Gerbang sekolah terletak di arah yang berlawanan dengan lapangan olahraga, mengapit pintu masuk, sehingga suara anggota ekskul Silat dan anggota ekskul Paskibra pelahan menjauh. Gadis itu sengaja berjalan cepat sambil mengentakkan ujung sepatunya hingga berbunyi tuk-tuk, kemudian melangkah bersisian denganku.
“Apa kau tidak diajari supaya mendengarkan orang berbicara?”
“Tentu saja diajari, kan sudah kubilang bahwa aku dengar”
“Kalau begitu, tadi aku bicara tentang apa?”
“... Kue”
“Yak, artinya kau tidak mendengarkanku! Tidak boleh berbohong, ya!”
Dia memarahiku persis seperti guru TK. Tinggiku dan tingginya hampir sejajar. Dan dimarahi oleh orang yang sedikit lebih pendek rasanya agak janggal.
“Maaf. Tadi ada yang sedang kupikirkan”
“Hmm? Kau sedang berpikir?” Tanyanya memastikan.
Wajah marah gadis itu mereda. Dia memandangku penasaran. Aku pun mengangguk pelan setelah sedikit menjauh darinya.
“Hmm, aku terus berpikir. Bagiku ini cukup serius”
“Oh! Ada apa, sih?”
“Tentangmu”
Aku tidak memberi jeda, juga tidak memandang ke arahnya. Aku mencoba mengatakannya dengan hati-hati supaya percakapan kami tetap bergulir wajar. Kalau terlalu serius, sepertinya akan merepotkan.
Segala usahaku untuk berhati-hati tidak diacuhkannya , sesuai dugaan. Reaksi gadis itu sangat merepotkan.
“Tentangku? Eh, ada apa ini!? Kau sedang menyatakan cinta? Duh! Aku jadi gugup!”
“... Bukan. Kau ini, ya....”
“Ya?”
“Memangnya tidak apa-apa kalau kau gunakan waktumu hanya untuk membereskan perpustakaan?”
Dia memiringkan kepalanya begitu mendengar pertanyaanku yang sangat tidak penting.
“Tentu saja tidak apa-apa”
“Menurutku belum tentu tidak apa-apa”
“Begitu? Jadi, aku harus melakukan kegiatan lain yang seperti apa?”
“Hmm, misalnya pergi menemui cinta pertamamu. Atau pergi ke luar negeri. Memangnya tidak ada hal yang ingin kau lakukan?”
“Hmm, bukannya aku tidak paham dengan kata-katamu. Begini, kau juga memiliki hal yang ingin kau lakukan, kan?”
“... Tidak ada, sepertinya”
“Tapi bukankah kau tidak sedang melakukan hal itu sekarang. Tiap satu hari nilainya sama saja, kok. Nilai satu hari bagi setiap orang itu sama. Jadi tidak peduli apa yang sudah kulakukan, yang jelas nilai hari-hariku tidak akan ada bedanya dengan hari-harimu. Hari ini aku senang, kok”
“... Oh, begitu, ya”
Mungkin pendapatnya itu benar. Kesalnya, aku setuju begitu saja dengan kata-katanya.
Dia tidak punya waktu untuk memperhatikanku karena begitu banyak orang yang menyukainya.Misalnya, wajah pemuda berseragam ekskul sepak bola yang berlari dari arah gerbang sekolah berubah ceria setelah melihat gadis yang sedang berjalan di sisiku.
Gadis ini pun sepertinya menyadari keberadaan pemuda yang sedang berlari itu. Dia melambaikan tangan perlahan kepada pemuda tersebut.
“Semangat, ya!”
“Hati-hati, hana!”
Anggota ekskul sepak bola yang tadi berpapasan dengan kami berlari semakin mantap sambil tersenyum ceria. Kalau tidak salah, pemuda itu juga teman sekelasku, tetapi dia tidak melihatku sama sekali.
“Dasar! Dia malah tidak memedulikanmu. Besok akan kumarahi dia!”
“Tidak apa-apa.... Maksudku, jangan lakukan itu. Aku tidak sakit hati, kok”
Sungguh tidak sakit hati. Aku dan gadis itu benar-benar tipe orang yang berlawanan. Wajar jika teman sekelas memperlakukanku dan memperlakukan gadis itu dengan cara yang berbeda.
“Uh! Karena kau seperti itu, makanya kau tidak punya teman!”
“Memang. Dan tidak usah kau urusi”
“Aduh, kau memang begitu, ya”
Tanpa terasa kami telah sampai di gerbang sekolah. Rumahku dan rumahnya terletak di arah yang berlawanan dari sekolah. Jadi di sinilah kami berpisah. Sayang sekali.
“Sampai jumpa” Kataku.
“Mengenai pembicaraan yang tadi....”
Kata-katanya membuat langkahku terhenti.
Gadis itu tampak senang, seolah sedang memikirkan cara untuk berbuat usil. Aku yakin rona yang tergambar di wajahku saat ini bukanlah ekspresi senang.
“Hari Minggu, kau luang?”
“Oh maaf. Aku ada janji kencan dengan pacarku yang manja. Anak itu kalau kuabaikan langsung histeris. Bisa susah”
“Bohong, kan?”
“Kalau memang bohong?”
“Kalau begitu, hari minggu kita bertemu di depan Braga. Jam empat sore, ya!”
Gadis itu sepertinya memang tidak memerlukan persetujuanku sejak awal. Setelah berkata seperti itu dia langsung berjalan ke arah yang berlawanan dengan arahku pulang.
Di balik sosok gadis itu, langit musim panas menyinari kami dalam warna jingga, merah muda, dan sedikit kebiruan.
Aku membelakangi gadis itu tanpa melambaikan tangan, dan langsung pulang ke rumah.
Suara tawa yang bising melirih. Persentase birunya langit bertambah sedikit demi sedikit. Aku berjalan di jalan yang selalu kulewati.
Menurutku, sudut pandang dari jalan pulang yang selalu kutiti dan sudut pandang dari jalan pulang yang selalu dititi gadis itu tentunya sangat berbeda.
Aku mungkin akan terus berjalan melewati jalan ini sampai lulus nanti.
Namun benar juga, persis seperti yang pernah dikatakan gadis itu. Aku juga tidak akan pernah tahu berapa kali lagi aku bisa berjalan melewati jalan ini. Warna jalan yang dilihatnya dan warna jalan yang kulihat sebenarnya tidaklah berbeda.
Kuletakkan jemari ku pada tengkuk, hanya untuk memastikan bahwa aku masih hidup.
Aku melangkahkan kaki mengikuti irama detak jantungku. Ketika aku melakukan itu, aku merasa sedang mengguncang kehidupan yang fana ini. Perasaanku menjadi tidak enak. Semilir angin sore membuat parasaanku yang masih hidup ini menjadi samar.
Membuatku ingin memikirkan ulang keputusan untuk hari Minggu nanti, apakah pergi atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Aster di Bulan September
Short StoryDi Bulan September, sinar mentari memeluk bumi dengan lembut, menandakan kedatangan musim gugur yang indah. Di antara hamparan hijau dan kuning yang berubah, seperti bunga aster mekar dengan anggunnya.