BAB 1

164 3 0
                                    

   

       Seorang perempuan berseragam SMA berpose menyentuh sebelah pipinya dengan telunjuk, sedang wanita paruh baya dengan tongkat berdiri disampingnya seraya merangkul erat. Potret di atas kertas polaroid itu dipandang oleh Keithara sejak sepuluh menit lalu.

Ann, sekretaris Keithara masuk ke ruangan setelah mengetuk pintu. Mengetahui itu Keithara buru-buru menaruh foto tersebut ke laci meja kerja.

Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian hari itu, tapi Keithara masih terus memikirkannya. Selama satu bulan itu pula, dia berhenti berinteraksi dengan Nael. Jangankan menemui laki-laki itu di rumah sakit, Keithara bahkan berhenti mengirim pesan padanya. Padahal, sejak dulu ia kerap menyerbu Nael dengan pesan-pesannya. Keithara malu, enggan dan bingung.

“Tadi ada klien atas nama Gwen nelpon saya, minta atur ulang jadwal meeting. Katanya dia ada urusan mendadak, jadi ngga bisa kalo ketemu sore ini” jelas Ann.

Namun Keithara penasaran bagaimana kabar laki-laki itu. Apakah ia tetap sama?Apakah ia sehat? Keithara mencoba mencari tahu lewat sosial medianya, tapi tak mendapat apa-apa, laki-laki itu jarang— bahkan tidak pernah memosting kegiatannya di sosial media. Postingan terakhirnya setahun yang lalu, foto saat Nael mengiklankan brand parfum milik Papa nya.

Mungkin Keithara sudah harus mengibarkan bendera putih? Toh, perasaan ia tak terbalas sejak sepuluh tahun lalu. Tapi di satu sisi perempuan itu tak rela. Melupakan Nael akan sangat sulit baginya. Saat Keithara memutuskan studi di luar negeri, ia membulatkan tekad untuk sekaligus berusaha melupakan Nael.

“Keith?" panggil Ann.

“Eh—iya?”

Ann menatap Keithara penuh tanya, tapi alih-alih bertanya kenapa, dia langsung menjelaskan apa yang harus disampaikan. Salah satu klien, Gwen, tidak bisa datang meeting sore ini. Padahal pekan lalu dia berkata ingin gaun pernikahannya cepat-cepat selesai, tapi untuk konsultasi saja, sudah dua kali dibatalkan.

Keithara jadi pening, karena kliennya tidak hanya Gwen saja, dan design gaun yang Keithara buat pekan lalu juga mesti direvisi. Kata Gwen, ada request lain yang tidak bisa dia bahas di telepon apalagi chat. Kalo seperti itu, gimana prosesnya bisa cepat?

“Bilang ke dia, aku kasih jadwal terakhir besok jam 10 pagi. Kalo dia ngga bisa, request aja di chat atau telepon, ntar kamu catet detail apa aja yang dia mau, trus kirim ke email aku, ya?”

Ann mengangguk. “Oke, Keith” ujarnya.

“Iya. Thank you, Ann”

Ann tersenyum sopan, lalu keluar ruangan.

Keithara mengembuskan napas lega, lalu bersandar ke punggung kursi kerja. Sebelah tangannya meraih buku yang ada di tumpukan paling atas. Niatnya ingin memeriksa design yang ia gambar di buku itu kemarin, tapi perhatian Keithara teralih oleh amplop berwarna navy dengan tulisan latin berwarna emas di pojok kanan, amplop itu tergeletak di atas tumpukan buku.

Keithara meragu, belum siap baca ini sekarang, tapi tangannya meraih amplop itu, mengeluarkan selembar surat di dalamnya, lalu ia baca perlahan.

Dan tolong untuk tidak membenci saya, Keithara.

____

“Kamu nggak bisa terus-terusan berlarut dalam kesedihan,” Wanita dengan balutan midi dress bercorak bunga mengelus pundak laki-laki disampingnya.

Dalam ruangan semi mediterania itu hanya ada mereka berdua. Duduk bersisian di tepian ranjang.

“Aku bersalah, Run. Semua salahku....”

Runa menggeleng. “Ini sudah takdir,”

“Tapi—” Ucapan pria itu terpotong. Runa memeluknya. Ia menghantarkan kehangatan bagi suaminya. Membuat beban di pundak dan kepala Alka yang tadi terasa berat seketika meringan.

____

Nael meregangkan ototnya. Ia duduk di sofa, di ruang santai staff. Shift nya sudah selesai sejak dua jam lalu, tapi ia harus mengoperasi pasien darurat, alhasil tetap berada di rumah sakit sampai hampir tengah malam.

“Dr. Nael” Seorang perempuan dengan snelli dan stetoskop mengalung di leher memanggil Nael. Membuat si pemilik nama mengalihkan perhatian.

Dia Jenna. Dokter spesialis anak. Nael menyahut, “Ya, Jen?”

“Ini kopi buat kamu.” Jenna berjalan mendekat. Ia mendudukan diri di depan Nael lalu menyodorkan segelas kopi. “Reward buat kerja keras kamu karena udah lembur hari ini”

Nael tersenyum tipis, lantas menerima kopi tersebut. “Terima kasih." balas Nael. “Udah kewajiban juga kalo ada pasien darurat’

“Aku kagum sama kerja keras kamu” kata Jenna.

“Kamu lembur?”

“Jam kerjaku baru aja selesai” jawab Jenna. “Omong-omong, gimana kabar kalian?”

“Kalian?” tanya Nael. Ia mengerutkan kening, heran.

Jenna tersenyum kecil. “Kamu sama... Keithara?” jawab Jenna. “Aku udah lama nggak liat dia di sekitaran rumah sakit lagi. Kalian baik-baik aja?”

Bagaimana bisa Jenna tahu soal Keithara? Perempuan itu bekerja di rumah sakit Santioman baru sekitar dua minggu lalu, sedang Keithara tak mengunjunginya sudah lama, mungkin sudah lebih dari satu bulan.
Nael mendadak menyesali fakta kalau Jenna mengetahui hal itu.

“Ah—iya, waktu itu aku sempet ngerawat keponakan aku yang diopname di sini. Ada sekitar seminggu, mungkin? Trus aku sering liat kamu ngobrol sama dia. Mungkin kamu ngga sadar karena lagi sibuk. Pas aku balik kerja di sini lagi juga banyak perawat yang cerita ke aku” jelas Jenna. Ia menyeruput kopi dari cangkirnya.

Sejak pertama bekerja sebagai pediatri, Jenna sudah memilih Rumah sakit Santioman. Tapi dua tahun lalu, ada sesuatu yang membuatnya dipindahkan ke rumah sakit lain. Begitu kembali, terasa banyak hal yang berubah. Jenna mendengar banyak hal dari para perawat, mereka bercerita tentang apa saja yang terjadi di rumah sakit Santioman selama ia tak ada. Mulai dari perubahan sistem Rumah sakit, pasien darurat yang terparah, adanya pasien VIP untuk pertama kali, dokter spesialis neuro yang pensiun dini, sampai perempuan yang sering mengunjungi Nael.

“Oh..., gimana perasaan kamu setelah balik lagi ke sini?”

Nael rupanya mengalihkan topik. Jenna membalas, “Good. Banyak yang berubah aja. Aku denger juga, dr. Kata spesialis neuro pensiun dini, ya?”

Pria di depan Jenna mengangguk.

“Udah hampir tengah malam. Saya pulang dulu” Nael meletakan segelas kopi di atas meja, lalu beranjak dari duduknya. “Maaf saya lupa, saya udah nggak minum kopi”

Baru dua langkah maju, Nael sudah berhenti di tempat karena pertanyaan dari Jenna.

“Keithara pacar kamu?” Nael menoleh pada Jenna. “Kamu nggak perlu kaya gitu sama aku, El.”

“Kalo memang kamu berhak tau, saya pasti kasih tau,” tukas Nael lalu melanjutkan langkahnya. Ia berjalan lebih cepat, ingin segera pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Jenna yang meremat cangkir kopinya.

~o0o~

Votment yaa teman-temann💗

Minggu, 22 September 2024

Salam sayang, istri jaehyun

MUTUALISM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang