11. Amarah

3 0 0
                                    

Adit melengkah gusar memasuki gerbang sekolah. Pangkal gerahamnya beradu kuat. Kedua tangannya juga mengepal dengan bola mata yang sudah memerah. Anak-anak yang lain pun ikut heran dengan ekspresi Adit hari ini. Tidak ada lagi senyuman hangat. Tidak ada lagi sapaan ramah. Mereka pun kemudian berbondong-bondong mengikuti langkah Adit. Semua penasaran akan apa yang terjadi hingga membuat tampak begitu beringas hari ini.

"Kalian liat Raka?" tanya Adit sesaat setelah menghentikan gerombolan siswa yang sedang berjalan.

"D-dia ada di kantin," jawab siswa itu.

Adit segera mempercepat langkahnya menuju kantin. Setiba di sana dia langsung mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Raka. Hingga kemudian dia melihat Raka sedang asyik mengobrol bersama kerumunan siswi yang mengelilinginya. Adit menghembuskan napas pelan lalu lekas menghampirinya.

"Ada apa?" Raka menatap Adit yang kini berdiri di hadapannya.

"Ada apa? Lo nanya ada apa?" Adit tertawa sinis.

Raka berdiri dari duduknya dengan santai lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia tersenyum tipis lalu kembali menatap Adit.

"Kenapa? lo marah karena gue udah ngasih pelajaran sama cewek tengil itu?" tanya Raka.

"Apa lo bilang? cewek tengil?" emosi Adit makin tersulut.

"Emang gue salah? Seluruh sekolahan juga tau siapa Rere. Seluruh sekolah sekarang juga berterima kasih sama gue karena udah ngasih Rere pelajaran berharga," ucap Raka.

"Tapi apa harus lo berbuat sejauh itu?" Adit masih berusaha meredam emosinya.

"Nggak boleh? Kalo lo nggak bisa nerima, harusnya sebagai temennya lo itu ngingetin dia biar nggak semakin semena-mena di sekolah ini!" bentak Raka.

Adit terhenyak. Kerumunan anak-anak yang lain juga berbisik-bisik menyetujui perkataan Raka. Kepalan tangannya kembali kendor. Seperti kehilangan taringnya, Adit tidak bisa berkata-kata lagi. Padahal tadi dia begitu emosi dan bermaksud untuk menghajar Raka yang sudah menyakiti Rere.

"Apa ada lagi yang mau lo omongin?" Raka kembali bersuara.

"G-gue ...."

"Apa yang gue lakuin ke Rere itu belum setimpal sama apa yang dirasain sama anak-anak yang lain. Udah berapa kali Rere ngehancurin hidup orang lain? Udah berapa banyak yang harus keluar dari sekolah ini karena dia? Lo pasti tau lebih jelas karena lo adalah temannya." Raka menekankan ujung kalimatnya.

"Iya itu bener!"

"Rere emang pantas nerima itu semua!"

"Dia emang harus diberi pelajaran supaya sadar!"

"Aku bahkan nggak kasihan sama sekali ngeliat cewek beringas itu!"

Komentar sumbang tentang Rere silih berganti terdengar. Adit menautkan bibirnya rapat-rapat. Dia sadar tidak ada gunanya dia membela Rere di tengah-tengah kerumunan masa yang membencinya. Jemarinya bergetar menahan amarah yang memuncak. Sementara Raka hanya tersenyum tipis, lalu menepuk-nepuk pundak Adit dengan pelan.

"Lebih baik lo kasih saran ke temen lo itu supaya dia pindah dari sekolah ini. Karena kalo dia masih di sini ... gue akan ngehancurin dia lebih jauh lagi."
_

Adit dan Airin masih terpaku di depan pintu kamar Rere yang masih terkunci. Sudah lama keduanya menggedor-gedor dan meminta Rere untuk membuka pintu. Mereka sudah mencoba berbagai cara. Mulai dari membujuk, menghardik, bahkan sampai mengancam Rere. Namun Rere masih saja bungkam di dalam sana.

"Rere masih belum mau buka pintunya?" Revan yang baru muncul juga terlihat gelisah.

"Belum," jawab Adit.

Mata Untuk RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang