4. The Secret

6 2 0
                                    

"KWON Yoonjae!! pimpinan memangilmu—omo! Siapa perempuan ini?"

Laki-laki yang dipanggil Yoonjae menoleh, kemudian mengibaskan tangan-mengisyaratkan orang yang memanggilnya untuk pergi.

"Aku akan segera ke sana setelah ini," ucapnya.

Setelah memastikan tak ada orang di sekitarnya. Laki-laki itu lantas membopong wanita yang baru saja ambruk di dadanya. Wajahnya yang memerah semakin terlihat jelas dalam posisi ini. Sepertinya wanita ini benar-benar mabuk.

Yoonjae lantas kembali ke ruang makan untuk mengembalikan wanita itu kepada temannya. Namun, teman yang bersama wanita ini sudah tidak ada di sana. Ia terpaksa menggeledah tas wanita itu untuk memastikan alamat rumahnya. Setelah di dapat, ia kemudian membawanya ke mobil dan mengantarnya.

Baru saja ia meletakkan wanita itu di kursi penumpang, wanita itu sudah bergumam tak jelas. Sesaat kemudian tubuhnya dibuat membeku ketika wanita itu menggumamkan nama seseorang. Satu-satunya ucapan yang keluar dengan jelas dari bibir wanita itu saat ini.

"Hyuntae-ah.. Apa itu kau?" wanita itu berhenti. Setetes air melewati pipinya yang putih, membuat garis di sana.

"Maafkan aku," lirihnya. Kemudian terisak.

Yoonjae terdiam. Wanita itu terlihat sangat kesakitan sekarang. Ia memalingkan wajah, kemudian mulai menyalakan mobilnya. Sepenasaran apapun ia harus bisa menahannya, karena mau bagaimana pun juga, keduanya hanyalah orang asing.

~~~

"Permisi." Yoonjae menepuk bahu wanita itu untuk membangunkannya.

"Apakah benar ini komplek rumah anda?" tanyanya saat wanita itu mulai mengerjapkan mata. Tak ada jawaban. Wanita itu masih memerlukan waktu untuk membiasakan matanya terhadap pencahayaan sekitar.

Kemudian Yoonjae dikejutkan dengan perubahan refleks wanita itu secara drastis. Wanita itu tiba-tiba membuka matanya dengan lebar dan bangun dari tidurnya. Belum sempat Yoonjae mencerna kejadiannya, isi perut wanita itu sudah lebih dulu membasahi jas yang ia kenakan. Wanita itu tersadar.

“Oh? maaf maaf. Aishh, aku terlalu banyak minum lagi.” Ia mengusap jas yang terkena muntahannya itu berulang, karena terlalu panik wanita itu berniat untuk melepas jaket yang dikenakan Yoonjae, “Biar saya cucikan jaket anda.”
Yoonjae menahan si wanita dan membuatnya kembali tersadar akan perilakunya yang keterlaluan. “Ah, maaf—”

“Malam semakin larut, apa anda tidak akan pulang?” tanya Yoonjae.

“Ah, benar! tapi bisakah anda melepas jas yang anda kenakan. Saya akan merasa bersalah seumur hidup jika tidak bertanggung jawab pada perbuatan saya.”

Yoonjae terdiam sejenak. Memandangi jas nya yang dipenuhi muntahan wanita di depannya. “Baiklah,” Yoonjae melepas jas dan menggulungnya. Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menyerahkan kartu nama pada wanita itu. “Anda bisa menghubungi saya kapanpun saat anda ingin mengembalikannya.”

-oOo-

Beberapa saat sebelumnya… .

Hari mulai larut, tapi Hajun masih berkutat dengan berkas-berkasnya. Belakangan ini banyak orang yang menggunakan jasanya karena namanya yang cukup terkenal. Namun, sebuah penggilan telepon mengganggunya sejak tadi. Ia sengaja mengabaikan panggilan itu karena ia tahu pasti bahwa panggilan dari orang itu biasanya tak begitu penting. Sekedar menanyakan apakah dirinya sudah makan, atau bahkan sekedar menanyakan Hayoon adiknya. Hal-hal yang menurutnya tidak lebih penting daripada tanggung jawab pekerjaannya saat ini. Akan tetapi, semakin Hajun mengabaikannya, rasa khawatir kepada orang yang menleponnya justru semakin muncul.

“Hajunnie Oppa … kenapa Oppa tak menjawab pertanyaanku? Sampai kapan aku harus menunggu jawabannya? Rasanya aku hampir mati karena menyukaimu,” ucap orang di seberang telepon. Dia adalah Han Nara, teman dekat adiknya—yang entah sejak kapan menyukai Hajun.

Suaranya yang terseret menandakan bahwa anak itu sedang dalam keadaan tak sadar sekarang.
Hajun menghela napas panjang. Ini bukan kali pertama Nara menelepon Hajun dalam keadaan mabuk begini Hajun sangat paham betapa bahayanya jika Nara dibiarkan sendirian dalam keadaan seperti ini.

“Kau di mana sekarang?” tanyanya.
Sudah menjadi kebiasaan Nara untuk meneleponnya dalam keadaan mabuk seperti ini.

Saat dalam keadaan mabuk anak itu bisa lebih jujur dari pada biasanya, dna itu membuat Hajun sedikit merasa tak nyaman. Seperti ketika dia berbicara tentang…

“Hajunnie Oppa, apakah Oppa masih merasa bersalah karena kejadian waktu itu? Jika itu alasanmu selalu menolakku, maka semua itu tak ada gunanya. Sudah berapa kali kubilang itu padamu.”

Kejadian terlarang yang menjadikannya trauma. Nara selalu mengulang perkataan yang sama. Hajun terdiam, kembali menghela napas.

“Apa Hayoon bersamamu saat ini?”

“Tidak, dia—”

“Kalau begitu kau sendirian malam-malam begini? Bagaimana bisa wanita sepertimu membiarkan dirinya mabuk-mabukan sendirian. Cepat katakan, dimana kau sekarang?”

“Ah, itu … tidak tahu.”

Aish! coba gunakan kepintaranmu sebentar.” Hajun mengacak rambutnya frustasi.

“Ah, benar. Restoran seafood di dekat Gangnam. Apa Oppa akan ke sini?” jawab Nara dengan artikulasi yang tak begitu jelas.

“Diamlah dan tunggu saja.”

Setelah mengatakan itu, Hajun bergegas menutup panggilannya dan pergi menghampiri lokasi yang Nara berikan. Mudah mengetahuinya, karena restoran itu adalah restoran yang sering anak itu kunjungi.

Sesampainya Hajun di sana. Nara sudah menjatuhkan kepalanya pada meja. Rambutnya sudah tak tertata rapi. Terlebih bajunya… apakah setelah pemotretan dia langsung pergi ke sini? Sendirian? dengan pakaian terbuka seperti itu malam-malam begini?

Hajun melepas jasnya sembari menghampiri Nara. Ia meletakkan jasnya di pundak Nara. Kemudian membereskan barang-barang Nara yang berserakan di meja. Tiba-tiba saja sebuah tangan menariknya. Nara terbangun dan menarik Hajun untuk mendekat padanya. Hajun mematung.

Oppa, aku menyukaimu.” Setelah mengatakan itu ia menjatuhkan kepalanya ke dada Hajun, “...sungguh aku sangat menyukaimu.”

Hajun susah payah meneguk ludahnya. Lantas tanpa membalas pernyataan Nara, ia membawanya pergi dari tempat itu untuk mengantarnya pulang.

-oOo-

Sepulang mengantar Hayoon ke rumahnya. Yoonjae kembali ke restoran untuk memenuhi panggilan pimpinannya. Suasana ruangan VIP itu terasa mencekam. Hanya menyisakan Yoonjae dan pimpinannya di dalam. Pimpinan tersebut mengulurkan botol soju yang langsung disambut oleh gelas Yoonjae. Yoonjae menenggaknya.

“Kau tahu kan kalau kau terlambat sekarang ini?” Pimpinan memulai percakapannya dengan pertanyaan mengintimidasi. Yoonjae masih menutup mulutnya.

“Apa menurutmu aku terlihat remeh sekarang ini? Akhir-akhir ini aku mendapat laporan kalau kau sering melakukan sesuatu tak berguna.”

Yoonjae menggenggam erat gelas berisi soju yang baru saja dituangkan padanya. Pimpinan kembali mengisi gelasnya yang kosong. Yoonjae mematung memandangi air soju yang mengalir turun, lantas berhenti dengan tenang di gelasnya. Ia harap kehidupannya akan berakhir tenang seperti soju yang baru saja dituangkan dalam gelasnya.

“Apakah aku harus menyentuh wanita itu untuk membuatmu bertekuk lutut lagi padaku, Kwon Yoonjae?” Yoonjae yang sedari tadi menunduk pun mendongak—melemparkan tatapan menusuk pada pimpinannya.

“Ah, atau haruskah aku memanggilmu…” pimpinan itu tersenyum miring—berniat untuk memprovokasi lawan bicaranya, “...Kang Hyuntae?”

◦•●◉✿LIMBO✿◉●•◦

[Thanks]

𝙇𝙄𝙈𝘽𝙊 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang