Ibu

23 2 0
                                    

'Dear diary,aku punya ibu dan ayah yang hebat. Ibuku seorang direktur di rumah sakit besar keluarga kamisato, aku nggak ngerti tapi intinya ibu bilang kalau ibu orang penting di sana. Kalau ayahku karyawan swasta di perusahaan yang nggak kalah besar dengan rumah sakit ibu, kalau nggak salah namanya beidou harbor, ibu bilang di sana ada banyak kapal laut besar yang bisa ditumpangi orang dan barang.

Aku udah pernah ikut ibu ke rumah sakit-nya tapi hanya ada orang sakit, bau obat, dan yang paling ngeri ada suntikan. Aku gak mau ke rumah sakit lagi.

Kalau tempat kerja ayah,aku belum pernah ke sana. Katanya di sana sibuk banget dan basah, padahal aku lihat di internet orang-orang yang liburan naik kapal pesiar seru-seru aja tuh. Aku penasaran dan ingin pergi ke sana dan ibu bilang akan bawa aku naik kapan-kapan, aku gak sabar.'

Aku mengetukkan pensil mekanik imutku ke pipi,memikirkan mau nulis apa lagi di buku diary yang baru dibelikan ibu. Karena tak kunjung mendapat ide, aku berniat turun dari kamarku di lantai 2 untuk menemui ibu dan meminta ide darinya. Di waktu-waktu begini,ibu dan ayah biasanya ada di meja makan menunggu para bibi menyiapkan makan malam.

Saat setengah anak tangga sudah kupijaki, aku dapat melihat ibu yang memang sedang duduk di meja makan sambil melihat laptopnya. Aku merasa sangat senang dan ingin segera menemui ibu membuatku memijak sisa anak tangga dengan ceroboh dan hampir membuatku terjatuh karena tersandung kaki sendiri. Aku sudah menutup mata bersiap menghantam lantai yang keras hingga,

"Dapat!" Aku sontak membuka mata saat sesuatu lebih dulu menangkapku. Itu ayah yang sepertinya baru pulang kerja, Kaedehara Kazuha.

"Berhati-hatilah,Hime bilang tidak mau masuk rumah sakit ibu lagi 'kan? Nanti ibu sedih" ucap ayah sembari membantuku berdiri dengan benar di bawah tangga. Ibu juga menghampiriku dengan raut khawatir.

"Himeko..,syukurlah,apa ada yang terluka?" Tanya ibu -kaedehara ayaka- berjongkok menyamakan tingginya denganku yang hanya sebatas pinggulnya dan mulai mengecek bagian tubuhku, memastikan tidak ada luka. Aku yang masih terkejut hanya melongo belum sanggup membuka suara.

"Hime baik-baik saja, beruntung aku segera menangkapnya. Sepertinya ada yang membuatmu sangat bersemangat ya Hime?" Ayah yang menjawab pertanyaan ibu sambil mengelus surai biru pucatku lembut.

Tak lama aku tersadar,entah mengapa naluriku bilang untuk segera bersembunyi dibalik ibu dan aku melakukannya. Aku mendongak pada ayah dan menemukan ekspresinya yang seperti terkejut dan kecewa, tangannya yang tadi mengelus suraiku masih mengambang diudara.

"Hime?" Ibu yang juga tak menyangka aku akan berbuat demikian memanggilku dengan nada khawatir. Namun dengan segera aku mengucapkan sesuatu,

"T-terimakasih,ayah. Aku mau nunjukkin hasil tulisanku di diary ke ibu. Aku ceroboh,maaf.." ucapku senyaring mungkin agar bisa didengarnya dengan kepala tertunduk, mencoba meyakinkannya aku menyesal atas tingkahku.

"Iya,tidak apa, lain kali berhati-hatilah dengan langkahmu. Kalau begitu ayah naik dulu, kalian bersiaplah untuk makan malam duluan." Balasnya sambil tersenyum seperti biasa. Kemudian menaiki anak tangga menuju kamar ibu dan ayah yang terletak di lantai atas.

Ibu mengangkat tubuhku yang ringan membawaku ke meja makan dan mendudukkan ku dipangkuannya.

"Jadi,mana tulisan yang ingin kau tunjukkan itu?" Tanya ibu riang membuatku ingat tujuan awalku, membuatku bersemangat kembali dan melupakan hal canggung tadi.

Aku membuka lembar diary yang tak pernah lepas dari genggamanku bahkan saat aku hampir jatuh tadi, membuka halaman pertama dan satu-satunya yang tidak kosong.

"Ini ibu,aku tidak tahu ingin menulis apa, jadi aku menulis tentang ibu dan ayah."

"Apa ibu boleh membacanya?" Tanya ibu yang segera kuangguki. Kenapa juga ibu tidak boleh membacanya? Jika ibu tidak membacanya bagaimana aku berbagi pikiran dengan ibu.

"Kalau ayah bagaimana?" Tanya ibu lagi membuatku tertegun. Memangnya ayah mau membacanya? Kurasa tidak masalah jika ayah membacanya tapi.. entahlah,

Ibu mulai menunjukkan raut khawatir. Ibu pasti bingung karena melihatku yang sama bingungnya dan aku juga tidak mengerti apa yang membuatku bingung dan ragu sesaat. Aku menganggukkan kepalaku patah-patah sebagai jawaban walau tidak secepat tadi.

"Wah..,syukurlah. Kalau begitu,ibu akan membacanya dulu." Ibu tersenyum semringah,tangannya yang memeluk punggungku beralih mengelus suraiku yang sewarna dengan surainya, sementara tangan lainnya mengambil alih diaryku dan dengan cepat membacanya.

"Jadi,apa yang membuat Hime begitu?" Pertanyaan ibu yang tiba-tiba membuatku mendongak untuk menatap wajah cantik nan teduh ibu. Di sana terpatri senyum sendu yang entah mengapa membuatku seketika diserang rasa bersalah bahkan saat aku tak mengerti apa maksud ibu.

Ibu balik menatap mataku sebelum menguraikan pertanyaannya,
"Kenapa Hime bersembunyi dibelakang ibu setelah ayah menyelamatkan Hime? Apa Hime takut pada ayah?" Ucapannya membuatku tertegun sekali lagi.

"Aku nggak takut,Hime hanya-..hanya.." jawabku tak selesai, aku juga tak tahu perasaan yang kurasakan sekarang. Hime tidak takut ayah,Hime hanya tidak tahu tentang ayah.

"Hime mau mengunjungi tempat kerja ayah dan naik kapal pesiar di sana 'kan?" Tanya ibu mengalihkan pikiranku dan segera tak peduli dengan apa yang akan kukatakan lagi, beralih antusias dengan pertanyaannya.

"Iya,aku mau"

"Baiklah,ayo pergi dalam waktu dekat" cetus ibu membuatku memekik kegirangan.

"Sungguh?!"

"Tapi ada syaratnya,"

"Apa itu?" Aku sudah kepalang senang dan merasa bisa menyanggupi apapun itu permintaan ibu. Aku sudah bisa menebak mungkin ibu akan meminta nilai sempurna di ujian berikutnya seperti yang biasa ibu minta, atau membereskan kamar sendiri selama seminggu-

"Ibu ingin Hime mengatakan keinginan Hime sendiri pada ayah"

Tiba-tiba seperti ada petir siang bolong menyambar diriku, sementara ibu memasang senyum seperti biasa yang entah mengapa terlihat seperti senyum mengerikan saat ini.

"I-itu..,yang lain saja bisa gak? Aku bakal sungguh-sungguh belajar biar dapat nilai sempurna- oh,atau aku bakalan sungguh-sungguh beresin kamarku selama seminggu-ah sebulan atau selama yang ibu mau" aku mulai merayu ibu dengan berbagai cara bahkan dengan sesuatu yang sangat kubenci. Tak lupa aku menunjukkan ekspresi terimutku saat mengatakannya berharap ibu akan goyah.

"Jika Hime tidak mau yasudah, kita bisa melakukannya kapan-kapan lagi suatu hari nanti"

'suatu hari nanti' adalah kata tabu yang entah akan berakhir atau terealisasi kapan, bisa saja lebih cepat atau bahkan lebih lambat dari yang tidak pernah diperkirakan. Ini tidak bisa dibiarkan, aku tidak boleh membuang-buang kesempatan emas ini.

"Baik- baiklah, aku akan bilang pada ayah soal keinginanku" tandasku setengah berteriak menyetujui syaratnya sebelum ibu berubah pikiran. Toh,hanya bilang ingin naik kapal pesiar pada ayah 'kan? Harusnya ini lebih mudah daripada belajar untuk nilai sempurna.

"Apa Hime punya sesuatu yang diinginkan dari ayah?" Timpal ayah yang sepertinya baru turun dan segera bergabung dengan pembicaraan kami sambil menarik salah satu kursi di samping kursi ibu untuk didudukinya.

"Ayo Hime,katakanlah!" Dukung ibu sedikit memerintah dalam ucapannya.

Tetapi aku yang seketika diserang keraguan pun akhirnya hanya dapat menggelengkan kepala di dada ibu kemudian bergumam dengan sangat pelan,
"Aku akan bilang nanti"

Makan malam akhirnya tersaji setelah penantian yang terasa lebih lama dari biasanya, mengakhiri percakapan ringan kami yang sedikit canggung.

***

Family(Kazuyaka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang