Bab 8: Terror

5 1 0
                                    

Sore itu, saat Arka, Raka, dan Sinta baru saja keluar dari markas Phantom Hunter, suasana mulai terasa sepi. Mereka bertiga melangkah keluar dengan perasaan yang campur aduk setelah pertemuan singkat yang mengubah dinamika tim mereka. Dina, anggota baru, kini menjadi tanggung jawab mereka, dan pelatihan yang harus mereka jalani semakin menuntut. Namun, sebelum mereka bisa merenung lebih jauh, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan empat sosok yang muncul dari arah berlawanan.

Keempat pemuda itu tampak panik dan tergesa-gesa, membuat Arka menghentikan langkahnya. "Mereka siapa?" bisiknya pelan kepada Raka.

Raka menajamkan pandangan, mengenali seragam dan emblem yang dikenakan keempat pemuda tersebut. “Itu para senior kita,” jawabnya singkat, sambil memperhatikan lebih jauh ke arah mereka.

Sinta juga melirik ke arah empat pemuda itu, dan alisnya terangkat. "Apa yang terjadi ya? Mereka kelihatan terburu-buru."

Sebelum ada yang bisa menjawab, keempat senior itu berlari melewati mereka tanpa menyapa. Salah satu dari mereka sempat menoleh sebentar, namun wajahnya dipenuhi dengan ekspresi tegang, seolah-olah waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.

“Ayo, masuk!” terdengar suara salah satu senior yang paling tinggi di antara mereka. Ia tampak menjadi pemimpin kelompok, dengan rambut pendek yang acak-acakan dan tubuh berotot. “Kita harus melaporkannya sekarang sebelum terlambat!”

Mereka berempat langsung memasuki markas Phantom Hunter dengan tergesa-gesa, meninggalkan Arka, Raka, dan Sinta yang kini semakin penasaran.

"Kayaknya ada sesuatu yang serius," ujar Sinta sambil melipat tangan di dada. “Mereka nggak biasanya sekacau itu.”

Arka mengangguk, "Mungkin kita harus menunggu sebentar, siapa tahu ada informasi penting yang bisa kita dapatkan."

Sementara mereka bertiga berdiri di depan markas, di dalam gedung markas Phantom Hunter cabang Jakarta, suasana berubah drastis. Para senior itu langsung menuju ruang briefing dengan langkah cepat. Pak Guntur, yang masih berada di ruangan bersama Pak Suryo dan beberapa staf lainnya, tampak terkejut melihat kedatangan mereka yang mendadak.

"Pak Guntur!" seru salah satu dari mereka, dengan nafas yang terengah-engah. “Kami punya laporan penting, ini masalah besar!”

Pak Guntur yang biasanya tenang dan penuh kendali, kali ini terlihat serius. “Apa yang terjadi, Jelaga?” tanyanya kepada pemuda bertubuh kekar dengan rambut acak-acakan itu, yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok.

Jelaga, yang memimpin tim senior tersebut, segera berdiri tegap dan menjelaskan situasi yang mereka temui di lapangan. “Ada terror baru, Pak. Sebuah siluman yang beroperasi di waktu senja, dan targetnya adalah anak-anak.”

Ruang briefing langsung hening sejenak. Siluman yang menculik anak-anak di waktu senja? Itu bukanlah masalah sepele. Apalagi jika sudah melibatkan manusia biasa, terutama anak-anak, situasinya menjadi jauh lebih genting.

“Kami mendapatkan informasi ini dari beberapa warga di daerah pinggiran Jakarta. Mereka melaporkan bahwa setiap kali senja tiba, ada anak-anak yang hilang begitu saja. Mereka tidak meninggalkan jejak, seolah-olah mereka menghilang tanpa jejak. Polisi setempat sedang menyelidiki kasus orang hilang ini, tapi mereka kesulitan menemukan petunjuk apapun.”

Pak Guntur menyipitkan mata. “Berapa banyak anak yang hilang sejauh ini?”

“Sampai laporan terakhir, ada lima anak yang hilang dalam minggu ini. Dan semuanya terjadi sekitar waktu senja, di tempat yang berbeda-beda. Kami sudah mencoba mendeteksi keberadaan makhluk gaib di sekitar lokasi, tapi sepertinya siluman itu pandai bersembunyi. Jejaknya sangat sulit untuk ditemukan.”

Pak Suryo yang sejak tadi diam mendengarkan, kini angkat bicara. “Apakah kalian yakin ini perbuatan siluman?”

Jelaga mengangguk tegas. “Kami yakin, Pak. Ada beberapa saksi mata yang melaporkan melihat sosok bayangan besar berkeliaran di dekat tempat kejadian sebelum anak-anak itu hilang. Dan setelah kami lakukan penyelidikan, tanda-tanda kehadiran makhluk gaib itu cukup jelas.”

Pak Guntur mengambil napas dalam-dalam. “Kalau begitu, ini memang masalah besar. Jika kita tidak segera bertindak, anak-anak lain bisa menjadi korban. Siluman yang menculik anak-anak biasanya memiliki tujuan yang jauh lebih gelap.”

Salah satu anggota tim senior yang lain, seorang pemuda berambut keriting bernama Bayu, menambahkan, “Kami juga menemukan bahwa lokasi-lokasi penculikan ini memiliki pola yang aneh. Semua tempat penculikan berada di dekat sungai atau aliran air. Kami menduga siluman ini mungkin memiliki koneksi dengan elemen air.”

Pak Suryo tampak berpikir sejenak, lalu memerintahkan, “Kita perlu menindaklanjuti ini dengan cepat. Kita tidak bisa menunggu polisi menyelesaikan penyelidikan mereka, mereka tidak memiliki alat atau kemampuan untuk menangani makhluk seperti ini.”

Pak Guntur mengangguk setuju. “Saya akan memimpin penyelidikan ini secara langsung. Jelaga, timmu akan tetap bertugas di lapangan untuk memantau situasi. Kita juga akan melibatkan beberapa anggota dari tim lain untuk memperkuat upaya ini.”

Jelaga segera menjawab, “Siap, Pak. Kami akan terus memantau daerah sekitar dan mencari jejak siluman itu.”

Pak Suryo kemudian mengarahkan pandangannya ke salah satu staf administratif markas. “Hubungi tim-tim lain, kita akan mengkoordinasikan operasi ini. Semua informasi tentang penculikan ini harus segera dikumpulkan dan dianalisis.”

Sementara itu, di luar markas, Arka, Raka, dan Sinta masih menunggu dengan sabar. Mereka belum mengetahui detail dari situasi yang sedang dihadapi oleh tim senior, namun naluri mereka mengatakan bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.

Sinta akhirnya angkat bicara, “Kalian ngerasa nggak kalau mungkin kita akan dilibatkan juga dalam masalah ini?”

Arka mengangguk pelan. “Mungkin. Kalau situasinya serius, biasanya kita juga bakal dilibatkan.”

Raka menambahkan, “Kita tunggu saja. Kalau memang butuh bantuan, pasti kita dipanggil lagi.”

Tak lama setelah itu, pintu markas terbuka, dan Pak Guntur melangkah keluar dengan wajah serius. Ia berjalan mendekati mereka bertiga dan berkata, “Ada masalah besar. Kita harus segera bertindak. Tapi kali ini, kalian belum dilibatkan. Fokus kalian sekarang adalah membantu Dina beradaptasi dan siap untuk misi-misi berikutnya. Siluman yang kami hadapi kali ini terlalu berbahaya bagi kalian untuk terlibat.”

Arka, Raka, dan Sinta saling pandang, sedikit kecewa tapi juga memahami situasinya. Mereka tahu bahwa setiap misi memiliki risikonya sendiri, dan jika Pak Guntur mengatakan bahwa mereka belum siap untuk ini, maka itu artinya situasinya memang jauh lebih berbahaya dari yang bisa mereka tangani.

“Baik, Pak,” jawab Arka dengan tegas. “Kami akan fokus pada tugas kami.”

Pak Guntur mengangguk, kemudian kembali masuk ke dalam markas, meninggalkan mereka bertiga yang kini merasa sedikit lebih lega, meski tetap ada perasaan penasaran.

“Yah, sepertinya kita harus sabar dulu,” kata Sinta sambil menghela napas. “Tapi aku penasaran, apa sebenarnya yang sedang mereka hadapi?”

Raka menyeringai kecil. “Kalau kita belum dilibatkan, itu berarti kita masih ada kesempatan buat berkembang lebih jauh. Dina juga butuh kita buat bantu dia, kan?”

Arka mengangguk setuju. “Iya, benar. Kita harus tetap fokus.”

Mereka bertiga akhirnya berjalan pulang dengan langkah lebih santai, menyadari bahwa meski tidak semua misi bisa mereka ikuti, mereka tetap memiliki peran penting dalam tim dan masa depan Phantom Hunter.

The Phantom HuntersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang