BAB 2

83 3 0
                                    

Hening. Tak ada seorang pun yang berbicara dalam ruangan bercahaya kuning redup itu, selain suara kertas yang dibuka sehelai halamannya.

Petang ini pengumuman surat wasiat sekaligus pembagian warisan dari Mendiang Risenna, yang meninggal sebulan lalu. Seluruh anak serta cucu keluarga Santioman berkumpul.

"Rumah sakit Santioman, Santioman corp pusat dan Risenna eatery, diwariskan pada putra ketiga, Alkaezar p. santioman. Dengan syarat, putra Alkaezar harus menikah sebelum 60 hari kematian Ny. Risenna. Jika tidak, maka semua harta benda yang diwariskan akan dibagikan kepada Ganda, Marsella dan Aneisa. Kemudian cabang Santioman corp bandung, diberikan kepada Ganda, Santioman hospital banten, diberikan kepada Marsella dan yang terakhir 20% Saham di John jawellery diberikan kepada Aneisa."

Marsella terbatuk, refleks tersedak minumannya seusai mendengar penuturan dari Sen. "Pak Sen? Kenapa bukan ke anak pertama dulu?"

"Ini wasiat dari Ny. Risenna. Kalau Pak Alkaezar tidak menyetujui syarat, semuanya akan kami bagi tiga, dan Alkaezar hanya mendapat 20% saham di John jawellery."

"Ya iyalah, masa aku yang cuma dapet warisan saham? Mentang-mentang aku anak terakhir" protes Aneisa. "Ini tuh gak adil, Pak sen! Masa Mas Ganda cuma dapet cabang, sedangkan bang Alka yang anak ketiga dapet hampir 70% hartanya Mami?"

"Keputusan ngga bisa diganggu gugat lagi, Aneisa."

"Tapi apa yang dibilang Aneisa bener, Pak sen. Ini nggak adil. Kenapa Mami ngasih harta banyak ke Bang Alka? Kami? Kami pun anaknya. Bahkan, seharusnya aku dapet lebih besar daripada Alka"

Sen menghela. Ia sudah menduga, keputusan Risenna akan menjadi kontroversi di keluarga ini. Namun, mengingat sikap Alkaezar selama ini, Sen setuju jika laki-laki tersebut mendapat bagian lebih besar dari saudaranya.

"Will you-"

"Ya, he will" Bukan Nael yang menjawab, melainkan Alkaezar. Ia bahkan memangkas ucapan Ganda, kakak pertamanya. Tiga kata tersebut mampu membuat seisi ruangan menatap pada Alkaezar. "Nael akan segera menikah"

"Bang Alka, jangan gara-gara warisan anakmu jadi korban. Nikah kan ngga bisa main-main" ujar Aneisa.

"Itu gak akan terjadi," balas Alkaezar. "Sepertinya semua sudah selesai, saya masih ada urusan" Laki-laki dengan jas abu-abu itu beranjak, lantas meninggalkan ruangan tersebut.

----

Nael mengejar Alkaezar, ikut masuk ke dalam mobil. Ia harus menuntut penjelasan Sang Papa.

"Papa bercandain saya?" tanya Nael. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Alka. Bagaimana pria itu bisa langsung mengiyakan, sedang Nael saja enggan menikah. Saat ini yang menjadi fokusnya hanya karir. Nael sama sekali tak berencana untuk membangun rumah tangga.

Alka menutup pintu mobil kemudian memberi isyarat pada sopir untuk keluar, agar ia bisa leluasa berbicara empat mata dengan Nael.

Ardi mengangguk, lantas keluar dari mobil dan pergi menjauh.

"Lagipula apa salahnya menikah? Bukankah kamu juga mempunyai kekasih?"

"Kekasih?"

"Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamu di rumah sakit"

"Papa pengen aku nikah sama pasien?"

"Papa ngga bodoh, Nalen. Papa jelas bisa membedakan mana pasien dan mana orang yang memang punya hubungan sama kamu" balas Alka.

"Dia bukan tipe Nael. Sampai kapanpun saya nggak mau nikah sama dia. Lagian, Pa- Lebih baik ngabisin waktu di rs buat nolongin banyak orang, daripada nikah. Cuma nambah beban hidup"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MUTUALISM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang