01. Rere & Raka

7 0 0
                                    


Seperti biasa, kehadiran Rere selalu dihindari oleh murid-murid yang lainnya. Ketika akan berpapasan, mereka lebih memilih balik kanan, bertukar arah, beringsut mundur, bersembunyi, atau pura-pura tidak melihat. Rere tersenyum geli melihat gelagat mereka yang sengaja menghindarinya. Gadis itu terus melangkah dengan gaya pongah. Lengan kemejanya selalu digulung, baju seragamnya tidak pernah dimasukkan ke dalam. Sebuah plester melekat di keningnya walau sebenarnya tidak ada luka di sana. Gerakan mulutnya yang tak henti mengunyah permen karet, semakin menambah kesan brutal.

Rere memang suka berpenampilan boyish. Di luar sekolah, dia lebih sering terlihat memakai setelan baju kaos longgar dan celana kodok. Dia juga selalu disemprot Revan karena sering memakai kemeja dan boxer miliknya. Rere memang jauh dari kesan feminim. Selain bedak tabur dan doedorant, dia tidak mengenal jenis kosmetik wanita lainnya.

"Apa lo lihat-lihat?" Rere menghardik kumpulan siswa yang tak sengaja menengok ke arahnya.

Kumpulan siswa itu hanya menunduk lalu lari terbirit-birit. Rere pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas yang terletak di ujung koridor. Rambut keritingnya yang mengembang ikut naik turun mengiringi langkah kakinya. Tiba-tiba langkah kakinya itu terhenti. Rere menyipitkan matanya sejenak lalu kembali mundur sebanyak tiga langkah. Kemudian perlahan dia menoleh pada sosok yang kini menarik perhatiannya itu.

Pintu kelas di samping Rere kini menutup pelan. Rere tersenyum geli lalu mendekati pintu itu. Perlahan dia mendongakkan kepalanya ke balik pintu itu. Rere melihat seorang siswa bersembunyi dibalik pintu itu dengan ekspresi ketakutan. Siswa itu menutup matanya rapat-rapat dengan mulut komat-kamit entah apa yang tengah disebutnya. Selain itu jemarinya juga berpagutan erat seakan tengah memohon pertolongan.

"Ngapain lo sembunyi-sembunyi gitu, ha!" hardik Rere sambil menendang pintu itu dengan keras.

"M-maaf ... a-aku nggak sembunyi kok." siswa itu tergelinjang kaget dan menjawab terpatah-patah.
Rere tersenyum sinis lalu meludahkan sisa permen karetnya ke lantai. Sementara Siswa itu menelan ludah dan kembali menundukkan wajah. Kali ini Rere menatap tajam, lalu meletakkan tangannya di atas bahu siswa itu secara perlahan. Bagai terkena aliran listrik, tubuh siswa itu langsung menggelinjang begitu tangan Rere menyentuhnya. Lututnya mulai menggigil, jemarinya bergetar saat membetulkan letak kacamatanya yang melorot.

"Oke, nama lo Danny, ya?" tanya Rere sambil menyentuh name tag milik Danny di bajunya.

"I-iya ...," jawabnya lirih.

"Sekarang balikin uang gue!" Rere menengadahkan telapak tangannya.

"U-uang apa?" tanya Danny.

"Nggak usah pura-pura bego deh ... kemaren kan, lo minjem uang gue dua puluh ribu. Sini cepet balikin," bentak Rere.

"A-aku nggak pernah minjem uang sama kamu," Danny menatap heran.

"Yaelah ini kutu beras pake acara lupa. Semalam lo minjem uang sama gue," ulang Rere.

"K-kapan? di mana?" tanya Danny.

Rere tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Danny. "Semalam ... di mimpi gue," jawabnya.

"M-mimpi maksudnya?" Danny makin kelabakan.

Rere meniup poni keritingnya. Tatapan matanya kini berubah ganas. Dia tidak lagi bersuara dan hanya menatap Danny dengan pandangan yang mematikan. Tidak ingin memperpanjang masalah, Danny pun lekas mengeluarkan uang dari kantongnya. Setelah melihat uang kertas itu, barulah raut wajah Rere kembali melunak.

"Nah gitu dong. Pokoknya ... kalo lo di mimpi butuh uang, gue bakalan kasih pinjeman sama lo. Asalkan lo bayar keesokan harinya, oke!" Rere mengelus kepala Danny yang masih ketakutan.
_

Mata Untuk RakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang