1

13 4 0
                                    

Di tengah malam yang hangat, suara mesin balap menggema di sepanjang jalanan kota yang sepi. Laut Alvarez Monic, seorang remaja berusia delapan belas tahun dengan rambut hitam legam dan mata tajam, berdiri di tepi sirkuit, memperhatikan kerumunan yang berkumpul di sekitar garis start. Jantungnya berdegup kencang, penuh dengan semangat dan ketegangan. Di sinilah ia merasa hidup, di tengah debu, asap, dan suara bising dari knalpot yang meraung.

Keluarga Alvarez dikenal sebagai salah satu keluarga mafia terkuat di kota ini, tetapi bagi Laut, identitas itu terasa mengekang. Ia lebih memilih aroma bensin dan suara mesin dibandingkan dengan intrik dan kekerasan dunia mafia yang mengelilingi keluarganya. Dengan sepatu kets dan jaket kulit yang sedikit usang, Laut terlihat seperti seorang pembalap muda yang siap menaklukkan dunia, meski bayang-bayang keluarganya selalu mengikutinya.

“Laut! Ayo, kita pergi!” suara Raka, kakaknya yang berusia dua puluh dua tahun, memecah lamunannya. Raka adalah sosok yang selalu melindungi Laut, tetapi kadang-kadang juga menjadi penghalang. Dengan tubuh tinggi dan kekar, Raka memiliki aura kepemimpinan yang membuatnya dihormati dan ditakuti di kalangan anggotanya. Namun, malam ini, Laut merasakan tekanan dari harapan yang dibebankan padanya.

“Gimana kalau kita nonton balapan dulu?” tanya Laut, matanya berbinar. Dia tahu ini adalah kesempatan langka untuk merasakan kebebasan, meskipun hanya sekejap.

“Tidak. Ayah sudah menunggu kita di rumah. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan,” jawab Raka, nadanya tegas. Laut merasa kecewa, tetapi ia tidak berani melawan. Dikenal sebagai ‘cadel’ oleh teman-temannya, Laut selalu berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahan, meski terkadang kata-kata itu membuatnya merasa kecil.

Di dalam mobil, perjalanan menuju rumah terasa panjang. Raka menyetir dengan cepat, matanya fokus pada jalan, sementara Laut merenungkan perasaannya. Mereka melewati jalanan yang dipenuhi lampu neon, bar-bar, dan tempat-tempat balapan ilegal. Setiap kali Laut melihat mobil-mobil balap melintas, hatinya bergetar. Dia ingin menjadi bagian dari dunia itu, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi keluarganya.

“Laut, kamu perlu mengerti. Keluarga kita punya tanggung jawab yang besar. Ayah berharap kamu bisa melanjutkan warisan ini,” kata Raka tanpa menoleh. Suara kakaknya membuat Laut merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.

“Saya tahu, Raka. Tapi saya juga ingin menjalani hidup saya sendiri,” jawab Laut dengan suara pelan, berusaha menunjukkan ketegasan. Raka menghela napas, tanda bahwa dia mengerti tetapi tidak setuju.

Sesampainya di rumah, suasana terasa tegang. Don Rafael Alvarez, kepala keluarga dan pemimpin mafia, duduk di meja makan dengan ekspresi serius. Dia adalah sosok yang dihormati dan ditakuti, dengan wajah yang keras dan tatapan tajam. Laut tahu bahwa semua anggota keluarga merasa tertekan saat ayahnya memanggil mereka.

“Raka, Laut! Datanglah ke sini,” perintah Don Rafael. Suaranya menggetarkan. Laut dan Raka mendekati meja, merasakan aura kekuasaan yang menyelimuti ayah mereka. Di atas meja terdapat beberapa dokumen dan foto-foto yang menunjukkan berbagai aktivitas mafia.

“Aku sudah mendengar kabar tentang musuh kita, dan kita perlu bersiap,” kata Don Rafael, menatap kedua anaknya. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih wilayah kita. Raka, kamu harus memimpin, dan Laut… aku ingin kamu ikut serta.”

Laut merasa jantungnya berdegup kencang. “Tapi, Ayah, saya tidak mau terlibat… Saya ingin balapan,” ucapnya, nada suaranya penuh harapan. Raka menatapnya dengan tatapan cemas, menyadari bahwa ini bisa menjadi titik balik bagi Laut.

“Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan. Keluarga adalah segalanya. Kamu akan melakukan apa yang diperintahkan,” jawab Don Rafael dengan keras. Suasana di ruangan itu semakin tegang. Laut merasa terjebak antara keinginan untuk bebas dan kewajiban kepada keluarganya.

Setelah pertemuan itu, Laut merasa bingung dan marah. Dia pergi ke kamarnya, mengunci pintu, dan duduk di tepi tempat tidur. Dia melihat foto-foto balapan yang dia tempel di dinding. Itu adalah mimpinya, dunia yang penuh kebebasan dan tantangan. Tetapi sekarang, semua itu terasa semakin jauh.

Di luar, suara mesin kembali menggema. Laut membuka jendela dan melihat sekelompok pembalap bersiap untuk balapan malam. Aroma bensin dan suara teriakan penonton membuatnya merindukan kebebasan. “Aku harus menemukan cara untuk mengejar mimpiku,” bisiknya pada diri sendiri.

Malam itu, Laut berjanji pada dirinya sendiri. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia akan menemukan cara untuk menjalani kehidupan yang dia inginkan, meskipun itu berarti melawan keluarganya. Dengan tekad yang menggebu, Laut berbaring di tempat tidur, membayangkan masa depan yang penuh dengan balapan, teman-teman, dan kebebasan yang selama ini diimpikannya.

Mimpi itu terasa lebih dekat daripada sebelumnya, dan Laut tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

LAUT ALVAREZ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang