0.2 Halo, Dunia Fantasi!

1 1 0
                                    

Setelah ditabrak truk, semuanya jadi gelap. Tadinya aku pikir itu adalah jemputan spesial ke tanah orang mati. Ternyata bukan. Soalnya, mana mungkin di tempat seperti itu ada manusia hidup yang sibuk bekerja di kebun teh.

Bagaimana aku tahu kalau mereka masih hidup? Begini. Aku melayang mendekati mereka, berniat menyapa. Lalu seseorang tiba-tiba jadi pucat terus menunjuk-nunjuk ke arahku. "H-ha ... HANTU!" teriaknya histeris.

Semua orang langsung menoleh ke arahku dan respons mereka kurang lebih sama saja. Beberapa tersandung sampai terjerembap saat hendak lari. Ada satu pemuda yang wajahnya jatuh menimpa kotoran ... entah kotoran kucing atau anjing. Aku tertawa terbahak-bahak karenanya, membuat mereka kian histeris.

Tidak sampai sepuluh menit, tempat itu sudah kelihatan seperti desa hantu. Hanya ada aku yang melayang ke sana-sini. Beberapa kali kudapati ada yang mengintip dari sudut jendelanya.

Apa mereka semua orang indigo? Dari tadi sampai sekarang aku sama sekali tidak punya niat untuk menampakkan diri, jadi harusnya aku tak kasat mata bagi orang-orang biasa.

"Eh? Orang-orang desa ke mana?"

Aku menoleh ke ujung jalan yang menuntunmu keluar desa. Di sana berdiri seorang gadis dengan rambut pirang bergelombang yang panjangnya sampai ke pinggang. Membayangkan perawatan rambutnya saja aku sudah pusing.

Pakaiannya yang didominasi dengan warna merah dan sedikit warna cokelat kelihatan ... mahal? Bukan mahal yang mewah, tapi mahal yang seperti koleksi para cosplayer. Dia benar-benar kelihatan seperti karakter fiksi yang lolos dari dunia 2D.

Sebentar. Kayak karakter fiksi? Belasan orang yang bisa melihatku yang sudah jadi hantu ini? Jangan-jangan....

"Hei, kau," panggil si gadis, "hantu yang di sana!"

Refleks aku celingak-celinguk terus menunjuk diriku sendiri. "Aku?"

Dia berkacak pinggang. "Ya, memangnya ada hantu lain yang senang menakut-nakuti orang desa siang-siang begini?"

"Bisa jadi," jawabku sambil mengendikkan bahu.

Gadis itu menepuk kening terus geleng-geleng. Dia kemudian berbalik ke arahnya datang. "Saatnya memanggil pengusir setan."

Dikuasai rasa penasaran, aku bergegas menyusulnya. Tidak butuh waktu lama dan ... eh? Kenapa aku merasa sedikit lelah? Ah, pasti cuma perasaanku.

"Hei, kamu ini penyihir, ya?" tanyaku begitu tiba di sampingnya.

Alih-alih menjawab, dia justru balas bertanya, "Kau ini hantu yang kaya, ya? Dari tadi kulihat kau melayang terus, menghabiskan energi jiwamu."

"Hah? Energi jiwa?"

Bohong atau tidak, aku langsung berhenti melayang. Begitu kakiku yang telanjang menapak tanah, seketika bulu kudukku berdiri. Setahuku hantu tidak bisa begini!

Cukup lama aku melongo kayak orang bodoh karena terlewat syok. Si gadis pirang sudah jauh di depan. Setelah kurang lebih setengah tahun melayang ke sana kemari, aneh rasanya untuk berjalan, apalagi berlari. Beberapa kali aku tersandung dan nyaris jatuh tersungkur. Untungnya aku masih pandai menyeimbangkan tubuh atau bisa langsung melayang supaya tidak mencium tanah.

"Hei, Pirang, ini di mana?" Kalau masih hidup, napasku pasti sudah memburu sekarang.

Kudapati Pirang mengernyit saat menoleh ke arahku. Dia terdiam sebentar baru membalas, "Desa Tea Blossom. Kenapa kau mengikutiku?"

Kalimat terakhirnya itu daripada pertanyaan lebih kedengaran kayak peringatan supaya aku pergi. Biarlah, memangnya gadis remaja yang kelihatannya baru puber ini bisa berbuat apa pada hantu.

Si Hantu dan Penyihir PenyendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang