10 | Kunjungan

5 0 0
                                    

Matahari masih tampak malu-malu untuk beranjak dari tempatnya. Langit masih tampak gelap dengan sedikit awan tipis yang memberi corak pada beberapa sisinya. Jamaah sholat subuh juga terlihat baru saja membubarkan diri setelah melaksanakan kewajiban sebelum memulai hari mereka. Tak terkecuali Arsya dan Abdillah yang juga turut menjadi bagian dari mereka.

Arsya baru saja pulang tadi malam dari Lamongan. Sebenarnya jadwal pulang Arsya masih hari ini, tapi ia begitu tak sabar ingin pulang setelah mendengar tragedi lift yang dialami Aina. Meskipun sering terlihat seperti tikus dan kucing, tak dapat dipungkiri bahwa Arsya memang sesayang itu pada adiknya. Ia takkan dapat menahan dirinya untuk tidak khawatir pada Aina ketika adiknya itu mengalami sesuatu.

Masih dengan sajadah yang tersampir di pundaknya, Arsya menghampiri Siska yang sudah tampak begitu sibuk dengan berbagai macam bahan untuk diolah. "Bunda, hari ini masaknya agak banyakan boleh? Temen Arsya mau main ke sini?"

"Boleh Mas, temen yang mana?"

"Bunda masih inget temen Arsya yang namanya Abi? Yang dulu sering main ke sini?" jelas Arsya.

Siska tampak sedikit berpikir. "Oh Abi, iya Bunda inget. Kemarin yang nolongin Aina pas kejebak di lift 'kan Abi juga Mas. Kemarin dia juga anterin Aina pulang. Tambah ganteng ya dia."

Mendengar hal itu, Arsya terlihat terkejut. Apalagi semalam ketika ia menemui Aina, Aina tak menceritakan apapun tentang Habibi yang menolongnya. Dalam hatinya muncul rasa penasaran. Tak biasanya Aina tak bercerita sedetail itu, sedangkan ia tahu Aina biasanya takkan bisa menyembunyikan sesuatu darinya.

"Serius Bun? Kok Aina nggak cerita?"

"Ya adikmu mana mau cerita tentang cowok ke kamu Mas. Tapi kok tumben banget, kalian mau keluar?" tanya Siska sembari memasukkan satu per satu bahan masakan ke dalam wajan.

"Nggak juga sih Bun, pas nganter Aina sekitar dua minggu yang lalu, Arsya ketemu Abi. Terus nggak tau kenapa kemarin dia ngehubungin katanya mau main. Nggak papa 'kan Bun?" ucapnya memastikan.

Wanita yang berusia hampir kepala empat itu tersenyum ringan. "Ya nggak papa lah Mas, siapa tau Abi mau sekalian jenguk Aina," ujarnya

"Wah iya juga ya. Asik ada bahan lagi nih," ucap Arsya dengan seringai jailnya. Kemudian dia berlari menuju kamar Aina.

"Mas, adik jangan diganggu, kasian masih sakit!" teriak Siska memperingatkan. Ia sangat yakin setelah ini akan ada keributan lagi di antara kedua buah hatinya itu. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika itu terjadi.

"Dikit Bun," teriaknya dari lantai dua.

Sesampainya di kamar Aina, Arsya bisa langsung masuk ke dalam karena kamarnya memang tidak dikunci oleh pemiliknya.

"Adek.. " panggil Arsya tapi tak ada jawaban. "Adek dah bangun belum? Mas masuk ya?" setelah masuk Arsya melihat Aina sedang menyelesaikan gerakan sholat. Begitu selesai salam, Aina bisa melihat kakaknya itu sudah duduk di atas tempat tidurnya.

"Kenapa Mas?" tanyanya bingung.

Bukannya menjawab, Arsya malah memegang dahi dan pipi Aina. Meneliti satu per satu jengkal wajah Aina apakah masih terlihat pucat di sana. Ia benar-benar ingin memastikan apakah adiknya itu sudah benar-benar sembuh.

Setelah kejadian di lift dua hari yang lalu, Aina demam. Dokter mengatakan kalau Aina mengalami stres akibat kejadian yang menimpanya. Itulah mengapa suhu tubuhnya tiba-tiba naik dan disertai gejala demam lainnya. Ia sampai mengambil izin untuk tidak berkuliah kemarin karena memang tubuhnya belum siap beraktivitas kembali.

"Udah sembuh?" tanya Arsya kembali memastikan.

Aina mengangguk.

"Mau tanya dikit boleh?"

Di Balik mimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang