semalam. Ia ingin menanyakan kebenarannya pada Nara, tapi anak itu sedang sibuk dengan pemotretannya sekarang.
“Hayoon-ah! Kau tidak bekerja?” Hajun tiba-tiba datang dengan mengenakan jas—bersiap untuk berangkat.
Hayoon menggeleng.
“Haah.. bagaimana kau bisa naik pangkat, kalau kau mengambil cuti terus?” Hajun lantas memberikan dasi kepada Hayoon. Hayoon menatap Hajun penuh tanda tanya—tak mengerti apa motif kakaknya memberikan dasi itu padanya.
“Pakaikan,” jawab Hajun seraya bersiap mengenakan sepatu. Alih-alih memakaikannya Hayoon justru menyabetkan dasi itu pada Hajun.
“Aish! Dasar anak manja! Memangnya kau masih bayi?!”
“Aku kan tidak bisa serapi dirimu kalau memakainya,” bela Hajun.
“Apa kau juga akan menyuruh-nyuruh istrimu seperti ini? Aigoo, aku merasa kasihan pada Nara yang menyukai orang sepertimu,” Hayoon menyabetkan dasi itu sekali lagi, lantas melemparkannya. “Kalau tidak bisa memakainya, lepas saja! Dasar bodoh!”
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa kalian berdua ribut-ribut?” Yoon Ae yang merupakan ibu dari Hayoon dan Hajun muncul ketika mendengar keributan anak-anaknya.
“Anak manja ini berulah lagi,” jawab Hayoon.
Hajun lantas mendelik tak terima, “Hei, dari tadi yang teriak itu dirimu,” sergahnya.
“Terserah,” Hayoon melengos, kemudian menatap ibunya. “Eomma! Aku pergi dulu.”
“Hati-hati,” jawab Yoon Ae. Wanita paruh baya itu lantas beralih ke arah Hajun. “Kau ini suka sekali menjahili adikmu. Sudah tau kalau dia tak suka mengalah.”
Hajun tertawa kecil, kemudian termenung. “Sifatnya itu masih sama aja seperti dulu." Dia mulai mengenakan dasinya sendiri, "..aku melakukannya karena akhir-akhir ini anak itu kembali murung,” jawab Hajun.
“Eomma, aku harap kejadian bertahun-tahun lalu tidak kembali merenggut kebahagiaan Hayoon,” lanjutnya.
-oOo-
Langkah Hayoon terhenti di antara pepohonan magnolia yang menebarkan keharuman. Ia mengadahkan tangan berharap salah satu dari kelopak bunga itu jatuh di tangannya tanpa sengaja. Sayangnya, tak ada satu pun kelopak bunga yang jatuh di tangannya. Hayoon lantas kembali berjalan di antara kelopak merah muda yang beterbangan terembus angin. Tanpa sadar ia telah tiba di area pembangunan bekas tempat tinggalnya dulu.
Hayoon mematung. Pikirannya kosong. Kenapa ia berjalan ke tempat ini? Ia tak pernah tahu jawabannya. Namun, entah karena ia terlalu rindu atau sekedar fatamorgana. Ia kembali melihat Hyuntae melintas di depannya. Tanpa pikir panjang, Hayoon pergi mengejarnya. Ia benar-benar tak ingin menyia-nyiakan waktu selama ini. Setidaknya ia masih percaya bahwa Hyuntae masih ada di suatu tempat di tengah belahan dunia ini. Hyuntae masih bediri di sana—menunggunya untuk kembali merayakan ulang tahun dan hari penting bersama.Bukankah Hyuntae sendiri yang berkata bahwa ia suka dirayakan, karena artinya ia masih berarti bagi orang lain.
Hyuntae, aku sangat merindukanmu
Bayangan Hyuntae menghilan di tengah kerumunan trotoar. Lagi-lagi tanpa pikir panjang, Hayoon berjalan menembus trotoar tanpa mempedulikan lampu hijau yang menyala saat ia mencapai tengah. Suara decitan mobil lantas menyadarkannya, Hayoon masih melihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Sebelum akhinya sebuah tangan menariknya ke jalanan. Tubuh mereka bertemu. Hayoon dapat merasakan kepalanya terbentur dada bidang orang yang menyelamatkannya. Hayoon mendongak. Orang yang lebih tinggi darinya itu masih menatap tajam mobil yang melaju kencang dan nyaris menabraknya. Hayoon benar-benar dibuat mematung oleh pemandangan di hadapannya. Orang itu menunduk—memastikan keadaan Hayoon.
“Apakah anda baik-baik saja?” tanyanya.
Hayoon masih mematung. Air matanya mulai menggenang. Lantas setelah mengumpulkan kesadaran Hayoon membuka suara.
“Hyuntae-ah? Bagaimana kabarmu?” Keduanya bersitatap.
“Aku merindukanmu,” lanjut Hayoon.
◦•●◉✿LIMBO✿◉●•◦
•
•
•
[Thanks]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙇𝙄𝙈𝘽𝙊
Fanfiction"Apa Noona tahu hal yang lebih menyesakkan dibanding bertepuk sebelah tangan? Rasa kita sama. Namun semesta tak menghendaki kita untuk bersama." ~𝓚𝓪𝓷𝓰 𝓗𝔂𝓾𝓷𝓽𝓪𝓮 ~ Hayoon dan Hyuntae bertemu di usia mereka yang masih sangat muda. Keduanya te...