Pria akhir 40-an tahun itu tampak menatap kesekeliling, rumah peninggalan orangtuanya dulu. Up berpikir ia akan hidup dan menua sendirian hingga Tuhan mempertemukan nya dengan pria cantik bernama Poom disebuah Club malam. Lelaki yang menjadi pusat perhatian wanita dan juga pria itupun membuat Up terpesona. Dengan obsesi yang begitu besar membuat Up melakukan segala cara untuk bisa memiliki pria itu, termasuk membelinya dengan harga ratusan juta bath pada sang bos. Apalah arti uang bagi nya yang terpenting saat ini Up lah satu-satunya yang berkuasa atas Poom.
Pria cantik itu memang sangat disukai Up tapi ia memperlakukan Poom bak boneka sex. Hingga suatu hari didapatinya sang pujaan tengah berduaan dengan pria tua membuat Up begitu kalap. Menghajar miliknya itu hingga babak belur.
"Ku mohon jangan perut ku!"
Rintihan itu masih dapat diingat Up walau 21 tahun telah berlalu. Bagaimana mata cantik Poom yang basah menatap Up penuh permohonan agar pria itu berhenti menendangnya.
"Ku- Ku mohon, ngh.. aku hamil."
Up masih ingat suara rintihan Poom saat ia tetap menghajar tubuh yang sudah tak berdaya itu. Masih jelas dibenaknya bagaimana darah mengalir dari pangkal paha Poom dan menetes mengenai lantai.
Denial. Up tak pernah percaya Poom benar-benar hamil karena bagaimanapun ia tahu jelas Poom adalah seorang pria. Lagi, benarkah itu anaknya? Poom adalah pria bayaran.
Up menghela napas, tak sadar kakinya membawa ia dalam kamar bernuansa hitam putih yang tampak rapi dan elegan. Kamar Pooh. Benarkah anak itu bukan putranya? Amarahnya telah reda, membuat pria tampan itu bisa berpikir lebih jernih.
Smartphone nya yang berdering membuyarkan lamunan Up. Nama Joong tertera disana membuatnya menjawab panggilan telepon itu dengan cepat. Wajah baby face itu tampak menegang, tak percaya.
Berlari menuju kamar dimana ia mengurung sang istri. Kosong.
Up turun segera dan meneriaki nama Poom tapi tak kunjung ada jawaban..
.
.Jari-jari tangan nya bertaut rapat. Tetap berusaha untuk berdiri tegak walau rasanya sudah tak sanggup. Lampu merah masih menyala pertanda operasi masih berlangsung. Segala doa dan harap ia panjatkan agar kekasih nya baik-baik saja.
"Phi, ayo duduk." Bujuk Dome, memperhatikan bagaimana terlukanya Pavel saat ini. Namun pria itu tak merespon.
Lampu padam membuat Pavel gugup, pintu yang terbuka memperlihatkan seorang pria dengan seragam biru membuat jantung nya berdebar lebih cepat. Membuka maskernya pelan dan menatap Pavel, aneh?
"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin," template yang biasa diucapkan sebagai kata pembukaan.
Pavel berharap ia salah dengar. Ia menggeleng beberapa kali sedang sang dokter tampak menghela napas.
"Pasien meninggal saat operasi tengah berlangsung. Waktu kematian 7.57. Kami akan segera memindahkannya ke kamar jenazah." Lanjutnya dengan berat hati.
Kaki Pavel terasa seperti jelly, ia terduduk dilantai dengan tatapan mata kosong. Dome merangkul nya, mengusap pelan punggung pria yang tampak sangat terpukul itu.
Ketika jasad Pooh melewati nya disanalah tangisan Pavel pecah. Ia berusaha berdiri dan mengejar pada petugas yang memindahkan tubuh kaku sang kekasih tapi berakhir tersungkur dilantai rumah sakit yang dingin.
Tangannya bergetar membuka kain putih yang menutup wajah tampan kekasihnya. Pucat, seolah tak ada darah yang mengalir disana.
"Pooh, ku mohon bangunlah!" Menggucang tubuh yang tak lagi bernyawa itu. Wajahnya penuh air mata. Pavel berharap ini hanya omong kosong. Dadanya sangat sesak seolah oksigen ikut lenyap dari hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Rose
FanfictionPavel yakin ia mencintai lelaki berseragam putih-hitam yang menunggunya di seberang jalan sana, tapi.. rasa aneh menjalar di dadanya ketika melihat senyum pemuda berlesung pipi yang telah hilang enam tahun lalu. Pavel mulai meragu, bocah freshman at...