Keseharian Emily bikin bosan. Awalnya aku pikir bakal ada banyak hal keren karena dia itu penyihir. Ternyata kesehariannya tidak jauh-jauh dari keseharian orang biasa. Kurasa pekerjaannya mirip dengan apoteker di dunia modern.
"Hei, Pirang," panggilku, "di dunia ini ada kayak guild petulangan enggak?"
"Ada," jawab Emily tanpa mendongak.
Dia sibuk mengaduk campuran ramuan dalam kualinya di teras, sedangkan aku sedang bersantai di atap. Menonton kegiatannya ini di bawah langit cerah terasa salah. Biasanya para penyihir digambarkan membuat ramuan di ruangan tertutup yang minim cahaya.
Kalau begini, kelihatannya Emily cuma lagi bikin sup. Sup aneh yang kalau kamu tahu bahan-bahannya kamu akan langsung muntah dan mungkin kena diare dadakan.
"Kenapa kamu nggak masuk guild petualang?" Aku bertopang dagu dalam posisi tengkurap. Kedua kakiku yang agak transparan berayun-ayun di udara. Karena tak kunjung dijawab, aku lanjut berkata, "Kan, kalau masuk guild petualang kamu bisa keliling dunia. Kamu juga bisa dapat teman. Hidup sendirian begini pasti membosankan, 'kan?"
Aku mendengar embusan napas kasar saat Emily menjumput sedikit potongan rumput laut kering dari wadah. Dia kemudian memasukkannya ke dalam kuali sambil berujar, "Tidak juga. Aku suka hidup santai begini tanpa merasa nyawaku terancam hampir setiap saat."
"Heee...." Kepalaku refleks miring ke samping. "Kamu bicara kayak yang punya pengalaman, padahal baru umur segini---"
"Orang tuaku dua-duanya petualang. Nenekku juga," potongnya sebelum aku sempat melontarkan candaan kalau dia bisa jadi sudah berumur ratusan tahun.
Sempat terlintas di benakku untuk bertanya soal keberadaan keluarganya, tapi langsung kutepis jauh-jauh. Sudah seminggu aku bergentayangan di rumah ini dan sama sekali tidak kutemui tanda-tanda kalau ada orang lain yang tinggal bersama Emily.
Kalian tahu? Dalam situasi dan latar dunia seperti ini, bertanya soal keluarga pada orang yang tinggal sendirian kebanyakan tidak akan berujung baik. Biasanya suasana bakal jadi suram dan aku tidak mau yang seperti itu. Lebih baik angkat topik pembicaraan baru atau diam saja kalau kalian payah dalam hal itu.
"Ngomong-ngomong, kamu lagi bikin ramuan apa?" tanyaku sambil menunjuk campuran mendidih itu. Gelembung-gelembungnya yang meletup-letup besar sekali.
Emily berhenti mengaduk. Gelembung-gelembung yang baru kuungkit mulai menyatu menjadi gelembung besar yang kelihatannya kayak topi buat kuali itu. "Ini ramuan yang membuat makhluk darat bisa bernapas di dalam air," jawabnya lantas menyundul gelembung tersebut dengan pantat sendok sup.
Spontan aku memekik karena kukira ramuannya akan meledak dan alasan dia melakukan ini di luar adalah karena adanya risiko itu. Ternyata tidak. Ketika pecah, cairan yang membentuk gelembung itu menghujani isi kuali, mengubah warnanya dari hitam keunguan jadi biru toska.
"Aku pikir aku bakal mati lagi barusan," celetukku sambil mengusap dada. Dari posisi tengkurap tahu-tahu aku sudah duduk tegak.
Emily akhirnya menoleh ke arahku sambil menahan tawa. "Memangnya kau tidak mau pergi menyeberang supaya bisa beristirahat dengan tenang?"
Mencebik, aku pun menyahut, "Jangan dulu dong. Aku masih mau jalan-jalan di dunia yang ini."
"Hmn, memangnya kau sungguhan dari dunia lain?" tanya Emily sambil membuka tutup kotak kayu di samping kiri kuali. Isinya adalah selusin botol kaca kecil. Tiap leher botolnya sudah dihias oleh pita kecil berwarna merah. "Cara bicaramu memang aneh, sih."
"Seaneh itu?"
Emily mengendikkan bahu. "Awalnya aku kurang mengerti apa yang kau bicarakan, tapi lama-lama aku mulai terbiasa."
Aneh katanya, ya. Mungkin fitur penerjemah otomatis isekai agak bermasalah kalau aku bicara pakai bahasa kasual, makanya aku berusaha untuk meniru gaya bicara Emily sedikit-sedikit. Yah, walau kesulitan karena kedengarannya formal sekali dan kaku di lidahku.
Selagi Emily menyalin ramuannya ke botol kaca, aku diam, hanya menonton. Melihat cairan biru toska itu perlahan dimasukkan ke wadah entah kenapa terasa memuaskan. Hanya saja, saat melihat dia tidak langsung menutupnya dengan penyumbat botol, aku jadi gemas.
"Kenapa enggak langsung ditutup? Aku bantu, boleh?" tanyaku setelah melayang turun lantas berdiri di sampingnya. Masih menjaga jarak sedikit karena takut kenapa-kenapa kalau terciprat ramuannya. Siapa tahu ramuan-ramuan punya efek yang berbeda buat hantu.
Emily diam. Setelah botol yang diisinya penuh, dia menoleh padaku. Cuma menatap tanpa kelihatan punya niat buat bicara sampai hampir satu menit. Lalu, dia mengambil botol kaca kosong dan mulai menyalin lagi.
Mendadak aku merinding (apa ini normal?). "Hei, Emily, jangan mengabaikanku begitu dong," tegurku sambil melambai-lambaikan tangan guna menarik perhatiannya.
Dia tidak berkata-kata sampai botol terakhir penuh dan kualinya kosong. Mungkin dia cuma mau fokus. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Jelly!
"Aku kaget, tiba-tiba kau berinisiatif untuk membantu," ujar Emily sambil membereskan peralatan-peralatan di meja teras.
"Kamu ngomong begitu kayak aku nggak pernah bantu aja." Aku berkacak pinggang.
Emily berdeham. Sebelum masuk ke dalam bersama kuali dan sisa bahan ramuan, dia menyempatkan diri untuk melakukan kilas balik singkat. Si penyihir ini mengingatkan bagaimana aku biasanya hanya menonton dari jauh atau mengusilinya saat dia pergi mengumpulkan bahan.
Tampaknya dia kesal saat mengingatkan soal salah satu bentuk kejahilan yang paling sering kulakukan. Bukan sesuatu yang berbahaya. Biasanya aku suka berubah jadi tak kasatmata, membuntutinya yang berjalan sendirian, lalu tiba-tiba menampakkan diri sambil menyerukan entah apa yang sempat terpikirkan.
"Reaksimu biasanya membosankan. Jadi, siapa tahu dengan terus-terusan melakukannya, aku bakal dapat reaksi yang lucu," ucapku jujur lantas terkikik.
"Huh." Emily balik badan. Sambil membawa barang ke dalam dia berkata, "Kalau terus-terusan begitu, lama kelamaan aku tidak akan terkejut lagi."
Aku hanya mengendikkan bahu. Senyum miring terukir di wajah. Itu hanya trik supaya aku berhenti mengagetkannya.
Melirik ke arah ramuan yang tersusun rapi dalam kotak kayu di meja, aku teringat. "Hei, Pirang! Ramuan ini sekarang mesti diapakan?" seruku dengan kedua tangan di sisi wajah.
"Cepat ditutup!" balasnya tak kalah nyaring. "Kalau tidak cepat-cepat mereka akan meledak!"
Aku membatu. Batu yang semi-transparan.
"KAMU BOHONG, 'KAN?"
Pada akhirnya, botol-botol ramuan itu tidak ada yang meledak. Aku cepat-cepat menutupnya karena takut, walau tahu kemungkinan besar Emily hanya berbohong.
Bersambung....
Clou's note:
Ini ngetiknya speedrun, jadi kalau ada typo atau segala macam bilang, ya!Kayaknya di chapter kemarin aku juga bilang gini di note.
26-09-2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Hantu dan Penyihir Penyendiri
FantasyApa kalian tahu? Hantu yang ditabrak truk juga bisa masuk isekai, loh! Eh, kalian tidak tahu? Aku, sih, baru tahu. Tidak disangka-sangka aku mati dua kali. Dan, sepertinya bakal ada yang ketiga karena ada saja yang bisa membunuh hantu di sini. Tidak...