tujuh | salwa dan dunianya.

49 7 0
                                    

Salwa menghela napas lega setelah kelas pertama pagi ini akhirnya usai. Rasanya pikiran masih berusaha beradaptasi dengan materi yang disampaikan, meski badannya sudah lama berada di ruangan. Ia membereskan perlengkapan kuliahnya, memasukkan ke dalam tas dengan gerakan cepat, sebelum akhirnya meraih handphone yang sedari tadi ia simpan.

Begitu layar ponselnya menyala, pandangannya tertuju pada notifikasi yang masuk. Salah satunya ada chat dari nomor yang tidak dikenalnya. Sedikit bingung, ia membuka chat tersebut dan mendapati sebuah pesan, "Oh, Ranu," gumamnya pelan. Rupanya pesan itu dari teman baru yang dikenalnya melalui Poul. Salwa terkekeh kecil. Biasanya begitu-teman poul berarti jadi temannya juga.

"Sampe juga ni foto" ucapnya sambil melihat foto yang baru ia terima itu. Netranya terhenti pada satu orang. Di foto pertama, ekspresi Ranu terlihat datar, tidak ada senyum di wajah pria itu, padahal teman-temannya sudah memasang wajah konyolnya masing-masing.

Salwa tertawa kecil, mengingat bagaimana Ranu selalu tampil dengan wajah yang tidak banyak menunjukkan emosi, seolah dunia di sekitarnya tak banyak berpengaruh pada suasana hatinya. Setidaknya itu pandangan salwa pada ranu, setelah pertemuan keduanya di Refrain. Oh, tapi tadi pagi, ada tawa kecil yang baru pria itu bagi, tepat di depan salwa.

Dan ketika Salwa menggeser ke foto kedua, tanpa sengaja fokusnya juga masih pada orang yang sama. Di sana, ekspresi Ranu tak lagi datar, ada sedikit senyum di wajah pria itu. Tapi ia tidak menatap kamera seperti yang lainnya. Matanya sedikit menyipit, seolah sedang melirik ke arah sesuatu... atau seseorang.
Salwa menatap foto itu sedikit lebih lama, matanya terfokus pada arah pandang Ranu. Entah tertuju ke siapa, atau mungkin hanya kebetulan ia tidak menatap kamera pada saat itu.

"Si aneh," gumam Salwa sambil tersenyum tipis. Setelah itu, ia sempatkan untuk mengetikkan balasan singkat, Terima kasih, Pak. Senang bekerja sama.
Dengan cepat, ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu memutuskan untuk keluar dari kelas begitu melihat teman-temannya mulai beranjak dari bangku masing-masing.

.

Salwa melangkah santai di koridor kampus, tangannya melingkar ringan di tas yang menggantung di pundak. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Ah, masih lama," gumamnya sambil meluruskan langkahnya. "Nunggu di rumus deh." Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, sementara kelas terakhirnya baru dimulai pukul 2 siang. Salwa malas pulang, dia juga belum mau makan, maka ruang musik menjadi pilihannya untuk singgah.

Ia berjalan menuju ruang musik yang biasa disebut "rumus" oleh mahasiswa. Sebuah ruangan di ujung gedung fakultas seni yang selalu menghadirkan rasa tenang bagi Salwa. Bukan pertama kali ia menghabiskan waktu kosong di sana.

"Harusnya ga rame sih jam segini," katanya kepada dirinya sendiri. Begitu membuka pintu ruangan, dugaan Salwa benar. Hanya ada empat orang di dalam. Tiga di antaranya asyik dengan instrumen masing-masing, dan satu dari mereka, Jose, sudah ia sapa saat pertama kali masuk. Jose adalah salah satu kakak tingkatnya, yang lumayan ia kenal dekat. Kali ini, pria itu duduk di pojokan dengan gitar di pangkuannya, terlihat fokus membaca lembaran partitur yang terbuka di hadapannya. Senyum kecil terlintas di wajah Salwa, dia tidak ingin mengganggu.

Beranjak ke ruangan kecil yang terpisah dari area utama, salwa memutuskan untuk bermain dengan piano, kebetulan ada salah satu tugas yang mengharuskan ia memakai alat musik satu itu, jadi sekalian saja ia berlatih.

Piano besar berwarna hitam menyambutnya di sana, kilapnya memantulkan cahaya redup dari lampu ruangan. Salwa tersenyum, duduk pada bangku di depan piano, dia membuka tutup tuts dengan hati-hati, lalu mulai menekan beberapa nada untuk membiasakan jemarinya.

Tugasnya kali ini cukup susah-ia harus mengaransemen sebuah lagu klasik dengan sentuhan modern, dan piano menjadi instrumen utama. Jarinya mulai menari di atas tuts, mencoba merangkai melodi yang telah ia bayangkan semalam. Suara lembut piano memenuhi ruangan kecil itu, membawa Salwa ke dunia lain-dunia yang hanya diisi oleh nada dan irama, sementara di luar, waktu terus berjalan.

Ketika Salwa memainkan sebuah bagian yang sulit, ia berhenti sejenak, mengernyit sambil mengingat not yang harus dimainkan. "Ah, salah salah," gumamnya, tidak menyerah. Dia menatap lembaran notasi di depannya, mengingat irama yang seharusnya mengalun.

Sekali lagi, dia mencoba, kali ini dengan lebih tenang. Tangannya bergerak lebih lancar, melintasi tuts hitam dan putih, membentuk harmoni yang lebih sempurna. Salwa tersenyum kecil, puas dengan hasilnya. Waktu yang masih panjang memberikan ruang untuknya berlatih lebih banyak, tanpa terburu-buru.

.

Namun, kegiatan Salwa terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar beberapa kali, mengiringinya kembali ke dunia nyata. Dengan cepat, ia menoleh ke arah pintu, di mana seorang gadis mungil berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar.

“Aduh, pantesan aja chat aku nggak dibalas-balas,” suara ceria gadis itu memecah kesunyian, sambil sedikit mendesah seolah mengungkapkan kekesalan yang dibuat-buat. “Lagi sama dunianya, ternyata.”

Salwa mengerjapkan mata, melihat jam dinding di ruangan, 12:15. Ia tertawa pelan. “Maaf, Nebi,” ujarnya sambil bangkit dari kursi piano.

Nebiva Trianya—atau yang biasa dipanggil Nebi—adalah adik tingkat Salwa yang kecil mungil, seolah meminta untuk dilindungi semua manusia di bumi.

Wajahnya selalu dihiasi senyum lembut, dan setiap gerakannya mencerminkan kepribadian yang sopan, halus, tapi juga tidak terkesan terlalu pasif. Ada semacam keyakinan tersirat di balik kelembutannya yang membuat Salwa menghargai gadis ini sejak pertemuan pertama mereka.

Pertama kali Salwa bertemu dengannya adalah saat ospek fakultas angkatan Nebi. Saat itu, Salwa menjadi salah satu pengisi acara, membawakan beberapa lagu di depan para mahasiswa baru. Begitu acara selesai, tanpa menunggu lama, gadis kecil itu langsung menghampirinya, disaat teman-temannya yang lain membubarkan diri ke tujuannya masing-masing.

“Kak, kamu keren banget!” puji Nebi dengan mata berbinar, seolah Salwa baru saja menampilkan konser megah di hadapan ribuan penonton. Salwa hanya tertawa kecil, sedikit terkejut dengan antusiasme yang terpancar dari Nebi. Seharusnya, gadis ini merasa canggung seperti mahasiswa baru lainnya, tapi tidak. Nebi justru dengan percaya diri melanjutkan, “Kak Salwa, namaku Nebiva. Boleh nggak kita berteman?”

Pertanyaan itu disampaikan begitu lugas, tanpa basa-basi. Bahkan, ketika tahu bahwa Salwa adalah kakak tingkat di prodi yang sama, ekspresi Nebi tidak berubah, malah semakin cerah. Salwa sempat tertegun, tak menyangka akan diminta berteman oleh seorang adik tingkat yang baru dikenalnya. Tapi ia pun akhirnya setuju, tergerak oleh keberanian polos gadis kecil ini.

Sejak saat itu, Nebi tidak pernah jauh dari lingkaran Salwa. Gadis itu benar-benar betah berteman dengannya, tidak pernah segan untuk mengirimkan pesan atau datang menghampiri Salwa di sela-sela kesibukan kuliahnya. Kini, Salwa tak lagi menganggap Nebi sekadar adik tingkat. Nebiva adalah salah satu dari sedikit teman perempuan yang bisa ia andalkan—seorang teman yang tulus hadir, berani meminta, tapi juga tahu batas tanpa pernah meminta lebih dari yang bisa Salwa berikan.

“Aku kirim pesan tadi soalnya mau ngajak Kak Sal makan siang. Tapi, ya udah. Daripada aku nungguin lama-lama, mending langsung aku samperin.” Nebi berbicara dengan nada yang riang. Ada sedikit nada kemenangan di suaranya karena berhasil menemukan Salwa tanpa harus menunggu lama.

“Aduh, beneran minta maaf, Nebi. Ayo ayoo, kita makan sekarang.”

Mereka berdua berlalu dari ruang musik, dengan tangan Nebi yang menggandeng kakak tingkat kesayangannya itu.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Refrain KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang